BAB I
RUANG LINGKUP MATERI ANTROPOLOGI EKONOMI
(Drs. MS. Mustofa, MA)
A. Pengantar
Antropologi ekonomi adalah salah satu bidang kajian dalam Antropologi sosial-budaya yang memusatkan studi pada gejala ekonomi dalam kehidupan masyarakat manusia. Posisi kajian ini sejajar dengan bidang kajian lain dalam studi Antropologi, seperti Antropologi perkotaan. Kehadiran Antropologi ekonomi dan bidang kajian lain dalam disiplin Antropologi adalah penampakan dari gejala spesialisasi yang kian tajam di kalangan ahli Antropologi.
Ahli Antropologi yang terkenal sebagai ahli Antropologi ekonomi umumnya adalah ahli yang mengkonsentrasikan kerja dan menghasilkan karya Antropologi ekonomi. Masalah pendekatan dalam Antropologi ekonomi secara sederhana dapat dinyatakan bahwa di dalam antropologi ekonomi terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan umum dan pendekatan spesifik. Pendekatan umum adalah aliran teori yang membahas gejala ekonomi seperti religi, teknologi sampai ke keseluruhan sistem sosial budaya itu sendiri. Sedangkan pendekatan spesifik adalah aliran teori yang dikembangkan khusus untuk menyelesaikan problem-problem studi Antropologi ekonomi. Ada beberapa pendekatan spesifik di dalamnya yaitu formalisme, subtantivisme, Antropologi ekonomi baru dan ekonomi personalisme (Sairin, syafrie, dkk, 2002: 4-7).
B. Beberapa Pemikiran Tentang Antropologi Ekonomi
Antropologi Ekonomi mulai berkembang pesat th 1920, memunculkan, pertama pandangan dan sikap suku-suku bangsa non industri mengenai soal-soal ekonomi dan yang kedua mata pencaharian hidup suku-suku nonindustri.
Kehadiran antropologi ekonomi dapat dirunut setidak-tidaknya sampai kepada The Economic of The Trobriand Islands, artikel yang pernah ditulis tokoh besar antropologi Bronislaw Malinowski pada tahun 1921. Pondasi pokok antropologi ekonomi didasarkan pada pokok-pokok pikiran yang diletakkan oleh Malinowski yang pada mulanya masih berupa karya etnografi yang diorintasikan kepada gejala ekonomi suatu masyarakat primitif yang eksotis dalam pandangan orang Eropa. Malinowski berpandangan bahwa masyarakat Trobriand tidak memiliki motif ekonomi dalam melaksanakan aktifitas produksi dan distribusi.
Firth dan Goodfellow meyakini bahwa konsep-konsep ekonomi modern berlaku universal sehingga dapat dioperasikan untuk mempelajari tata ekonomi masyarakat primitif dan tradisional. Mereka berpendapat bahwa masyarakat modern dan promitif adalah sama, mereka bertindak berdasarkan prinsip maksimalisasi, yaitu mencari pilihan hasil terbaik dari keterlibatan sarana yang tersedia.
Adat istiadat menurut Goodfellow, tidaklah mengatur perilaku ekonomi masyarakat nonmodern tempat proses ekonomisasi dilaksanakan. Firth menyadari bahwa teori-teori ilmu ekonomi dikembangkan bedasarkan fakta dan kerangka berpikir masyarakat dengan sistem ekonomi kalpitalistik. Hubungan antara ilmu ekonomi dan antropologi ekonomi bagi Firth sangat erat, yaitu konsep dasar ekonomi adalah alokasi sumber daya yang banyak dan antara keinginan manusia yang dapat disadari, dengan pengakuan bahwa alternatif-alternatif sangat memungkinkan pada tiap bidang. Ekonomi berkaitan dengan implikasi-implikasi pilihan-pilihan manusia dengan hasil keputusan-keputusan. Pilihan-pilihan, keinginan-keinginan dan inplikasinya adalah aksi melibatkan hubungan-hubungan sosial. Jika antropologi sosial mengkaji bentuk-bnetuk hubungan sosial dalam masyarakat yang lebih primitif, ekonomi mengkaji hubungan produksi, pertukaran dalam semua masyarakat.
Ekonomi berkaitan dengan prinsip-prinsip penggunaan sumber daya secara umum, antropologi ekonomi berkaitan dengan hubungan sosial yang cocok, cara khusus dimana prinsip-prinsip itu ditunjukkan dalam tataran situasi sosial sekarang. Pandangan seperti itu cenderung merendahkan posisi antropologi. Pertama, kalau ilmu ekonomi meluas di seluruh masyarakat dunia, maka wilayah kerja antropologi ekonomi adalah masyarakat primitif dan tradisional. Kedua, urusan ilmu ekonomi adalah teorisasi dari gejala ekonomi, dan ilmu antropologi adalah melihat bagaimana aplikasi teori tersebut pada masyarakat primitif dan tradisional.
Polanyi membawa gelombang baru dalam antropologi ekonomi. Ada dua gagasan yang cukup penting, pertama pembedaan arti ekonomi menjadi dua yaitu arti formal dan arti substansial. Arti formal adalah ekonomi sebagai maksimalisasi, sedangkan arti substansial adalah ekonomi sebagai upaya menusia memenuhi kebutuhan hidup di tengah lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Sistem ekonomi masyarakat modern berbeda dengan sistem ekonomi masyarakat primitif dan tradisional. Pada masyarakat modern yang hidup dengan ekonomi pasar, gejala ekonomi tampil sebagai suatu institusi sosial yang berdiri sendiri, karena pasar memiliki potensi sistemik untuk mengatur kondisi dirinya sendiri. Sebaliknya pada masyarakat primitif, tradisional, sistem ekonomi terjalin menyatu dengan institusi sosial lainnya, dengan sistem kekerabatan, sistem religi, sistem politik lokal dan yang lainnya.
Dalton kemudian mengikuti Polanyi, menyatakan bahwa ekonomi modern tidak dapat dipakai untuk mempelajari ekonomi masyarakat primitif dan tradisional. Alasannya adalah (1) metode dan isi teori ekonomi dibentuk oleh dua ciri utama industrialisasi pabrik dan organisasi pasar; (2) ciri yang membedakan sebuah pasar yang terorganisasi, yang merupakan sifat ketergantungan yang khusus, semua kehidupan materi diambil dari menjual sesuatu melalui mekanisme pasar; (3) apa yang harus dijelakan adalah bahwa organisasi pasar mendorong partisipasinya untuk mencari pendapatan material sendiri; (4) ekonomi pasar terdesentralisasi memperkuat pandangan atomistik tentang masyarakat yang hanya sekedar sebagai keseluruhan diri individu yang menarik.
Schneider menyatakan bahwa ilmu ekonomi mikro sangat penting bagi antropologi ekonomi karena teori-teori mikro itu dianggapnya berlaku universal dan cocok dipakai sebagai alat untuk menganalisis pada masyarakat apapun. Kritikan datang dari Robbins Burlings dengan membedakan ekonomi secara substansial dan formal bahwa Polanyi telah mengingkari kemungkinan masyarakat promitif pun melakukan tindakan ekonomisasi. Jadi ekonomi adalah maksimalisasi penggunaan resource di segala bidang kegiatan hidup. Frank Cancian juga menyatakan bahwa ekonomu adalah ilmu yang mempelajari tentang penghematan yaitu suatu alokasi sumberdaya kekayaan yang sedikit di antara tujuan alternatif.
Sedangkan Harry Pearson sebagai sosiolog berargumen bahwa surplus adalah gejala yang melekat dengan suatu bentuk sistem ekonomi tertentu, yaitu ekonomi marginal, tempat semua barang dikonsepkan ada dalam kondisi terbatas. Konsep surplus dengan cara ini adalah untuk merepresentasikan abstraksi yang dapat diterima dari kondisi sosial yang melingkupi bisnis sehari-hari dalam menjamin kekayaan materi tentang kepuasan yang diinginkan. Orang hidup dalam masyarakat tidak membuat surplus kecuali ia menamainya demikian, kemudian akibatnya diberikan oleh tingkah laku dimana ia dijadikan adat kebiasaan.
Jika pendapat Pearson ini benar bahwa surplus sebenarnya tidak ada maka akan runtuh teori evolusi kebudayaan yang telah dibangun selama ini. Karena dengan adanya surplus yaitu jumlah materi sumber daya di atas keperluan subsisten masyarakat, itulah yang memungkinkan terjadinya peradaban. Tanpa adanya surplus dari pertanian maka diferensiasi pekerjaan dan stratifikasi sosial tidak akan pernah lahir. Namun Harris menyatakan bahwa Pearson terperosok dalam perangkap pandangan emic dan lari dari tugas keilmuan untuk melakukan pengukuran independen dari tingkat produksi dan tingkat keperluan subsistensi masyarakat. Sikap Pearson adalah sikap yang tidak akan membawa kemajuan apapun bagi ilmu sosial. Ternyata kritik ini juga tidak tepat karena kunci permasalahannya terletak pada tolak ukur untuk menghitung surplus itu sendiri dan Harris tidak memberi masukan apa pun bagi pembentukan tolak ukur tersebut.
Pada pertengahan 70-an perdebatan formalis - subtantivis dalam antropologi ekonomi muncul dalam dua aliran pemikiran. Pertama, aliran pemikiran yang inspirasi dari gagasan - gagasan Marx, yang disebur antropologi ekonomi baru. Kedua, aliran pemikiran yang berbeda di luar kelompok baru yang diistilahkan aliran ekonomi personalisme. Formalis-substantivis mengalami banyak perombakan, pematangan dan penghalusan. Gagasan-gagasan substantivis menjadi tema pokok dalam struktur Marxisme, ekonomi moral, dan ekonomi personalisme. Pada dasawarsa 60-an muncul gerakan keilmuan yang mencoba menginterpretasikan gagasan-gagasan Karl Marx sebagai dasar-dasar pembentukan suatu perdebatan Marxis baru. Gerakan ini berpangkal di Perancis dan menyebar ke Eropa, Amerika Serikat, dan Amerika Latin.
Antropologi ekonomi baru yang memiliki ciri utama yaitu mendapat inspirasi dari gagasan Marx pecah menjadi 3 golongan yang saling bersitegang pendapat yaitu struktural Marxis, neo-Marxis, dan kultural material. Gagasan Marx dipakai oleh antropologi ekonomi baru umumnya adalah doktrin determinasi infra-struktur, konsep eksploitasi. Adopsi mendasar antara antropologi ekonomi dengan marxis bahwa keduanya mempelajari sisten ekonomi masyarakat. Sebagian dari pemikir antropologi ekonomi baru bergabung dalam kelompok struktural Marxis dan neo-Marxis yang jalur pemikirannya sejalan dengan substativis. Pertemuan ini terjadi karena antara Marxisme dan substantivisme ada persamaan gagasan, bahwa sistem ekonomi adalah gejala yang melekat dengan institusi sosial dan teori-teori ilmu ekonomi tidak dapat diterapkan secara universal. Ketidakuniversalan itu terjadi karena ilmu ekonomi modern adalah ilmu yang dibangun berdasarkan realita dan logika masyarakat kapitalis, sementara masyarakat di dunia tidak semuanya kapitalis.
Kultural materialisme yang tumbuh di Amerika tidak sependapat dengan pemikiran struktural Marxis dalam hal afiliasi dan substantivisme. Menurut Harris, kaum subtantivis tidak keliru dengan pemikiran mereka mengenai ketidakuniversalan logika ekonomisasi. Akan tetapi, mereka terlalu ceroboh dengan mengingkari keuniversalan logika ekonomisasi bahwa manusia dimanapun selalu bergerak di atas pertimbangan untung rugi. Pada segi ini Harris menempatkan diri pada kubu formalis. Dia juga tidak sependapat dengan pemikir struktural Marxis pada konsep determinasi infrastruktur dan konsep mode produksi.
Di luar lingkungan antropologi ekonomi baru, terdapat ahli yang tertarik mempelajari kondisi kehidupan masyarakat peasant, yang miskin dan menderita tanpa mengadopsi gagasan-gagasan Marx sebagai alat analisis. Pemikir-pemikir ini agaknya juga tidak tertarik dengan gagasan-gagasan mengenai struktur sosial yang cenderung menampilkan sistem sosial manusia tidak ubahnya seperti organisme, bangunan, atau sistem mekanik dan manusia dilihat tidak lebih sebagai bagian yang menempel pada struktur-struktur tersebut. Para pemikir ini agaknya berkeinginan untuk menampilkan sisten sosial sebagai sistem yang berisi manusia, dioperasikan oleh manusia, dan eksistensinya termanifestasi oleh gerak kehidupan manusia. Berdasarkan kesamaan itu istilah ekonomi personalisme dari Davis di pakai untuk menandai kelompok ini (Sairin, 2002: 31).
Sistem ekonomi bagi para pemikir ini cenderung dianalisis sebagai suatu gejala yang lekat dengan kehidupan kesehatan manusia, antara lain Eric Wolf, James Scott, Samuel Popki, dan Davis. Perkembangan kelompok ini di buka oleh studi-studi yang dikonsentrasikan kepada masyarakat peasent.
Tulisan Davis mengenai ekonomi personalisme dianggap sebagai salah satu buku pokok dalam mempelajari hubungan sosial di dalam pasar manusia Filipina khususnya dan Asia pada umumnya. Pada karya Szanton, konsep tersebut sudah dipasang di bawah istilah personalized exchange bahkan lebih awal Mintz pada tahun 1961 menulis makalah seminar tentang pratik, langganan, pada masyarakat Haiti di bawah istilah ekonomi personal. Namunn lewat karya Davis, konsep ekonomi personalisasi tersebar yang kemunculannya berpangkal dari ketidakpuasan Davis terhadap permis-premis substantivis yang cenderung terlalu ekstrim sehingga memperlakukan pasar sebagai gejala yang anti sosial, yang tampil dengan kemampuan sefl regulation-nya karena kaum ini melihat sistem ekonomi pada tingkat interaksional yaitu pada tingkat para pelaku ekonomi melangsungkan kegiatan mereka. Bila analisis diarahkan pada tingkat interaksional maka akan terlihat bahwa beberapa dari perbedaan hubungan sosial dinyatakan membedakan ekonomi market dengan non market cenderung berkurang dalam jumlahnya. Faktor subjektif yaitu faktor-faktor sosio-kultural yang berguna bagi pelaku yang sedang diteliti mengganggu struktur ideal persaingan pasar. Maka beberapa elemen primitif kemampuan sosial muncul dalam pasar dan tidak ada “jurang pemisah” antara tingkah laku pasar dan non pasar (Davis dalam Sairin, 2001: 32-33).
Kelompok ekonomi personalisme yang dipelopori oleh Scott mengungkapkan gejala sosial-budaya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku The Moral Economy of the Peasant, ia memaparkan tata kehidupan masyarakat peasent yang digambarkan sebagai masyarakat yang harmoni dan stabil, desa peasent digambarkan sebagai desa yang sosial yang berkepentingan menjaga kelangsungan hidup warganya. Peasent digambarkan sebagai manusia yang bermentalitas dahulukan selamat. Pemberontakan peasent, gejala yang banyak terjadi di negara-negara terjajah adalah akibat terancamnya harmoni kehidupan desa oleh masuknya ekonomi kapitalistik dari kota.
Menurut Popkin, peasant bukanlah masyarakat yang harmoni. Hubungan patron-klien yang menjadi ciri umum masyarakat peasant bukanlah hubungan untuk menolong pihak yang lemah, melainkan hubungan eksploitatif. Bila kemudian peasent melakukan pemberontakan, hal itu bukan disebabkan karena tata kehidupan tradisional mereka terancam oleh ekonomi pasar tetapi karena mereka ingin merebut kesempatan dalam tata ekonomi yan baru. Sebagaimana Harris, Popkin melihat peasant adalah manusia yang penuh perhitungan untung rugi, bukan hanya manusia yang diikat oleh nilai-nilai moralitas.
Kritik Popkin disambut positif oleh Scott. Mulai dari karya Scott tahun 1955, studi antropologi ekonomi mendapat satu wajah baru yang total yakni dengan dipakainya pendekatan reflektif yang mencoba mengungkap kesadaran subjek penelitian akan realita kehidupan mereka yang alami, dan banyak disini bearti si peneliti dan juga informan yang ia kunjungi dan ia minta datanya. Secara sederhana, wacana ini dapat dipilih menurut dua garis. Pertama, menurut sikap terhadap pendekatan ekonomi pasar. Kedua, menurut ukuran kemunculan dan basic paradigmanya. Berdasarkan garis pertama dapat ditemukan dua aliran yaitu aliran yang menerima dan menolak keuniversalan teori-teori ekonomi pasar. Sedangkan berdasarkan garis kedua diketemukan: (1) antropologi ekonomi klasik; (2) antropologi ekonomi yang berbasis materialisme; (3) antropologi ekonomi yang berbasis pendekatan personal. Di luar ketiganya terdapat antropologi ekonomi yang dibangun di atas pendekatan pos-modernisme.
C. Pandangan Firth (Antropolog Inggris)
Firth di bawah bimbingan Malinowski, menguraikan pentingnya kerjasama antar ahli ekonomi dan ahli antropologi untuk mengkaji ekonomi suku-suku bangsa yang hidup dalam masyarakat nonindustri guna mencapai pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan umat manusia yag miskin. Manusia miskin tidak dapat diabaikan karena manusia nonindustri yang menyediakan bahan mentah bagi ekonomi masyarakat industri. Firth menunjukkan adanya perbedaan kajian-kajian antropologi ekonomi yang sifatnya lebih historikal dan diakronik, di samping kajian-kajian yang bersifat lebih komparatif dan sinkronik.
Ekonomi adalah seluruh perilaku manusia dalam organisasi dan pranata yang mengatur penggunaan sumber-sumber terbatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam suatu masyarakat tertentu. Firth mengkaji Antropologi Ekonomi dalam subtantivisme dan formalis.
Subtantivisme Firth, membahas metodologi penelitian menggunakan pendekatan induktif. Yaitu sistem ekonomi pada masyarakat sederhana dan masyarakat pedesaan di dunia bukan unsur tersendiri karena tidak ada dalam konsepsi masyarakat nonindustri. Fisth beranggapan bahwa konsep-konsep, konsepsi-konsepsi & teori-teori ekonomi pada dasarnya tidak dapat diterapkan pada ekonomi sederhana dan ekonomi pedesaan. Para ahli subtantivisme berpendapat bahwa konsepsi Marxisme lebih cocok untuk mengkaji ekonomi sederhana dan ekonomi pedesaan daripada ilmu ekonomi.
Formalis Firth, metodologi penelitian bersifat komparatif sinkronis didasarkan pada konsepsi fungsionalisme-struktural. Penelitiannya digunakan sebagai informasi kepada negara penjajah mengenai ekonomi di pedesaan negara jajahan untuk menguasai mereka dengan cara yang lebih halus. Konsep-konsep, konsepsi-konsepsi, dan teori-teori ilmu Ekonomi diterapkan pada ekonomi masyarakat sederhana, masyarakat pedesaan, sekonomi industri dan perdagangan internasional. Menguraikan perilaku orang Tikopea dan Melayu mengolah sumber-sumber makanan akibat jumlah penduduk yang meningkat. Perilaku tersebut adalah:
a) Mengorganisasikan tenaga kerja yang berlebihan
b) Pola-pola pembagian kerjasama dalam kelompok
c) Pola-pola kepemimpinan dalam kelompok-kelompok kerja
d) Organisasi dan pranata-pranata untuk menimbun dan menggunakan modal dalam wujud tanah, perahu dan peralatan produksi maupun mendistribusikan dan membarter hasil produksinya.
Firth berhasil mengkombinasikan konsep-konsep ilmu gaib, religi, dan simbolik tukar-menukar barang dan jasa dalam usaha mencari tenaga kerja, usaha berproduksi, dan usaha perdagangan orang Maori, Tikopea atau Melayu. Firth menguraikan perilaku orang Tikopea dan Melayu dalam mengolah sumber-sumber makanan yang terbatas akibat tekanan jumlah penduduk yang meningkat, perilaku mereka dalam hal mengorganisasi tenaga kerja yang berlebihan, pola-pola pembagian kerja, pola-pola kepemimpinan dalam kelompok-kelompok kerja, adanya kerja sama dalam kelompok, pola adanya organisasi atau pranata-pranata untuk menimbun dan menggunakan modal dalam wujud tanah, perahu, dan peralatan produksi.
Firth juga mendiskripsikan pranata-pranata social-budaya yang biasanya ada di luar ilmu ekonomi, yaitu adat-istiadat , perilaku upacara, ilmu gaib dalam produksi, dan symbol-simbol dalam tukar-menukar hasil produksi. Masyarakat pedesaan di Malaysia tidak teisolir seperti masyarakat Tikopea, keduanya berbeda satu sama lain. Firth menunjukkan betapa pentingnya upaya untuk meneliti sistem-sistem ekonomi masyarakat pedesaan di luar Ero-Amerika.
BAB II
EVOLUSI MATA PENCAHARIAN
Masyarakat dan suku-suku bangsa di dunia hampir selalu mengandung satu bab yang mendiskripsi mata pencaharian hidup mereka. Konsepsi evolusi kebudayaan pada pertengahan abad ke-10, menghasilkan beberapa konsepsi mengenai evolusi sistem mata pencaharian hidup yang melampaui tiga tingkat evolusi.
A. Masa Berburu dan Meramu
Dalam evolusi mata pencaharian hidup para ahli antropologi memyumbangkan pandangannya antara lain Adam Smith (1976). Adam Smith menyatakan bahwa mata pencaharian hidup manusia purba berkembang dari berburu, meramu dan beternak karena manusia berhasil menjinakkan binatang buruannya. Dari beternak manusia berevolusi ke bercocok tanam.
E. Hahn (1914), menyatakan bahwa sistem mata pencaharian hidup manusia pada awalnya berburu dan meramu tumbuh-tumbuhan liar sehingga ditemukanlah cangkul (hack) untuk manggali tanah. serta mencabut tumbuh-tumbuhan bersama akarnya yang kemudian berevolusi menjadi berkebun. Karena mengetahui bahan tanaman yang masih berakar tidak mati maka manusia menemukan teknologi untuk menguasai kehidupan tumbuh-tumbuhan yang kemudian menjadi tercipta teknologi bercocok tanam.
13Dalam kebudayaan itu manusia menemukan teknik-teknik mengolah tanah dengan bajak. Teknologi bajak erat kaitannya dengan upacara agama di Babylonia, yaitu upacara memuja Dewi Bulan. Masyarakat sederhana dan masyarakat pedesaan dianggap penting untuk dipelajari dan dianalisis karena masyarakat pedesaan adalah bagian yang terbesar dan juga termiskin dari umat manusia.
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa berburu dan meramu merupakan dua mata pencaharian hidup yang saling berkaitan. Masyarakat yang hidup dari berburu biasanya juga melakukan pengumpulan terhadap tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran yang basa dimakan. Bahkan menangkap ikan juga dilakukan sekaligus sebagai suatu cara mendapatkan tambahan makanan. Masa berburu dan meramu pernah menjadi mata pencaharian terpenting dalam kehidupan masyarakat dari berbagai suku bangsa di dunia.
Berburu dan meramu menjadi mata pencaharian yang lama dalam sejarah kehidupan manusia. Sejak masa terjadinya manusia sekitar 2 juta tahun yang lalu sampai sekitar 10 ribu tahun yang lalu berburu dan meramu merupakan satu-satunya system mata pencaharian hidup manusia. Sejak akhir abad ke-19 kehidupan masyarakat dari berburu dan meramu mulai menghilang.
Anas (2002: 3-7) menjelaskan masyarakat berburu dan peramu hidup di hutan dan berpindah-pindah. Mereka hidup dari berburu binatang dan meramu hasil-hasil tumbuhan. Mereka belum mengenal tradisi bercocok tanam. Masyarakat peramu masih bersifat menikmati apa-apa yang terdapat di alam. Keadaan seperti itu dimungkinkan karena hasil-hasil yang diperoleh dari alam masih melimpah dan jumlah manusia relatif masih sedikit. Hal itu menyebabkan masyarakat peramu memiliki mentalitas yang kurang produktif.
Namun masyarakat peramu dikenal memiliki ciri positif yaitu sebagai improvisator, suatu masyarakat yang berimprovisasi melalui tindakan coba-coba. Mereka banyak melakukan tindakan coba-coba dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping itu mereka telah mengembangkan kerjasama. Pada masa itu masyarakat peramu telah menunjukkan sikap saling menolong, tenggang rasa, dan cara hidup resiprositas (balas membalas). Ciri kultural dalam kehidupan mereka adalah pragmatis, keras, dan peka terhadap hasil-hasil usaha, serta gigih dalam perjuangan hidup.
B. Masa Bercocok Tanam
Bertani mulai dikenal dalam kehidupan manusia sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Berkembangnya mata pencaharian pertanian pada mulanya paling sedikit terdapat di delapan tempat di muka bumi. Ke delapan tempat tersebut menurut Vavilov yaitu daerah sungai Senegal. Daerah asal mula perkembangan bercocok tanam itu yaitu
1. Daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti: Mekong, Salwin, Irawadi dll, dan yang menyebar lebih lanjut ke daerah Kepulauan Asia Tenggara, Indonesia, Filipina dan juga ke daerah Sungai Gangga di India. Dari pusat ini berasal penanaman padi dan keladi (Colocasia antiquorum).
2. Daerah sungai-sungai di asia timar seperti Yangtse dan Hoangho, yang berpusat lepada sayur-sayuran Tionghoa, pon murbei, teh dan kedele.
3. Asia Barat Daya, termasuk daerah Sungai Tigres dan Sungai Alfurat di Iraq Semarang, yang menyebar lebih lanjut ke Iran, Afganistán sampai daerah hulu sungai Sindu di Pakistan.
4. daerah Laut Tengah, terutama Mesir, palestina, juga daerah lembah-lembah sungai di Italia dan Spanyol yang mengembangkan tanaman buah zait dan ara.
5. Daerah África Timar terutama di Abesinia yang mengusahakan pertanian gandum
6. Daerah Afrika Barat sekitar hulu Sungai Senegal yang mengembangkan cocok tanam gandul dan sorghum.
7. Daerah Mexico Selatan yang mengusahakan pertanian jagung, kapas, kasava dan ubi.
8. daerah Peru di Amerika Selatan yang mengembangkan budidaya tanaman kentang, kasava dan ubi
Masyarakat petani ladang berbeda dengan peramu karena mereka telah hidup menetap. Mereka bermukim secara berkelompok dan membentuk tempat tinggal yang berdekatan dengan ladang mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka memproduksi sendiri melalui cara berladang. Oleh karena itu petani ladang merupakan masyarakat yang bersifat produktif. Mereka mendirikan desa-desa di pinggir hutan atau dekat dengan rawa-rawa. Mereka menyukai hidup bermukim secara tetap untuk mendapatkan kehidupan yang lebih tenteram.
Menurut ahli Pre Histori masa bercocok tanam dimulai Sejas zaman Neolitik (Zaman batu Baru). Pada masa sebelumnya yaitu zaman batu tua manusia hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan. Zaman Neolitik di Indonesia diperkirakan sejak tahun 2000 SM di Asia Tenggara telah mulai beberapa ribu tahun sebelumnya. Berpangkal dari daerah-daerah tersebut kepandaian berccocok tanam menyebar ke daerah-daerah lain di dunia. Meskipun demikian mata pencaharian bercocok tanam pada masa itu merupakan mata pencaharian sedikit saja dari perkiraan jumlah umat manusia yang telah ada di bumi. Banyak Amat manusia pada waktu itu tetap hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan.
BAB III
PEMBAGIAN KERJA DAN SUMBER-SUMBER EKONOMI DALAM MASYARAKAT
Dalam setiap masyarakat, manusia selalu ada pembagian pekerjaan menurut kategori jenis kelamin dan umur. Pembagian seperti itu hanya sekedar perkembangan langsung pola yang sudah terdapat pada semua primat yang maju.
A. Pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin.
18Pekerjaan khusus apa yang dilakukan oleh pria atau wanita, berbeda-beda menurut kelompoknya, tetapi banyak pekerjaan yang dikhususkan bagi anggota jenis kelamin yang satu atau yang lain. Pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin dalam segala macam masyarakat telah dipelajari secara luas oleh para ahli antropologi, dan beberapa aspeknya telah kita bahas dalam bab sebelumnya. Misalnya, kita telah melihat bahwa akarnya terdapat dalam biologi, dan bahwa tugas-tugas yang kebanyakan dianggap sebagai tugas wanita adalah pekerjaan yang dapat dilaksanakan di dekat rumah. Pekerjaan yang paling sering dianggap sebagai "tugas laki-laki" cenderung berupa tugas yang memerlukan kekuatan fisik, pengerahan tenaga besar, sering memerlukan perjalanan agak jauh dari rumah, dan yang dianggap mengandung risiko dan bahaya besar. Akanetapi, di samping itu studi tentang pekerjaan yang dilakukan oleh pria dan wanita dalam kelompok-kelompok terentu segera menunjukkan bahwa "bentuk-bentuk khusus yang terdapat pada pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin itu harus dipandang sebagai perkembangan historis kelompok tradisi-tradisi khusus, yang mengatur kehidupan bangsa tertentu". Oleh karena itu, setiap masyarakat harus dipelajari tersendiri untuk melihat cara bagaimana mereka membagi-bagi beban pekerjaan diantara pria dan wanita.
Dalam masyarakat industri modern, faktor-faktor biologis yang menjadi dasar pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin telah banyak diatasi oleh berbagai inovasi di bidang teknologi dan organisasi. Ini mencakup hal-hal seperti alat-alat kontrasepsi, formula bayi tiruan yang dapat diberikan menggunakan botol, tempat penitipan anak, bentuk-bentuk transportasi yang baru, dan cara serta sarana yang mengurangi bahaya kecelakaan dalam pekerjaan, kalau tidak malahan menghapuskannya sama sekali. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi memaksa mengapa wanita tidak akan dapat melakukan pekerjaan yang sebelumnya dikhususkan untuk pria, dan juga tidak ada alasan mengapa pria tidak dapat melakukan tugas yang sebelumnya secara eksklusif dikerjakan oleh wanita. Satu-satunya yang tidak dapat dikerjakan oleh pria adalah melahirkan anak.
B. Pembagian kerja berdasarkan umur.
Ada kemungkinan diadakan pembagian pekerjaan menurut umur. Misalnya, antara orang Tiwi di Australia Utara, pria yang sudah terlalu tua untuk berburu, membuat alat-alat dan barang-barang lain untuk keperluan suku bangsanya. Orang-orang tua, yang memiliki lebih dari seorang istri dan memiliki keluarga besar serta jumlah tenaga kerja yang banyak, mempunyai waktu senggang untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keranjang, tongkat penggali, dan karya cipta artistik yang bagus, seperti tiang untuk kubur dan tombak-tombak upacara. Mereka juga menciptakan lagu-lagu dan tari-tarian. Para istri menyediakan untuk keluarga mereka tumbuh-tumbuhan, tempayak, dan banyak cacing sehingga mereka dapat kenyang.
Di kalangan orang Ihalmiut di "Tanah Tandus" (Barren grounds) di Kanada Utara, usia lanjut merupakan masa yang sulit, karena iklim yang keras dan kehidupan para pemburu karibu yang berpindah-pindah membawa penderitaan khusus bagi orang tua. Rupa-rupanya iklim yang dingin dan lembab itu mempercepat ketuaan dan orang tualah yang paling menderita waktu terjadi kelaparan. Tidak banyak pekerjaan yang cukup ringan untuk dikerjakan oleh orang tua baik pria maupun wanita, meskiun orang tua merupakan gudang kearifan (perpustakaan) bangsa buta aksara. Dengan demikian, bagi orang Ihalmiut usia lanjut merupakan beban yang lebih berat daripada bagi orang-orang yang tidak begitu sulit mencari penghidupan. Hal yang sama juga berlaku untuk anak-anak, yang tidak banyak memberi sumbangan di bidang ekonomi sampai mereka berumur belasan tahun.
Di banyak masyarakat non-industri sumbangan anak-anak dan orang tua di bidang ekonomi jauh lebih besar daripada sumbangan anak dan orang tua yang biasanya terdapat dalam masyarakat Barat. Di Vietnam Selatan, misalnya anak-anak tidak hanya mengawasi saudara-saudaranya yang lebih muda, tetapi juga membantu pekerjaan rumah tangga. "Orang Amerika akan terkejut melihat anak berumur empat atau lima tahun bekerja dengan menggunakan pisau cincang atau menyalakan lampu gantung, tetapi di Vietnam hal itu adalah hal yang biasa". Berbeda dengan orang tua Eskimo, orang tua Vietnam Selatan tetap memiliki tanggung jawab ekonomis. Nenek, misalnya memegang kantong uang, pergi ke pasar, memasak, dan membersihkan rumah. Pemberian tanggung jawab semacam itu dahulu juga biasa di rumah tangga pedesaan Amerika Utara, yang beban kerjanya berat sedangkan tenaga kerjanya sedikit.
C. Kerjasama
Kelompok kerja kooperatif terdapat di mana-mana, baik di masyarakat non-industri maupun di masyarakat industri, di masyarakat buta aksara maupun di masyarakat yang melek aksara. Kalau pekerjaan itu melibatkan seluruh komunitas, sering terdapat suasana pesta. Jomo Kenyatta, ahli antropologi yang terus menanjak dan menjadi negarawan yang disegani dan juga menjadi "bapak" negara Kenya merdeka, menceritakan tentang suasana gembira sesudah bekerja seharian di negaranya :
Apabila orang asing kebetulan lewat, ia tidak akan mengira bahwa mereka yang sedang bernyanyi dan menari-nari itu telah bekerja sehari penuh. Di sinilah kebanyakan orang Eropa keliru, karena mreka tidak menyadari bahwa di lingkungannya sendiri orang Afrika itu tidak menghitung jam kerja mereka berdasarkan gerakan jarum jam, tetapi mereka bekerja bersemangat dan antusias untuk menyelesaikan tugas yang mereka hadapi.
Di Dahomaey, para pandai besi bekerjasama dalam mengoperasikan alat dan tempat kerja mereka. Setiap orang memiliki besinya sendiri, dan para anggota tempat kerja itu setiap kali hanya mengerjakan besi milik pribadi saja. Hasilnya menjadi milik orang pemilik besi tersebut, dan ia bebas untuk menjualnya di pasar demi keuntungan pribadi, dan dengan hasil penjualannya itu ia membeli lebih banyak lagi besi.
Kerjasama tidak selalu secara sukarela. Kerjasama mungkin termasuk kewajiban yang harus dipenuhi terhadap keluarga mertua; mungkin perintah kepala atau pendeta yang harus dilaksanakan. Lembaga keluarga, kekerabatan, agama, dan negara, semuanya dapat merupakan unsur organisasi yang menentukan sifat dan kondisi kewajiban kejasama seorang pekerja.
D. Spesialisasi Keterampilan
Dalam masyarakat nonindustri, di mana terdapat pembagian pekerjaan berdasarkan umur dan jenis kelamin, setiap orang di dalam masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam segala aspek pekerjaan yang sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya sendiri. Sebaliknya, dalam masyarakat industri modern ada perbedaan yang lebih besar antara pekerjaan khusus yang harus dilaksanakan, dan bahkan tidak orang yang dapat mulai memperoleh pengetahuan tentang semua pekerjaan yang sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya. Akan tetapi, dalam masyarakat nonindustri sekalipun ada semacam spesialisasi keterampilan. Spesialisasi itu sering kali amat kecil dalam masyarakat pemburu dan peramu, tetapi di sini pun mata panah buatan orang yang satu mungkin lebih banyak dicari karena keterampilannya yang lebih besar. Di kalangan orang-orang yang menghasilkan pangannya sendiri, ada kemungkinan spesialisasi yang lebih besar. Di kalangan peduduk kepualauan Trobriand, misalnya, pengrajn-pengrajin di desa yang satu mengkhususkan diri dalam pembuatan kapak batu, sedangkan tetangganya mungkin mengkhususkan diri dalam menghias belanga atau mengukir tangkai kayu untuk kapak batu.
Sebuah contoh spesialisasi dapat dilihat pada suku Afar di lembah Danakil di Etiopia: mereka adalah penambang garam, yang sejak jaman dahulu banyak diperdagangkan di Afrika Timur. Garam itu diambil dari kerak ladang garam yang luas di bagian utara lembah tersebut, dan untuk memperolehnya adalah suatu pekerjaan yang berbahaya dan sukar. L.M. Nesbitt, orang Eropa pertama yang berhasil melintasi lembah tersebut, menyebutnya "lubang neraka ciptaan Tuhan". Pada siang hari panasnya luar biasa, temperatur antara 140 dan 156 derajat F bukanlah sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi, tidak ada tempat yang teduh di padang garam itu, kecuali kalau orang membangun tempat berlindung yang terbuat dari gumpalan-gumpalan garam. Juga tidak ada pangan atau air untuk manusia dan bintang. Yang menambah kesulitan ialah bahwa sampai saat ini orang Afar yang Islam dan orang Tegrean yang Kristen, kedua-duanya suku bangsa di pegunungan, adalah musuh bebuyutan.
Jadi penambangan yang sukses memerlukan kemahiran dalam menyusun rencana dan berorganisasi, di samping kekuatan fisik dan kemauan yang keras untuk bekerja dalam kondisi yang mematahkan semangat. Binatang penghela untuk mengangkut garam harus diberi makan sebelumnya, sebab membawa makanan binatang berarti mengurangi kemampuannya untuk mengangkut garam. Pangan dan air harus diangkut oleh pekerja tambang yang biasanya setiap kelompoknya terdiri atas 30 sampai 40 orang. Perjalanan direncanakan pada malam hari untuk menghindari terik matahari yang luar biasa pada siang hari. Akhirnya, perhitungan waktu itu menentukan sekali. Rombongan harus sudah kembali di tempat pangan dan air sebelum persediaan mereka sendiri menipis, dan sebelum binatang-binatang tidak dapat berjalan lebih jauh.
E. Pengaturan tanah.
Semua masyarakat memiliki aturan-aturan yang menentukan cara pembagian sumber daya tanah. Para pemburu dan peramu harus menentukan siapa yang boleh berburu binatang dan meramu tumbuh-tumbuhan dan di mana kegiatan itu tidak boleh dilakukan. Petani kebun harus memutuskan bagaimana tanah garapan mereka itu harus diperoleh, dikerjakan, dan diwarikan. Suku bangsa penggembala memerlukan suatu sistem untuk menetapkan hak atas tempat-tempat minum binatang dan ladang penggembalaan, maupun hak untuk melintasi daerah yang dilalui kawanan binatang mereka. Petani penuh atau intensif harus memiliki cara untuk menentukan haknya atas dan untuk memanfaatkan sumber air demi keperluan irigasi. Di masyarakat industri barat, berlaku hak milik pribadi atas tanah dan hak atas sumber daya alam. Sebetulnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa mereka beranggapan seolah-olah berlaku hak milik pribadi. Menurut kenyataanya, di Amerika Serikat lebih banyak tanah yang dikuasai oleh pemerintah federal dan pemerintah negara bagian daripada yang menjadi milik pribadi. Kecuali itu, perundang-undangan yang rumit telah disusun untuk mengatur pembelian, pemilikan, dan penjualan tanah dan sumber-sumber air. Meskipun demikian, kalau orang ingin menggunakan tanah pertanian yang berharga untuk keperluan lain misalnya, mereka dapat melakukannya.
Dalam masyarakat non-industri, hak milik pribadi atas tanah adalah langka. Pada umumnya tanah dikuasai oleh kelompok-kelompok kekerabatan seperti garis keturunan (dibahas dalam bab 18) atau kelompok. Misalnya, pada suku bangsa Tiwi semua tanah dimiliki oleh salah satu dari sembilan kelompok. Setiap kelompok yang terdiri dari 200 sampai 300 orang anggota mendiami tanah seluas kira-kira 200 mil persegi, yang mereka anggap sebagai daerah mereka-negara mereka sendiri. Batas-batas daerah itu diketahui dengan baik, meskipun bagi oarang Barat kelihatannya kabur dan tidak pasti. Ahli antropologi Charles Hart dan Arnold Pilling mengomentari:
Semua bidang tanah-hutan belukar, lapangan rumput, dan bagian hutan lebat-mempunyai nama. Sebuah daerah berhutan lebat menjadi milik kelompok yang satu, sedangkan daerah yang lebih terbuka, yang pohonnya jarang-jarang menjadi milik kelompok lain. Dengan demikian, batasnya bukan berupa garis yang jelas, tetapi berupa suatu daerah peralihan-boleh berapa mil lebarnya-di mana perubahan dari daerah berpohon menjadi daerah rumput mulai kelihatan. Orang Tiwi melihat alam sebagai semacam spektrum, tempat orang bergerak berangsur-angsur keluar dari bagian yang satu masuk ke bagian yang lain sewaktu iameninggalkan tipe lingkungan yang satu dan masuk ke tipe lingkungan yang lain.
Nilai adaptif sikap terhadap pemilikan tanah adalah sudah jelas. Besarnya daerah kelompok, maupun besarnya kelompok itu sendiri, dapat berubah sesuai dengan besarnya sumber daya di suatu tempat tertentu. Penyesuaian diri seperti itu akan lebih sukar menurut sistem hak milik pribadi atas tanah.
Di kalangan beberapa suku bangsa petani kebun di Afrika Barat berlaku pemilikan tanah menurut sistem feodal, di mana semua tanah adalah milik kepala suku. Ia membagi-bagikannya kepada para bawahannya, yang selanjutnya membagi-bagikannya lagi kepada garis keturunan. Pemimpin garis keturunan kemudian menunjuk bidang-bidang tanah tertentu kepada setiap petani. Seperti di Eropa pada abad pertengahan, rakyat Afrika harus taat kepada kepala bawahan (bangsawan) dan kepada kepala suku (raja). Orang yang menggarap tanah harus membayar pajak dan bertempur untuk raja kalau perlu. Dalam pengertian tertentu, rakyat "memiliki" tanah dan mewariskan miliknya kepada keturunannya. Akan tetapi, orang tidak dapat menghibahkan, menjual atau dengan cara lain melepaskan haknya atas sebidang tanah tanpa persetujuan tetua garis keturunan. Apabila sebidang tanah yang telah diberikan tidak diperlukan lagi oleh seseorang, kepala garis keturunan mencabut haknya dan memberikannya kepada orang lain dalam lineage. Prinsip operasional yang penting di antara petani-petani seperti itu adalah bahwa sistem seperti itu memberi hak kepada individu untuk menggunakan tanah dalam jangka waktu tertentu, dan tanah itu tidak begitu saja "dimiliknya". Ini dimaksudkan untuk memelihara keutuhan tanah pertanian sebagai tanah pertanian dan mencegah hilangnya tanah pertanian karena dibagi-bagikan terus menerus dan dialihkan untuk keperluan lain.
F. Sumber daya.
Dalam masyarakat terdapat kebiasaan dan aturan-aturan mengenai jenis pekerjaan yang dilakukan, siapa yang melakukannya, siapa yang memiliki sumber daya dan peralatan, dan bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan. Sumber daya produktif, yang oleh kelompok sosial dapat digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dikehendaki. Peraturan-peraturan di sekitar penggunaan barang-barang itu semua terdapat di dalam kebudayaan dan menentukan cara ekonomi berfungsi.
G. Modal.
Ahli ekonomi menggunakan istilah modal (capital) untuk suatu sumber daya yang tidak dihabiskan dalam proses produksi barang. Dalam masyarakat modern, modal berarti tanur baja, mesin bor, gergaji, maupun uang yang dapat untuk membeli alat-alat seperti itu. Akan tetapi, masyarakat nonindustri pun mempunyai cara untuk membuat dan membagi-bagi peralatan dan alat-alat lain yang digunakan dalam produksi barang, dan meneruskannya kepada generasi berikutnya. Jumlah dan jenis alat-alat lain yang digunakan oleh masyarakat itu dibatasi oleh gaya hidup anggotanya. Pemburu-peramu dan orang-orang nomad, yang sering melakukan perjalanan, alat-alatnya lebih sedikit dan lebih sederhana dibandingkan petani yang hidupnya menetap, sebab alat-alat dalam jumlah lebih besar dan lebih kompleks akan menurunkan mobilitas mereka.
Pemburu dan peramu membuat dan menggunakan berbagai macam senjata, banyak diantaranya dibuat secara cerdik dan efektif sekali. Biasanya mereka membuat alat-alat yang mereka perlukan, dan dengan demikian mempunyai hak prioritas dalam mengunakan atau meminjamkan alat-alat kepada orang lain dengan imbalan berupa produk yang dihasilkan dengan menggunakan alat-alat itu. Misalnya, Bushmen yang memberikan panahnya kepada pemburu lain berkah menerima bagian dari binatang apa saja yang mungkin dibunuh oleh pemburu itu. Binatang hasil perburuan dianggap milik orang yang panahnya membunuhnya.
Di kalangan petani kebun, parang yang digunakan untuk membabat dan tongkat penggali atau cangkul adalah alat-alat yang terpenting. Karena alat-alat tertsebut relatif mudah dibuat, setiap orang dapat membuatnya. Meskipun pembuatnya mempunyai hak prioritas untuk menggunakannya, tetapi kalau ia tidak mengunakannya setiap anggota keluarga dapat minta untuk menggunakannya, dan biasanya diperbolehkan. Menolak akan berarti bahwa si pemilik alat itu akan dianggap sebagai orang yang rendah budi karena kurang memperhatikan kepentingan orang lain. Kalau seorang anggota kerabat yang lain ikut menghasilkan panen yang ditukarkan dengan alat tertentu, anggota kerabat itu ikut memiliki alat itu, yang tidak dapat dipertukarkan atau diberikan kepada orang lain tanpa persetujuannya.
Apabila alat-alat dan modal produki menjadi lebih kompleks dan lebih sulit untuk dibuat, hak perseorangan atas alat-alat itu menjadi lebih mutlak, demikian juga kondisinya bagi orang-orang yang hendak meminjam dan menggunakannya. Adalah mudah untuk menganti parang yang dihilangkan oleh anggota kerabat waktu memelihara kebun kelapa, tetapi jauh lebih sukar untuk mengganti bajak besi atau mesin penuai padi. Hak atas harta milik alat-alat yang kompleks diterapkan lebih ketat. Pada umunya, orang yang menyediakan modal untuk membeli sebuah mesin yang kompleks dipandang sebagai satu-satunya pemilik dan ia dapat menentukan bagaimana dan oleh siapa alat itu akan digunakan.
H. Teknologi
Ekonomi masyarakat berhubungan dengan tingkat pengetahuannya tentang teknologi. Dalam masyarakat yang mengenal aksara, pengetahuan tersimpan dalam buku-buku. Dalam masyarakat buta-aksara pengetahuan tersimpan dalam ingatan para anggota kelompok yang bersangkutan.
Pembagian pekerjaan adalah suatu metoda untuk menurunkan kebanyakan teknologi kepada para anggotanya, sehingga tidak akan hilang dan bahkan dapat ditingkatkan. Pengetahuan tentang berbagai tumbuh-tumbuhan, kapan panen dapat diadakan, di mana terdapatnya, bagian mana yang dapat dimakan, dan bagaimana harus disiapkan dan dimasak, diperoleh oleh anak-anak sambil melihat orang-orang dewasa. Levi-Strauss melaporkan bahwa anak-anak kecil dapat mengetahui nama dan kegunaan ratusan tanaman. Perilaku dan kebiasaan binatang, bagaimana cara melacaknya, bagaimana cara menggunakan tulang dan kulitnya, bagaimana caranya membuat panah atau tombak untuk memburunya, semua itu termasuk hal ihwal teknologi bangsa nonindustri. Pada teknologi inilah kehidupan mereka bersandar, dan semua itu harus dipelajari dan diterusan kepada generasi berikutnya agar kelompok itu dapat bertahan hidup.
I. Produksi-Siklus Ekonomi Tahunan.
Dalam masyarakat petani, pola produksi hasil pertanian mengikuti musim. Siklus ekonomi tahunan di sebuah desa kecil di Yunani pada jaman sekarang memberi gambaran yang baik tentang produksi di sebuah sistem perekonomian
Tanaman hasil bumi di desa itu ditanam untuk keperluan konsumsi sendiri dan untuk dijual. Kejadian pertama dalam tahun tanam ialah pemangkasan tanaman anggur, yang dmulai pada akhir hujan musim dingin. Pemangkasan, yang disusul dengan pencangkulan yang dalam dengan menggunakan tangan dipandang sebagai tugas kaum pria dan harus cepat-cepat diselesaikan sehingga kaum pria itu dapat mulai membajak padang kapas. Kapas adalah tanaman untuk pasar, sedang anggur ditanam untuk membuat minuman yang dikonsumsi sendiri. Ladang kapas biasanya dibajak dengan menggunakan traktor sewaan, sedang penanamannya dilakukan dengan tangan.
Apabila tanaman kapas sudah mulai bersemi, diadakan pecangkulan. Pekerjaan yang berat itu dilakukan oleh gadis-gadis dan wanita setiap rumah tangga. Para wanita lain dari desa atau bahkan dari desa tetangga dapat disewa kalau ladangnya luas. Pekerjaan itu dilakukan di samping, dan bukan sebagai pengganti pekerjaan rumah tangga sehari-hari.
Pada bulan Juni gandum yang ditanam pada akhir musim gugur dipanen dengan menggunakan mesin yang dimiliki dan dijalankan oleh orang-orang di luar desa. Pembayarannya setimpal, 8 persen jumlah gandum yang telah dipanen. Gandum, yang dijadikan roti dan dimakan di rumah, umumnya masih tetap merupakan cagak hidup, makanan pokok orang-orang di desa. Sekam dan jerami digunakan sebagai makanan binatang.
Pada akhir bulan Juni dan permulaan bulan Juli, tanaman tembakau yang ditanam pada waktu yang kira-kira bersamaan dengan gandum, siap untuk dipetik dan dirangkai untuk dijemur, tugas ini diterima dengan senang oleh kaum wanita sesudah melakukan pecangkulan kapas yang mematahkan punggung di terik matahari. Mereka dapat duduk-duduk di keteduhan bayangan rumah.
Pekerjaan irigasi di ladang kapas dimulai oleh kaum pria pada bulan juli. Setiap ladang diairi kira-kira tiga kali. Pada bulan Oktober dan November kapas dipanen, yang memerlukan pekerjaan lama dengan banyak tenaga, karena kapas tidak siap panen serentak bersama-sama. Yang menjalankan pekerjaan ini adalah wanita, dan kalau perlu dapat menyewa tenaga lagi. Yang menjadi masalah bagi kaum tani adalah menyelesaikan panen kapas sebelum mulai hujan.
Sementara itu anggur telah tua dan pembuatan minuman mulai bulan Oktober. Ini masa kegembiraan, sebab pria, wanita dan anak-anak, semuanya bersama-sama ikut memetik buah anggur, bercakap dan berolok-olok, dan juga mencicipi hasil panennya.
Siklus kegiatan produksi dimulai lagi untuk tahun berikutnya. Petani Yunani itu, seperti semua petani, sebenarnya menjalankan pekerjaan rumah tangga, dan bukan suatu usaha komersial. Motivasi kaum pria adalah untuk mengurusi kesejahteraan keluarganya sendiri. Setiap keluarga, sebagai satuan ekonomi bekerja sebagai satu kelompok untuk mempertahankan atau memperbaiki posisinya sendiri. Penduduk desa mengukur kewibawaan dan kehomatan berdasarkan tingkat keberhasilan keluarga dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya. Lingkungan alam, teknologi dan peranan kerja anggota-anggota keluarga, semuanya berpengaruh atas sukses usaha keluarga dari tahun ke tahun.
BAB IV
PERTUKARAN
Sistem ekonomi dapat didefinisikan sebagai sistem produksi, distribusi, dan konsumsi barang. Karena orang dalam mengejar sarana penghidupan tertentu mutlak harus mengadakan produksi, distribusi dan konsumsi barang-barang, jelaslah bahwa pembahasan kita tentang pola-pola penghidupan di atas, telah melibatkan kita dalam urusan perekonomian. Akan tetapi, sistem perekonomian meliputi jauh lebih banyak daripada yang sudah dibahas. Dalam kajian ini, kita akan meninjau aspek-aspek sistem perekonomian khususnya sistem produksi, tukar-menukar, redistibusi yang memerlukan pembahasan lebih luas daripada yang dapat kita berikan dalam bab yang lalu.
A. Konsep Resiprositas dan Redistribusi.
Antropologi ekonomi pada masa awal perkembangannya, lebih banyak berurusan dengan gejala pertukaran tradisional dan peasant, misalnya pertukaran hadiah (gift exchange), perdagangan kula dan potltach. Berbagai pertukaran yang terdapat pada masyarakat tradisional dan pedesaan yang tidak menggunakan mekanisme uang sering disebut dengan istilah resiprositas dan redistribusi. Pertukaran dilihat sebagai gejala kebudayaan yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi juga agama teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial. Dimensi ini pada mulanya kurang menaruh perhatian terhadap pertukaran yang menggunakan mekanisme uang atau sistem ekonomi pasar. Sedangkan ilmu ekonomi paling banyak berurusan dengan masalah pertukaran dalam ekonomi pasar.
1. Sistem Pertukaran
Sistem pertukaran mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat disamping dipengaruhi oleh sisten produksi yang dipakai juga dipengaruhi oleh sistem perkawinan yang berlaku. Menurut Cook dalam Sairin (2001: 41), membedakan maslah perkawinan dan distribusi. Distribusi merupakan suatu konsep yang berhubungan dengan aspek-aspek tentang pemberian imbalan yang diberikan kepada individu-individu atau pihak-pihak yang telah mengorbankan faktor-faktor produksi yang mereka miliki untuk proses produksi.
Batasan ini mengandung arti bahwa distribusi, proses pemindahan barang atau jasa terjadi dalam unit produksi dan terjadi antara lembaga produksi dengan individu yang menjadi anggota maupun antar individu tersebut. Pertukaran merupakan konsep yang berhubungan dengan sosok-sosok tentang pengubahan barang dan jasa tertentu dari individu atau kelompok yang dilakukan dengan cara memindahkan barang atau jasa kepada individu atau kelompok yang lain guna mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkan.
Salah satu tugas antropologi adalah menyusun klasifikasi-klasifikasi sistem ekonomi di dunia, termasuk pertukaran. Polanyi membedakan pertukaran menjadi tiga pola yaitu resiprositas, distribusi dan pertukaran pasar. Klasifikasi pertukaran didasarkan pada harapan-harapan dan motif-motif yang ingin diperoleh para partisipan dalam melakukan transaksi. Motif-motif yang yang mendasari pertukaran resiprositas dan redistribusi adalah kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan sosial, kebutuhan ekonomi tetapi kebutuhan ekonomi ini tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan komersial. Usaha untuk mendapatkan keuntungan komersial, suatu keuntungan yang peroleh melalui tawar-menawar merupakan motif yang mendasari pertukaran pasar. Batasan resiprositas menurut Dalton merupakan pola pertukaran sosial-ekonomi dinama individu memberikan dan penerima pemberian barang dan jasa karena kewajiban sosial. Dalam melakukan resiporositas, orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi memenuhi kebutuhan sosial yanitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi atau penerima.
Menurut Polanyi, resiprositas dan redistribusi merupakan pola pertukaran dalam sistem ekonomi sederhana, sedangkan pertukaran pasar merupakan pola pertukaran pasar adalah pola dalam sistem ekonomi pasar. Resiprositas menjadi ciri sistem ekonomi masyarakat sederhana atau petani, sedangkan redistribusi menjadi ciri sistem ekonomi masyarakat feodal.
2. Resiprositas
Secara sederhana resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Batasan tersebut tidak mengungkapkan karakteristik dari pelaku pertukaran. Polanya telah meletakkan landasan tentang pengertian resiprositas dengan menynjukkan karakteristik dari pelaku pertukaran ini. Menurut Polanyi, rasa timbal balik (resiprokal) sangat besar yang difalisitasi oleh bentuk simetri institusional, ciri utama organisasi orang-orang yang tidak terpelajar.
Tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung. Konsep resiprositas berbeda dengan konsep redistribusi karena adanya hubungan simetris tersebut sebagai isyarat timbulnya aktivitas resiprositas. Sebaliknya aktivitas redistribusi memerlukan syarat adanya hubungan asimetri yang ditandai oleh adanya individu-individu tertentu yang tampil sebagai pengorganisasian pengumpulan barang atau jasa dari anggota-anggota kelompok. Setelah dikumpukan kemudian barang dan jasa tersebut didistribusikan kembali dalam ke dalam kelompok tersebut dalam bentuk barang dan jasa yang sama atau berbeda. Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka di mana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat guna memenuhi adat kebiasaan. Hubungan inpersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interaksi antarpelaku kerja sama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran semakin musah muncul.
Proses pertukaran resiprositas lebih panjang daripada jual beli. Proses ini ada yang realatif pendek dan ada yang relatif panjang. Pendek kalau proses tukar menukar barang dan jasa dilakukan dalam jangka waktu tidak lama dari satu tahun, misal tolong-menolong petani dalam mengerjakan tanah. Sedangkan proses resiprositas yang panjang, jangka waktunya lebih dari satu tahun misalnya sumbang-menyumbang dalam perkawinan. Proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu dalam masyarakat.
Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari pelaku, yaitu harapan untuk mendapatkan prestis sosial seperti penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah yang ditunjukkan tidak hanya kepada pelaku yang melakukan kerja sama resiprositas tetapi juga lingkungan di mana mereka berada.
Resiprositas didukung dengan struktur masyarakat yang egaliter yaitu masyarakat yang ditandai oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial, sedangkan kekuatan politik relatif teredistribusi merata di kalangan warganya. Hal ini memberi kemudahan bagi warganya untuk menempatkan diri dalam kategori sosial yang sama ketika mengadakan kontak resiprositas.
Menurut Sahlins ada tiga macam resiprositas, yaitu:
a. Resiprositas Umum (generalized reciprocity)
Dimana individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu pengembaliannya. Tidak ada hukum-hukum yanh ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai suatu kebenaran yang tiak boleh dilanggar. orang yang melangar resiprositas akan mendapat tekanan moral dari masyarakat atau kelompok yang mungkin berupa umpatan, peringatan, lisan atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat atau kelompoknya. Tanpa adanya sistem ini kehidupan bermasyarakat dan kelangsungan hidup manusia sebagai makhluk biologis dan sosial tidak bisa terwujud. Manusia membutuhkan orang lain untuk berbagi rasa dan memecahkan masalah hidup dan menikmasti kebahagiaan.
Sistem resiprositas umumnya berlaku di lapangan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Berdasarkan faktor-faktor genetis mereka mempunyai naluri untuk meneruskan keturunan dan melindungi anggota-anggotanya bukan semata-mata dilandasi oleh harapan-harapan akan pengembalian dan haknya. Tetapi sebagai suatu kodrat yang dibenarkan secara subjektif. Walaupun genetis diperhatikan tetapi gejala resiprositas merupakan peristiwa kebudayaan yang keberadaannya tergantung dari proses-proses sosial-kultural yang terjadi dalam masyarakat. Di masyarkat industri, resiprositas umum tetap berlaku pada kalangan orang-orang yang sekerabat.
Resiprositas simbolik sebagai salah satu bentuk resiprositas umum mempunyai adat kebiasaan memberi dan menerima sebagai sarana untuk menjalin hubungan kekerabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan ekonomi. Peluang masyarakat industri untuk menjalin hubungan resiprositas umum denganorang yang tidak sekerabat lebih besar dibandingkan masyarakat sedehana sesuai dengan kenyataan pula bahwa orang mendapatkan nafkah dengan cara menjual susmber daya yang dimiliki ke dalam sistem pasar. Dalam masyarakat sederhana, resiprositas umum cenderung memusat di kalangan orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Dalam masyarakat agraris, resiprositas di kalangan keluarga dekat lebih kuat dibandingkan masyarakat kota. Orang kota mendapatkan nafkah hidup dari kemampuan individu dan hukum pasar yang mengatur nasib invidu tersebut.
Resiprositas umum juga berlaku di kalangan masyarakat yang miskin, golongan masyarakat yang memperoleh nafkah tidak tetap. Beberapa ahli menilai bahwa resiprositas menyebabkan orang menjadi miskin karena orang menjadi suka menggantungkan diri kepada orang lain, yang dapat digabungkan dengan Tesis Geertz bahwa petani Jawa menjadi bertambah miskin karena mereka membagi-bagikan hasil produksi dalam komiditi yang produksinya sudah mencapai tingkat maksimum dengan sistem pertanian tradisional.
b. Resiprositas sebanding (balanced reciprocity)
Resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding dan disertai dengan kapan pertukaran itu berlangsung, kapan memberikan, menerima, dan mengembalikan yang dapat dilakukan individu, dua atau lebih dan dapat dua kelompok atau lebih. Masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari parternya tetapi masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Kondisi ini menunjukkan bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok yang melakukan transaksi bukan sebagai satu unit sosial, satu satuan sosial, malainkan sebagai unit-unit sosial yang otonom.
Ciri resiprositas sebanding ditunjukkan dengan adanya norma-norma atau aturan-aturan atau sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. Bila dilanggar akan mendapatkan hukuman atau tekanan moral dalam masyarakat. Ciri lain adalah keputusan untuk melakukan kerja sama resiprositas berada ditangan masing-masing individu yang muncul karena adanya rasa kesetiakawanan dikalangan mereka sehingga terlembaga di kalangan mereka.
Kesetiakawanan yang ditampilkan tidak penuh yaitu individu tetap berharap bahwa apa yang didistribusikan kepada partner-nya aka kembali lagi. Kalau resiprositas sebanding bergerak ke arah resiprositas umum maka hubungan sosial yang terjadi mengarah ke hubungan kesetiakawanan dan hubungan personal yang intim. Sebaliknya kalau mengarah pada resiprositas negatif maka hubungan sosial yang terjadi berifat tidak setia kawan, yakni masing-masing pihak saling berusaha mendapatkan keuntungan dari lawannya.
Menurut Sahlins, dalam masyarakat Tribal, resiprositas umum terjadi di kalangan individu yang hidup dalam satu rumah tangga yang merupakan satu unit kekerabatan yang intim. Munculnya resiprositas sebanding ini sebagai konsekuensi dari adanya solidaritas komunitas, tetapi transaksi antar individu yang berbeda komunitas mengarah pada bentuk resiprositas negatif. Bentuk resiprositas negarif tidak hanya jual beli tetapi perjudian ataupun penipuan.
Fungsi resiprositas sebanding adalah membina solidaritas sosial dan menjamin kebutuhan ekonomi sekaligus mengurangi resiko kehilangan yang dipertukarkan. Resiprositas sebanding sangat berguna bagi masyarakat petani terutama untuk memenuhi kebutuhan faktor-faktor produksi. Meskipun dalam masyarakat petani resiprositas sebanding sangat penting untuk mengatasi kebutuhan tenaga kerja tetapi juga penting untuk mengatasi kekurangan pangan. Dalam masyarakat petani Trobiand, terdapat kewajiban bagi rumah tangga untuk mendistribusikan hasil panen kepada kerabat dan kepada individu-individu yang membantu. Pamer hasil panen dan pamer mendistribusikan kekayaan mempunyai nilai prestis dalam masyarakat tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya surplus produksi yang sangat penting bagi masyarakat tradisional yang rendah produktivitas pertaniannya sebagai akibat dari rendahnya teknologi produksi mereka.
Dalam masyarakat primitif dan petani, resiprositas sebanding berkurang fungsinya sebagai mekanisme untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bila resiprositas tersebut berlangsung dalam konteks kegiatan nonproduksi.
Resiprositas Negatif (negative reprocity)
Sistem ekonomi tidak statis. Trasnsformasi ekonomi terjadi karena adanya pembangunan ekonomi. Negara-negara terbelakang dan berkembang melakukan transformasi ekonomi melalui program-program pembangunan yang menimbulkan perubahan dalam perekonomian tradisional dan peasent di berbagai bidang produksi, konsumsi, dan distribusi. Transformasi ekonomi di bidang pertukaran yang terjadi dalam perekonomian masyarakat di negara-negara berkembang menggambarkan dua pola besar. Pertama, hilangnya bentuk-bentuk pertukaran tradisional diganti oleh bentuk pertukaran modern. Resiprositas merupakan bentuk pertukaran yang muncul sebelum pertukaran pasar. Lambat laun resiprositas tersebut lenyap dan kehilangan fungsi-fungsinya sebagai akibat masuknya sistem ekonomi uang. Dengan pertukaran uang sebagai alat tukar, maka barang dan jasa kehilangan nilai simboliknya yang luas dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar objektivitas terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan.
Ketergantungan masyarakat terhadap uang untuk memnuhi kebutuhan hidup menyebabkan berbagai pertukaran jasa yang berkaitan dengan kegiatan produksi diselenggarakan dengan memakai alat tukar berupa uang. Para ahli dapat menunjukkan bahwa revolusi hijau sebagau suatu proses komersialisasi pertanian, telah menghilangkan berbagai institusi tradisional, misalnya derep, dan sambatan yang dijiwai oleh semangan gotong royong.
Bentuk resiprositas pertukaran yang kedua ditunjukkan dari studi resiprositas dalam masyarakat heterogen yang telah mengenal ekonomi uang. Studi Halperin dan Dow menunjukkan bahwa resiprositas terjadi di kalangan masyarakat yang heterogen dan fungsi resiprositas antar kelompok yang berbeda yaitu pemilik peternakan dengan penggembala, atau tuang tanah dengan penyewa tanah, ternyata menguntungkan elite atau patron dalam kelompok tertentu.
Beberapa penelitian antropologi telah mengungkapkan bahwa invertasi ekonomi uang ke dalam sistem ekonomi tradisional tidak slalu menghilangkan eksistensi tata nilai lama. Boeke, tentang dualisme ekonomi di Indonesia memperlihatkan bahwa pertarungan antara sektor modern dan tradisional tidak dimenangkan oleh satu pihak pun. Dualisme pertukaran kemudian terbentuk mengingat pertarungan antarpertukaran modern dan pertukaran tradisional menempati sektor yang berlainan atau sama-sama kuat sehingga menghasilkan suatu bentuk pertukaran yang ambivalen yaitu satu sisi memperlihatkan prinsip-prinsip pertukaran dalam ekonomi pasar dan sisi lain ekonomi tradisional. Prinsip kekeluargaan dan kesetiakawanan merupakan bukti bahwa resiprositas lebih manusiawi daripada pertukaran pasar.
3. Redistribusi
Redistribusi merupakan salah satu konsep pertukaran yang penting di dalam leteratus anrtopologi ekonomi. Redistribusi merupakan bentuk kerja sana individu-individu anggota suatu masyarakat atau suatu kelompok dalam memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki atau kuasai. Kerja sama tersebut berkaitan dengan masalah-masalah meingkatkan kesejahteraan masyarakat atau kelompok dan upaya individu-individu tertentu untuk berperan dalam kemlompok. Diskusi redistribusi tidak lepas dari dua masalah kepentingan kelompok atau kepentingan pribadi dan juga dapat mengacu pada pembahasan tentang bentuk dan peranan model redistribusi yang dapat menentukan dinamika ekonomi dalam masyarakat.
Dalam masyarakat nonindustri, di mana terdapat surplus yang cukup besar sehingga dapat menopang adanya pemerintah, pendapatan akan mengalir ke dalam kantong pemerintah dalam bentuk upeti, pajak dan hasil rampasan dalam peperangan. Pendapatan itu kemudian akan didistribusikan lagi. Sang kepala atau raja mempunyai tiga alasan untuk membagi-bagikan pendapatan itu: pertama untuk mempertahankan superioritasnya dengan memamerkan kekayaan, kedua untuk menjamin kehidupan yang memadai bagi mereka yang mendukungnya, dan ketiga untuk membentuk persekutuan di luar daerahnya.
Administrasi kerajaan Inca di Peru adalah salah satu yang efisien yang pernah terdapat di dunia, baik dalam hal pengumpulan pajak maupun metoda pengawasannya. Ada data sensus tentang penduduk dan sumber daya. Ada pungutan-pungutan yang berupa barang, dan yang lebih penting, yang berupa jasa. Setiap pengrajin harus membuat sejumlah barang tertentu dari bahan yang diberikan oleh para pengawas. Tenaga kerja paksa dapat dimanfaatkan untuk pertanian atau pertambangan. Tenaga kerja paksa juga digunakan untuk menggunakan program pekerjaan-pekerjaan umum, yang meliputi sistem jalan dan jembatan yang mengagumkan melalui daerah yang bergunung-gunung, waduk untuk menjamin persediaan air, dan gudang-gudang untuk meyimpan surplus guna keperluan waktu terjadi kelaparan. Pemasukan dan pengeluaran dihitung dengan teliti. Sebuah birokrasi pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi agar produksi berjalan dan komoditi didistribusikan sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh para penguasa yang mengendalikan pemerintahan.
Redistrusi dilakukan melalui kegiatan pemerintah, hidup golongan yang berkuasa sangat mewah, tetapi apabila diperlukan barang-barang dibagikan juga kepada rakyat banyak. Redistribusi adalah suatu pola distribusi dimana pertukaran tidak diadakan antar individu atau antar kelompok, tetapi sebagian hasil pekerjaan itu disalurkan ke sebuah sumber, yang kemudian dibagi-bagikan lagi menurut petunjuk dari administrasi pusat. Pajak adalah sebuah bentuk redistribusi Amerika Serikat. Rakyat membayar pajak kepada pemerintah, yang sebagian digunakan untuk keperluan pemerintah sendiri, sedangkan sisanya diredistribusikan baik dalam bentuk uang, seperti pembayaran untuk jaminan kesejahteraan atau pinjaman kepada Chrysler Corporation baru-baru ini agar perusahaan itu tidak bangkrut, maupun dalam bentuk jasa, seperti pengawasan atas bahan pangan dan obat-obatan, pembuatan jalan bebas hambatan, dan sebagainya. Agar proses redistribusi itu dapat terlaksana, di dalam masyarakat harus ada sistem organisasi politik yang kompleks dan juga ada surplus ekonomis di samping dan di atas kebutuhan seketika dari rakyat.
Secara sederhana redistribusi merupakan suatu perpindahan barang atau jasa. Perpindahan yang pertama dibedakan Polanyi menjadi perpindahan yang bersifat transaksional (transactional movement) yang terjadi dalam kelompol dan perpindahan yang bersifat diposional (disposional movement) yang terjadi antarkelompok dengan kelompok yang lain. Perpindahan dispisional bersifat sebanding yaitu salah satu pihak memperoleh keuntungan yang lebih daripada yang lain.
Dimensi-dimensi redistribusi
Redistribusi mempunyai dimensi sosial, ekonomi dan politik yang khas yang berbeda dengan resiprositas. Dalam redistribusi, hubungan yang terjadi adalah hubungan antar individu sebagai anggota kelompok. Ada tekanan normatif dari kelompok terhadap kebebasan individu yang menjadi suatu sistem budaya yang diterima apa adanya oleh warga masyarakat.
Sahlils mendefinisikan redistribusi sebagai pooling, yaitu perpindahan barang dan jasa yang tersentralisasi yang melibatkan pengumpulan dari anggota-anggota suatu kelompok kemudian dibagi-bagikan kembali pada anggota-anggota kelompok tersebut. Definisi lain menerangkan sebagai perpindahan barang atau jasa dari pihak yang secara politis berada pada pisisi atas selaku pemegang otoritas ekonomi dan politik dan selanjutnya barang dan jasa tersebut didistribusikan kembali dalam bentuk yang sama atau berbeda.
Kelompok sebagai suatu organisasi selalu ditandai dengan adanya pemusatan wewenang yang diberikan kepada pemimpin atau orang-orang yang ditunjuk. Resdistribusi merupakan perilaku yang terbentuk oleh kelompok maka analisis redistribusi perlu memperhatikan bentuk, ukuran dan struktur kelompok. Ada perbedaan antara pola redistribusi pada komunitas kecil tradisional dengan komunitas petani pada masa kekuasaan feodal, maupun pada masa masyarakat telah mengenal sistem uang.
Hubungan-hubungan sosial antarwarga masyarakat yang terintegrasi oleh kekuatan politik yang sentraliter ini secara implisit mengandung arti bahwa individu-individu dalam masyarakat melakukan suatu aktivitas ekonomi menurut aturan-aturan atau norma-norma yang mengarah pada tindakan untuk kepentingan kolektif dengan cara memusatkan wewenang kepada pihak tertentu. Dikaji dari dimensi ekonomi, redistribusi merupakan pertukaran yang dilandasi motif komersial seperti dalam resiprositas negatif atau pertukaran pasar. Semakin tinggi derajat sentralitas yang mengintegrasikan masyarakat maka semakin potensial bagi tumbuhnya aktivitas redistribusi dalam masyarakat.
Fungsi redistribusi
Fungsi redistribusi sangat kompleks meliputi fungsi politik, sosial, dan ekonomi. Fungsi politik adalah sebagai mekanisme uang untuk mobilisasi kekuatan guna kepentingan-kepentingan politik; mengintegrasikan berbagai kelompok dalam masyarakat sebagai satu keatuan sosial. Melalui aktivitas redistribusi anggota-anggota masyarakat menjadi merasa terkat, berbakti kepada kelompok sehingga terwujudlah solidaritas masyarakat. Para pemprakarsa politik mendaat prestise sosial karena mereka mendapat telah membagikan sebagian dari haryanya atau mengumpulkan barang dan jasa dari masyarakat dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas atau dalih keadilan sosial.
Fungsi sosial redistribusi antara lain mengenai kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial yang memperhatikan bahwa redistribusi berpihak pada golongan yang miskin. Redistribusi dapat berfungsi meningkatkan kesetiakawanan sosial. Ini tercermin semua pihak yang berbeda-beda. Dalam peristiwa banjir atau musibah, siapa pun mendapat bantuang dengan tidak pandang bulu dan siapa pun dari lapisan apapun diminta untuk ikut berpartisipasi memberi bantuan. Fungsi sosial lainnya adalah meningkatkan kesejahteraan umum yang tercermin dari pengumpulan dana masyarakat untuk memperbaiki jalan, jembatan, bangunan suci atau pendidikan dan sebagainya. Di pedesaan, upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan cara gotong-royong (gugur gunung) atau kerja bakti meskipun pada masa kini lembaga tersebut digeser dengan pemakaian tenaga borongan atau upahan.
Fungsi ekonomi beragam, pertama redistribusi merupakan kerja sama ekonomi yang bersifat simbiosis saling menguntungkan. Fungsi ini memperhatikan bahwa ini memperhatikan bahwa kedua belah pihak antara pemegang otoritas dengan masyarakat saling mendapatkan keuntungan yang sama sebanding dari aktivitas redistribusi yang mereka lakukan. Kedua, sebagai kerja sama ekonomi yang bersifat eksploitatif, dimana pihak yang superior mengeksploitasi pihak yang inferior. Ketiga adalah menyelamatkan atau melindungi hasil produksi dari kerusakan yang sia-sia, dimana terjadi pada kasus resiprositas antar warga masyarakat berburu dan meramu. Keempat adalah melindungi anggta masyarakat yang ekonominya lemah yang beraspek keadilan sosial. Bentuk redistribusi ino ditunjukkandari berlakunya pajak kekayaan bagi warga masyarakat yang mampu. Fungsi kelima adalah menjamin konsumsi warga masyarakat yang tidak dapat menghasilkan barang. Keenam adalah menjamin meningkatnya efektifitas usaha produksi. Ketujuh adalah sebagai sarana untuk menabung seperti arisan. Dengan arisan orang dapat menabung secara teratur karena tingkah laku menabung menjadi kewajiban sosial. Dan fungsi kedelapan adalah sebagai mobilitas pertukaran yang biasanya dimaksudkan untuk kepentingan pembangunan ekonomi dan proyek-proyek besar yang direncanakan oleh masyarakat atau negara.
Transformasi redistribusi
Rendahnya teknologi produksi pada masyarakat menyebabkan pnduduknya harus memanfaatkan redistribusi untuk memecahkan masalah ketidakstabilan dalam memperoleh nafkah. Aktivitas redistribusi terkontrol melalui norma-norma kelompok yang diikuti warga masyarakat sebagai kewajiban yang harus mereka patuhi. Dalam komunitas petani yang hidup dalam sistem pemerintahan feodal, redistribusi bentuknya meluas. Petani mempunyai kewajiban-kewajiban untuk menyerahkan hasil panen dan sebagian tenaganya untuk membiayai kegiatan pemerintahan. Fungsi penguasa adalah pengumpul dana masyarakat yang dipakai untuk membangun infrastruktur negara, kesejahteraan umum, serta kebesaran kerajaan.
Redistribusi pada masyarakat sederhana semakin tidak efektif kalau dalam masyarakat tersebut berkembang sistem ekonomi uang yang mampu mengintegrasikan komunitas-komunitas petani menjadi bagian dari sistem ekonomi nasional dan global. Loyalitas petani beralih pada pihak-pihak yang memungkinkan ia memperoleh uang. Sebaliknya komunitas petani yang menyelenggarakan redistribusi semakin tidak mampu mengintegrasikan warga masyarakatnya ke dalam sistem ekonomi tertutup yang mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan warganya.
Pudarnya redistribusi di tingkat lokal diganti dengan tingkat nasional. Dalam sisten feodal, redistribusi dalam bentuk kewajiban anggota masyarakat atau pengusaha lokal untuk membiayai kegiatan pemerintah pusat. Pada sistem pemerintahan modern, redistribusi berubah dalam bentuk pajak. Pemerintah mengambil kebijakan menyantuni orang-orang miskin, memberi subsidi kepada usaha skala kecil sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan politik. Dalam kehidupan ekonomi pasar yang memunculkan masyarakat industri, redistribusi dilakukan oleh pengusaha-penguhasa kaya dan tokoh-tokoh politik yang digunakan untuk menjamin kelangsungan masyarakat ekonomi uang dan sistem politik yang berlaku.
BAB V
TEORI SUBTANTIVIS DAN TEORI FORMALIS
Beberapa ahli antropologi berpendapat bahwa tidak banyak pelajaran yang dapat ditarik dari studi tentang ekonomi pasar, dimana yang menjadi motivasi utama adalah keuntungan, kalau kita mempelajari bangsa-bangsa yang mengadakan tukar-menukar tidak untuk memperoleh keuntungan. Posisi ini disebut substantivisme.
Sarjana lain yang mengikuti aliran pemikiran yang dikenal sebagai formalisme, tidak sependapat. Para pengikut aliran formalisme berpendapat bahwa teori ekonomi sebenarnya adalah mengenai cara orang mencari kepuasaan pribadi yang sebesar-besarnya dengan menyimpan barang dan mendistribusikan sumber-sumber daya yang langka. Kalau ini benar, maka teori ekonomi ini cukup umum sehingga dapat diterapkan pada semua masyarakat.
A. Pendekatan Formalis
Antropologi ekonomi lahir pada awal abad ke-20 berkat dilakukannya berbagai penelitian etnografi yang mengfokuskan pada asperk ekonomi masyarakat. Para ahli ekonomi menaruh perhatian pada penelitian etnografi yang fokus pada spek ekonomi. Dan para ahli entropologi berusaha mengembangkan pendekatan penelitian dengan menggunakan teori, konsep dan hukum-hukum ekonomi untuk menjelaskan gejala ekonomi dalam masyarakat promitif atau peasent. Pendekatan tersebut kemudian dikenal dengan pendekatan formalis.
Secara konvensional ilmu ekonomi mengasumsikan bahwa tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan aktivitas ekonomi tersebut. Cook melihat ada enam ciri umum yang membedakan pendekatan formalis dan sibstantif. Pertama, pendekatan ini terkesan dengan kesuksesan ilmu ekonomi neo-klasik dalam merumuskan hukum-hukum ekonomi untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku ekonomin masyarakat Eropa dan luar Eropa pada abad 19 dan 20 yang menggunakan sistem ekonomi pasar.
Hukum-hukum ekonomi menarik perhatian ahli antropologi yang menganut pendekatan formalis, yaitu (1) dalil mengenai gejala ekonomi sebagai fungsi dari kelangkaan sumber daya; (2) tujuan ekonomi bersifat tidak terbatas; (3) ekonomi merupakan suatu pilihan yang ekonomis dari sejumlah sumber daya yang terbatas untuk memenuhi tujuan yang tidak terbatas; (4) berlakunya hukum permintaan dan penawaran dalam proses alokasi barang dan jasa di pasar; (5) berlakunya hukum law of diminishing return dalam proses produksi.
Kedua, pendekatan formal menempatkan antropologi ekonomi sebagai studi tentang hubungan-hubungan sosial tentang proses pemanfaatan sumber daya ekonomi. Pendekatan ini menentukan antropologi ekonomi sebagai usaha untuk mendiskripsikan dan menganalisis cara-cara proses pemanfaatan sumber daya ekonomi tersebut dalam berbagai seting kultural.
Ketiga, tujuan pendekatan formal ini adalah umtuk mencapai pemahaman yang akurat tentang keragaman dan kompleksitas tingkah laku sosial yang diobservasi. Pendekatan ini cenderung mengkonstruksi model-model yang bersifat memprediksi tingkah laku yang akan terjadi dalam berbagai seting kultural. Keempat, para penganut aliran ini pada dasarnya bersifat historis. Peneliti tidak akan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang proses perkembangan sistem ekonomi. Pemahaman yang mendalam tersebut akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kurang kuat untuk meramalkan fenomena yang akan terjadi.
Kelima, mempunyai kecenderungan uang kuat dalam menerapkan prinsip-prinsip abstraksi umum (logika deduktif) untuk menganalisis tingkah laku ekonomi pada berbagai seting kulturan yang berbeda. Keenam, aliran ini melihat gejala ekonomi pada tingkah laku individu (personal) dan motif-motif yang mndorong tingkah laku tersebut, sehingga perekonomian dilihat sebagai kumpulan dari pelaku-pelaku tingkah laku dan motif-motifnya.
1. Pandangan umum tentang ekonomi primitif dan peasant
Kesimpulan umum sistem ekonomi masyarakat primitif dan peasant dari pendekatan formalis, pertama, sistem ekonomi masyarakat tersebut mempunyai banyak kesamaan prinsip dasar dengan sistem ekonomi masyarakat Eropa (modern). Perbedaan tingkat terjadi karena tingkat kemajuan peradaban orang Eropa, khususnya bidng ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesamaan dasar antara sistem ekonomi Eropa dengan sistem ekonomi sederhana dapat dilihat dari: (1) mekanisme ekonomi; (2) prinsip ekonomi. Karena sistem ekonomi masyarakat sederhana hanya dilihat dari pendekatan tingkat, bukan jenis maka penganut pendekatan formalis menyarankan perlunya mengaplikasikan teori ekonomi formal untuk mengkaji fenomena ekonomi masyarakat sederhana.
2. Berbagai sudut pandangan penganut pendekatan formalis
Firth menyarankan kepada ahli antropologi untuk menerapkan konsep-konsep ilmu ekonomi untuk mengkaji sistem ekonomi sederhana dan mempelajari tingkah laku individu dalam situasi dimana ia memainkan peran sosial dan berinterakasi dengan sesana kelompok dalam masyarakat. Herskovits menyimpulkan bahwa semua sistem ekonomi mengenal prinsip ekonomiyang sama meskipun wujusnya berbeda-beda, dan prinsip tersebutdalam masyarakat sederhana tidak sekuat dibandingkan dengan masyarakat modern. Porpisil mengatakan bahwa sistem ekonomi orang Kapauku sama dengan sistem ekonomi orang Barat. Wiraswastawan memiliki ciri yang berorientasi untuk melipatgandakan kekeyaan dan motif ini terdapat pada masyarakat Eropa maupun Kapauku yang tergantung dari kemampuan menjalin hubungan jaringan sosial. Manning Nash menerima bahwa tingkah laku memilih dan tingkah laku mencari keuntungan bersifat uniniversal sehingga ia dapat menerima bahwa teori ekonomi neo-klasik dapat diterapkan pada setiap masyarakat. Ia menyimpulkan bahwa proses pengambilan keputusan untuk memilih dalam masyarakat sederhana sangat dikondisikan oleh struktur sosial. Analisis tentang tingkah laku ekonomi dapat dikerjakan dengan cara menyimak serangkaian organisasi sosial dan norma-norma yang menjebatani pilihan-pilihan ekonomi. Ia menekankan bahwa terdapat universalitas gejala ekonomi tetapi dalam mengaji gejala ekonomi, antropologi jengan meniru ahli ekonomi yang langsung mereduksi fakta-fakta empiris ke dalam konsep-konsep ilmu ekonomi formal.
Pilihan ekonomi yang rasional dalam masyarakat petani mengikuti aturan umum pemaksimalan yang sama dengan aktivitas ekonomi dimana saja dan kapan saja tetapu dilain pihak menekankan bahwa studi aturan ekonomi-ekonomi petani tidak perlu dikurung dalam bahasa abstrak analisis ekonomi formal tidak harus kehilangan keuntungan dalam skala kecil dengan mengikuti trend untuk menghargai konsrtuksi pada level model kerangka, universal, dalam ruang dan waktu, untuk keuntungan manipulasi yang luwes, mudah dan meragukan.
Gagasan Nash didukung oleh Cook dan menyatakan bahwa antropologi ekonomi harus mencoba untuk mengkontekstualisasikan fakta-fakta ekonomi dan aktivitas-aktivitas ekonomi terhadap aspek-aspek lain dari sistem sosio-kultural. Berdasarkan hasil penelitian di Ocaxaca, Cook melihat bahwa harga merupakan variabel penting yang menentukan tingkat produksi batu penggiling.
Epstein memperlihatkan bahwa keberadaan pendekatan formalis yang kuat untuk mengkaji masalah-masalah dalam perekonomian primitif, karena pendekatan ini mampu menunjukkan metode analisis ekonomi sesuai dengan data di lapangan. Ia menawarkan bagaimana data tentang aktivitas produksi dikumpulkan dan dianalisis dengan memakai data alikasi waktu untuk menguji konsep ekonomi dalam perekonomian petani.
Alice Dawey mengungkapkan bahwa pasar di Jawa dalam masyarakat agraris merupakan komunitas pedagang yang mempunyai karakteristik kompetitif. Pasar sebagai jaringan sosial dimana anggota-anggotanya membentuk ikatan-ikatan berasas guna dalam seting kulturas setempat. Perkembangan pendekatan formalis ditandai oleh munculnya teknik-teknik pengumpulan data kualitatis sehingga memungkinkan peneliti bisa menarik kesimpulan bahwa teori ekonomi klasik bisa dipakai untuk menjalaskan fenomena ekonomi dalam masyarakat sederhana. Barlett berdasarkan penelitian di India mengungkapkan bahwa petani India mempunyai sistem kalkulasi input-output yang reliabilitasnya relatif sebanding dengan kalkulasi yang dipakai peneliti.
M. J. Herskovits mengkaji masalah akulturasi dan masalah-masalah perubahan kebudayaan pada umumnya. A. Richards meneliti suku bangsa Bemba di Zimbabwe, Afrika Selatan. Penelitian itu mengenai produksi bercocok tanam dalam berbagai musim, pemasaran hasil pertanian, ekonomi, rumah tangga, pemakaian tanah, upacara-upacara penghormatan nenek moyang, yang diuraikan dalam sistem adat istiadat perkawinan dan warisan.
L. Pospisil mengkaji sistem mata pencaharian suku Kapauku di Irian Jaya, yaitu: berladang; beternak babi; menangkap ikan, berburu dan meramu; dan pertukangan, teknologi produksi, organisasi tenaga kerja, distribusi dan konsumsi. Suku Kapauku mempunyai uang tradisional berupa kerang yang dimanipulasi dalam perkumpulan simpan pinjam (tapa) untuk menaikkan gengsi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa dagang dan keberanian untuk mengambil resiko juga dalam mentalitas orang Kapauku yang tidak hanya menyangkut uang dan benda-benda simbolik seperti kerang-kerang dan kalung yang terbuat dari kerang saja, tetapi menyangkut komoditi yang lebih konkret yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, yaitu babi.
3. Kritik terhadap pendekatan formalis
Kelemahan pendekatan formalis terletak pada pengujian di lapangan yang tidak memberi jawaban mengapa banyak kegagalan pembangunan ekonomi di negara bekembang dan terjadinya penyimpangan arah pengembangan ekonomi. Ia mengabaikan dimensi sejarah perkembangan ekonomi.
B. Pendekatan Substantif
Penekatan substantif lebih manaruh perhatian terhadap upaya untuk menghasilkan teori-teori baru yang lebih cocok dengan maslah di lapangan. Para penganutnya tidak lagi berurusan dengan konsep ekonomi formal tetapi ekonomi substantif yang melihat gejala ekonomi dari proses pemberian makna yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi.
Pendekatan substantif menempatkan perekonomian sebagai rangkaian dari aturan-aturan dan organisasi sosial dimana genomena ekonomi dalam masyarakat terikat pada sistem pranata dan norma-norma yang sama. Konsepsi ini menempatkan individu sebagai pihak yang pasif dalam aktivitas ekonomi karena ekonomi sebagai sustu sistem menentukan bagaimana individu bertingkah laku. Cara pandang penganut susntantif tersebut tampak bahwa mereka mengabaikan gejala perubahan ekonomi dalam masyarakat. Norma-nornma ekonomi tidka dipandang sebagai tujuan yang harus dicapai dengan mematuhi, tetapi sebagai alat dan kalau alat tersebut tidak mendatangkan keuntungan maka akan diganti dengan alat lain.
Pandangan subtantif mengenai fenomena ekonomi yang memandang individu bersifat statis juga kurang dapat diikuti. Pandangan ini mempunyai kesejajaran dengan konsep kebudayaan yang melihat bahwa manusia menerima kebudayaan sebagai sesuatu yang diterima begitu saja. Kalau gejala kebudayaan dipandang dari tingkat individu maka akan terlihat bahwa tidak semua individu mempunyai respon yang sama terhadap sistem sosial budaya yang membelanggu kehidupan ekonomi mereka. Penganut aliran ini berpendapat bahwa antropologi ekonomi lebih baik ditempatkan dalam kerangka studi sistem ekonomi komparatif yang cakupannya meliputi deskripsi dan analisis semua sistem ekonomi, baik sistem ekonomi industri dan praindustri.
Disiplin antropologi sebagai induk antropologi ekonomi yang mengibarkan pentingnya studi komparatif untun menarik generalisasi empiris pun mengalami kesulitan karena studinya berurusan dengan penggunaan konsep lintas budaya. Pendekatan ini cenderung berusaha membuat tipologi sistem ekonomi. Aliran ini pada dasarnya bersifat historis dengan cirri pertama mengandung arti bahwa dalam mengkaji suatu perekonomian, pendekatan ini cendereung melihat gejala ekonomi sebagai proses dari gejala sebelumnya dan gejala yang terjadi pada masa sekarang akan mempengaruhi gejala-gejala yang akan terjadi pada masa mendatang.
Sifat relativistik terlihat bahwa sistem ekonomi suatu masyarakat merupakan bagian integral dari kebuydaan masyarakat. Siaft ini melihat tingkah laku ekonomi sebagai ketergantungan antara manusia dengan alam sekitas dan sesamanya yang menyebabkan orang melakukan aktivitas produksi dan pertukaran. aliran substantive melihat perekonomian sebagai proses pemberian makna mtrerial. Konsepsi ini mengarahkan peneliti untuk melihat gejala ekonomi pada pikiran-pikiran yang mendasari terhadap terwujudnya barang dan tingkah laku tersebut.pendekatan ini memperhatikan struktur, fungsi, dan makna simbolik dari pranata, tingkah laku dan organisasi sosial secara langsung berhubungan dengan aktivitas ekonomi.
Aliran ini menganalisis ekonomi sebagai studi tetapi perhatian penganut alira substantive juga mencakup di luar ekonomi dalam arti harfiah, karena mencakupaspek-aspek sosial cultural yang terkaoi dengan perilaku ekonomi.
1. Pemikiran Antropologi Ekonomi Subtantivisme
Polanyi menbedakan dua macam kajian dalam ilmu sejarah ekonomi yaitu kajian proses-proses ekonomi termasuk kekayaan, ternologi dan peralatan, dan yang kedua adalah kajian pranata-pranata dan organisasi dari aktivitas ekonomi dari suatu masyarakat tertentu. Terdapat dua subgolongan yakni yang memeperhatikan motivasi, sikap, dan mentalitas orang dalam melakukan aktivitas ekonomi, dan yang kedua adalah golongan yang memperhatikan perilaku manusia serta aspek operasional dari aktivitas ekonomi. Polanyi kemudian mengembangkan konsepsi mengenai tingkatan evolusi sistem ekonomi, yakni (1) reciprocity (asas timbal balik); (2) redistribusi; an (3) market exchange.
Reciprocity yaitu memproduksi guna memenuhi kebutuhan sendiri, masyarakat kecil dan terisolir yang madiri, berlangsung antar kerabat. Redistribusi terdapat pada masyarakat early empires (kerajaan kuno), rakyat memproduksi untuk diri sendiri dan kerajaan untuk diperdagangkan yang hasilnya untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan market exchange adalah sistem ekonomi baru dan berkembang dalam kerajaan-kerajaan Eropa Barat. Dalam sistem ini kekuatan pendorong disebabkan kebutuhan manusia akan komoditi serta barang-barang langka & penawaran yang terbatas terhadap barang tersebut. Polanyi menyatakan adanya tingkat-tingkat peralihan, di mana masih ada sistem ekonomi berdasarkanatas timbal-balik disamping sistem ekonomi berdasarkan berdasarkan atas redistribusi, atau ketiga sistem itu masih berdampingan.
Ahli subtantivis lainnya adalah H.J Boeke. Ia mengkaji masalah kemiskinan di Indonesia berdasarkan pendekatan subtantivisme. Ia berpendapat bahwa kemiskinan rakyat Indonesia, khususnya di Jawa karena dieksploitasi dan diperas oleh penjajah bukan satu-satunya sebab. Ia menyatakan bahwa seandainya pemerasan terhadap rakyat dapat dihentikan, ekonomi tetap tidak akan maju. Pendapat ini terpengaruh dari pemikitran liberalisme yang berpendapat bahwa manusia yang ingin maju harus bekerja dan bejuang dengan keras, dan karena semua manusia mempunyai hak yang sama maka banyak orang bersaing untuk maju. Dan dalam persaingan itu hanya yang kuat saja yang akan menang dan maju. Menurut Boeke, kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan karena kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi.
Mentalitas rakyat Indonesia: (1) rasa puas akan kebutuhan terbatas; (2) lebih mementingkan gensi dan pengakuan sosial daripada kebutuhan ekonomi; (3) takut mengambil resiko; (4) tidak adanya motivasi untuk mencari keuntungan materi; (5) tidak berdisiplin dan tidak ketat dalam tempat dan waktu; (6) tidak mampu berorganisasi; dan (7) enggan menimbun modal. Mentalitas tersebut merupakan akibat kurangnya pendidikan rakyat Indonesia pada umumnya, yang sebagian besar masih hidup di pedesaan, selain itu mentalitas tersebut sulit dirubah terutama karena kekuatan sistem ekonomi Eropa mengganggu keseimbangan sosial dari komuniti pedesaan di Indonesia. Masuknya otonomi desa kerena pengaruh pemerintahan pusat, eksploitasi penduduk desa bagi keperluan perusahaan-perusahaan Belanda dan melebarnya jurang antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Untuk itu dia mengusulkan untuk melepaskan masyarakat pedesaan dari campur tangan pemerintahan pusat dan pengaruh ekonomi luar serta harus diberi kesempatan untuk berevolusi sendiri dengan potensi-potensi yang ada pada mereka sendiri.
Pendirian Boeke berubah lebih dari 20 tahun kemudian. Pendiriannya yang baru adalah “dualisme ekonomi” harus hilang yang dapat dilakuakan dengan cara membuang sistem kapitalisme asing dari Indonesia dam mencambuk seluruh masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Indonesia baru. Ia menganggap komunimes yang dapat menolong masyareakat Indonesia.
Sistem Ekonomi Boeke
PRAKAPITALIS
KAPITALISME
KOMUNISME
Tidak meratanya umat manusia dinggap takdir alamiah
Meratanya umat manusia dianggap sebagai takdir alamiah, tetapi tidak meratanya adalah akibat kekuatan ekonomi
Meratanya umat manusia dianggap sebagai takdir alamiah, tetapi tidak meratanya diakibatkan pengaruh struktur politik
Mentalitas cepat menyerah pada nasib
Mentalitas berusaha melawan nasib
Mentalitas orientasi vertikal dan tanggung jawab atasan
Mentalitas orientasi bebas
Mentalitas orientasi vertikal dan tanggung jawab atasan, disiplin sosial ketat
Penentuan dari pusat atau atas, tanggung jawab atasan dan gotong royong
Demokrasi, tanggung jawab pribadi
Penentuan dari pusat, tanggung jawab dati pusat atau atasan
Memuaskan kebutuhan dasar
Memuaskan kebutuhan pribadi
Memuaskan kebutuhan umum
Tradisional, anti perubahan
Rasional, mementingkan pribadi individualisme
Kolektif, mememtongkan epentingan umum
Kommmunalisme
Individualisme
Sosiallisme
Ekonomi bagian dari kehidupan agama
Ekonomi sekuler terpisah dari agama
Agama tidak penting
Bekerja adalaj aktivitas terpaksa yang tidak menyenangkan
Bekerja memberi kepuasan dan makna pda hidup
Bekerja demi kesejahteraan umum
Nilai-nilai pedesaan dan tradisional dipentingkan
Nilai-nilai perkotaan dan modern dipentingkan
Nilai-nilai pedesaan dan tradisional harus dibuang
Hubungan majikan-buruh berasas kekeluarhaan
Hubungan majikan-buruh berdasarkan kontrak dan asas guna
Pekerja dalah ahli masyarakat
Kebutuhan sosial bagi individu lebih penting daripada kebutuhan ekonominya
Kebutuhan ekonomi bagi individu lebih penting daripada kebutuhan sosialnya
Kebutuhan kolektif lebih penting daripada kebutuhan sosial maupun ekonomi individu
ORGANISASI
PRAKAPITALISME
KAPITALISME
KOMUNISME
Organisasi adat berdasarkan asas kekeluargaan
Organisasiberkooperatif berdasar atas individualisme
Organisasi komunal berasaskan pengaturan dari atas
Organisasi produksi oleh satuan kekerabatan
Organisasi produksi oleh perusahaan swasta
Organisasi produksi oleh negara
Asas solidaritas kekeluargaan
Asas solidaritas fungsional
Asas solidaritas komunal
Batas organisasi lokal
Batas organisasi lokal, nasional atau internasional
Batas organisasi nasional
TEKNOLOGI
Sederhana, cukup untuk kebutuhan keluarga
Maju, menurut kebutuhan pasar
Maju, menurut kebutuhan yang direncanakan oleh negara
Peredaran uang terbatas
Peredaran uang tidak terbatas
Peredaran uang diatur oleh negara
Kerja tangan
Mekanisasi
Mekanisasi
Geertz memberikan kritik pada pemikiran Boeke mengenai penyebab kemiskinan rakyat Indonesia diakibatkan mentalitas ekonomi Indonesia yang “statis” dan kebijaksanaan ekonomi kolonial belanda menyebabkan kemiskinan rakyat dan timbulnya mentalitas statis dan apatis terhadap kemajuan.
2. Pandangan umum tentang ekonomi “primitif” dan peasant
Kesimpulan umum yang ditarik penganut pendekatan ini adalah: pertama, bahwa dalam perekonomian primitif dan peasant tidak ada lembaga yang secara eksklusif hanya melakukan aktivitas ekonomi. Kedua, menyimpulkan bahwa aturan-aturan dari organisasi ekonomi pada perekonomian masyarakat sederhana berbeda dengan sistem ekonomi modern. Teori-teori dan konsep ilmu ekonomi tidak dapat diterapkan untuk mengkaji sistem ekonomi sederhana. Ketiga, perbedaan jenis antara sistem ekonomi sederhana dengan modern terletak pada mekanisme ekonomi, institusi atau lembaga ekonomi, dan prinsip ekonomi.
3. Sudut-sudut pandangan penganut pendekatan substantif
Malinowski menemukan bahwa pertukaran benda berharga berupa kalung dan gelang pada penduduk Kepulauan Trobriand tidak didasari oleh motif ekonomi melainkan oleh motif sosial yang berfungsi membina hubungan sosial yang tinggi nilainya. Pertukaran tersebut merupakan aktivitas ritual, jauh dari aktivitas mencari keuntungan
Golman menyimpulkan bahwa motif-motif ekonomi dalam melakukan aktivitas kredit sederhana hanya bersifat incidental yang ditunjukkan dengan fakta bahwa orang melakukan potlatch dengan maksud mendapatkan prestise sosial dengan cara merudak harta milik dan memberi malu pada musuh bebuyutan serta memberi harta miliknya kepada mereka.
Menurut Polanyi, pembangunan pendekatan ini, sistem ekonomi pasar didominasi oleh pertukaran pasar,sedangkan sistem ekonomi tradisional dan peasent didominasi sistem pertukaran resiprositas dan redistribusi pasar. Ciri-ciri pertukaran yang memakai prinsip pasar yakni: (1) memakai uang sebagai alat mengukur barang atau jasa yang dipertukarkan; (2) memakai harga yang diatur oleh hukum permintaan dan penawaran; (3) aktivitas ekonomi yang didominasi oleh tujuan-tujuan mancaru keuntungan sebanyak mungkin dari sumber daya yang tersedia. Pertukaran yang memakai prinsip resiprositas dan redistribusi merupakan pertukaran yang tidak bermakna ekonomis dan tujuan mencari keuntungan komersial, tetapi bermakna sosial, yaitu membina kepentingan dan solidaritas sosial.
Sahlins melihat bahwa yang membedakan perekonomian barat dengan masyarakat tradisional atau petani terletak pada sistem pertukaran. dalam masyarakat sederhana tidak ada alat pertukaran yang secara umum dapat diterima setiap orang dalam masyarakat itu. Kegunaan uang sangat terbatas sebagai alat tukar maka sudah barang tentu orang tidak dapat melakukan pilihan-pilihan yang bersifat ekonomis.
Menurut Dalton, semua sistem ekonomi mempunyai ciri yang sama yaitu pertama adanya organisasi yang berstruktur beserta aturan-aturannya yang menjamin tersedianya benda material dan jasa secara terus-menerus. Tugan antropologi adalah memahami organisasi dan aturan-aturan tersebut. Kedua, adanya mekanisme ekonomi seperti uang, dan ketiga adanya kerjasama antara individu dan penggunaan teknologi.
Clifford Geertz dalam buku Penjaja dan Raja melihat bahwa motivasi kewiraswastaan di kalangan santri di Mojokuto, tidak didasari oleh kepentingan bisnis tetapi oleh kesadaran golongan santri untuk mendapatkan gengsi sosial dalam masyarakat. Dalam buku Inovasi Pertanian Clifford Geertz menyimpulkan bahwa petani Jawa bukan petani komersial tetapi petani yang mengusahakan pertaniannya untuk menyambung hidup. Kecenderungan petani Jawa mempertahankan solidaritas komunitas dengan mengorbankan keuntungan usaha taninya merupakan indikasi bahwa petani bukan merupakan kelas kapitalis.
Chayanov memandang bahwa teori ekonomi Barat tidak dapat diaplikasikan untuk mengkaji sisten ekonomi petani, karena dalam sistem ekonomi petani tidak dikenal kategori uang dan tenaga buruh. Menurutnya pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani adalah melihat rumah tangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit konsumsi. Ia menyimpulkan bahwa perilaku produksi dalam usaha tani subsisten, tidak dipengaruhi oleh pasar melainkan oleh tingkat kebutuhan konsumsi rumah tangga petani.
Rondha Helperin dan James Dow mengkaji dimensi-dimensi pendekatan substantive ke menjadi tiga dimensi yaitu dimensi teknologi, dimensi sosial dan dimensi cultural. Ketiganya menentukan keunikan dari sistem ekonomi suatu masyarakat atau kelompok. Dalam membahas resiprositas dan distribusi sebagai konsep yang lazim dipakai untuk menerangkan gejala ekonomi pada masyarakat tradisional, James Dow menemukan bahwa konsep tersebut perlu dimodifikasi. Resiprositas terjadi dalam setting masyarakat yang relative homogen. Dalam studinya terdapat kasus yang menunjukkan bahwa resiprositas juga masih hidup di masyarakat yang sedang berkembang.
C. Topik-Topik Antropologi Ekonomi
Ada beberapa topik dalam antropologi ekonomi yang pernah dikaji oleh para ahli. Di antaranya Firth dan Yamey, membahas mengenai tabungan, modal, serta penggunaan kredit berbagai masyarakat di dunia. Firth membahas masalah teori mengenai hubungan antropologi dengan ekonomi, mentalitas ekonomi, asas tukar-menukar dalam ekonomi nonindustri, konsep jaringan sosial untuk analisis sistem ekonomi, membuat keputusan dalam usaha ekonomi. Herskovits dan Horwitz, mengenai modernisasi ekonomi suku bangsa Afrika. Dalton, membahas pranata-pranata sosial menurut konsepsi ilmu ekonomi masa kini. LeClair dan Schneider, membahsa kasus mas kawin suku bangsa Sanjo. Dan Van Der Pas, membahas pasar sebagai tempat yang konkret terjadi transaksi dan pertukaran komoditi.
BAB VI
MASALAH KEMISKINAN
DAN PERKEMBANGAN EKONOMI
A. Pengertian Kemiskinan
Konsep kemiskinan mempunyai pengertian yang luas. Salah satu pengertian kemiskinan adalah seperti dikemukakan oleh Parsudi Suparlan. Menurut Parsudi Suparlan (1982: 290 – 293) kemiskinan secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu standard tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standard kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standard kehidupan yang rendah tersebut nampak langsung pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Kemiskinan terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia, dintaranya adalah aspek sosial dan ekonomi. Aspek sosial yang dimaksud adalah adanya ketidaksamaan sosial di antara sesama warga masyarakat yang bersangkutan yang bersumber pada perbedaan dalam hal asal daerah dan asal sukubangsa, ras, jenis kelamin dan usia; yang bersumber pada corak dari sistem pelapisan sosial dan sistem pendistribusian kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut, dan karena adanya pengharapan-pengharapan sosial yang berbeda-beda di antara warga masyarakat (yang mempunyai hubungan timbal balik dengan pola-pola kebudayaannya). Sedangkan yang dimaksud aspek ekonomi adalah adanya ketidaksamaan di antara sesama warga masyarakat dalam hak dan kuajiban yang berkenaan dengan pengalokasian sumber-sumberdaya ekonomi.
Dalam buku Strategi Penanggulangan Kemiskinan (SPKN) Draf I 2004 kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan berpartisipasi dalam bermasyarakat secara ekonomi, sosial budaya dan politik. Pengertian ini melihat kemiskinan bersifat multidimensi yang mencakup kemiskinan insani dan martabat. Konsep kemiskinan multi dimensi melihat kemiskinan menjadi beberapa kategori yaitu kemiskinan pendapatan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, ketimpangan struktur usaha, ketidakberdayaan, penyandang masalah kesejahteraan sosial, kondisi pembangunan manusia, ketimpangan jender, dan kesenjangan antar golongan serta wilayah.
Kedua pengertian tersebut ada perbedaan dan persamaannya. Parsudi Suparlan menunjuk kemiskinan pada dasarnya dari segi kemiskinan ekonomi tetapi dapat mewujud dalam berbagai bidang kehidupan lainnya termasuk kesehatan, pendidikan, spiritual dan sebagainya. Batasan pada buku SPKN melihat kemiskinan secara multidimensi yang diantaranya dilihat dari segi pendapatan, di samping kemiskinan pada bidang-bidang kehidupan lainnya. Parsudi melihat dari satu titik yaitu ekonomi tetapi kemudian menyebar pada titik-titik yang lain yaitu kesehatan, pendidikan dan bidang kehidupan lainnya, sedangkan buku SPKN (Strategi Penanggulangan kemiskinan Nasional) melihat kemiskinan menyebar pada banyak titik berbagai bidang kehidupan. Persamaannya, keduanya menunjukkan kemiskinan itu suatu kondisi yang ditimbulkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan antara satu dan yang lain.
Pemahaman terhadap pengertian kemiskinan suatu masyarakat diperlukan tolok ukur. Dengan tolok ukur ini maka mereka yang tergolong sebagai orang miskin atau yang berada dalam taraf kehidupan yang miskin dapat dikelompokkan sebagai suatu golongan yang dibedakan dari mereka yang tergolong tidak miskin. Kemiskinan pendapatan atau ekonomi tolok ukur yang umum dipakai adalah yang berdasarkan atas tingkat pendapatan perwaktu kerja ( di Amerika digunakan waktu satu tahun sebagai waktu kerja, sedang diIndonesia digunakan ukuran waktu kerja satu bulan). Dengan tolok ukur tersebut maka jumlah dan orang yang tergolong sebagai orang miskin dapat diketahui untuk dijadikan sebagai kelompok sasaran yang diperangi kemiskinannya.
Tolok ukur yang lain adalah dinamakan tolok ukur kebutuhan relatif perkeluarga, yang batasan-batasannya dibuat berdasarkan atas kebutuhan minimal yang harus dipenuhi guna sebagai keluarga dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Tercakup dalam tolok ukur kebutuhan relatif perkeluarga ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang berkenaan dengan biaya sewa rumah dan mengisi rumah dengan peralatan rumah tangga yang sederhana tetapi memadai, biaya-biaya untuk memelihara kesehatan dan pengobatan, biaya-biaya menyekolahkan anak, dahn biaya untuk sandang yang sewajarnya dan pangan yang sederhana tetapi mencukupi dan memadai.
Tolok ukur yang telah dibuat dan digunakan di Indonesia untuk menentukan besarnya orang miskin adalah adalah batasan tingkat pendapatan perwaktu kerja; dan di samping itu juga tolok ukur berdasarkan batas minimal jumlah kalori yang dikonsumsi yang diambil persamaannya dalam beras.
Tingkat kemiskinan penduduk berdasarkan pendapatan diukur dari pengeluaran kebutuhan dasarnya. Indikator yang digunakan untuk menyatakan kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar adalah Head Count Index (HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Selain HCI, indikator lain yang digunakan dalam mengukur kemiskinan adalah Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index – 1) dan Indek Keparahan Kemiskinan (Distributional Severity Indekx – P2). P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin, sedangkan P2 menggambarkan tentang penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin dan intensitas kemiskinan.
Penggunaan tolok ukur akan mempengaruhi jumlah dan orang yang digolongkan menjadi orang miskin. Oleh karena itu ketepatan tolok ukur sangat penting untuk diperhatikan kesempurnaannya. Di samping tolok ukur yang juga penting adalah ketrampilan menggunakan tolok ukur dari petugas pendataannya. Jika petugas pendataannya tidak mampu menerapkan secara benar maka data kemiskinan yang diperoleh menjadi tidak tepat pula.
Dilihat dari jenisnya kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural terjadi apabila hubungan-hubungan kerja/usaha antar kelompok masyarakat dalam sistem sosial yang lebih luas melahirkan pola ketidakmerataan dalam mendapatkan sumber-sumber ekonomi dan ketidakadilan dalam pembagian pendapatan. Misalnya, sebagian masyarakat memperoleh kesempatan yang besar dan yang lainnya tidak mendapatkan atau hanya sedikit saja.
Selo Soemardjan menjelaskan bahwa kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu gologan masyarakat karena struktur sosial menyebabkan masyarakat tertentu tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Hal itu dapat terjadi karena kebijakan pemerintah atau penguasaan lahan pertanian oleh pemilik modal kuat. Kebijakan pemerintah misalnya dalam mengatur kenaikan harga barang-barang yang menyebabkan inflasi sehingga banyak warga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu mereka terpaksa menjual tanah yang mereka miliki dan lama kelamaan tanah yang mereka punyai menjadi semakin sempit.
Golongan yang termasuk miskin karena faktor struktual terdiri atas petani yang tidak memiliki lahan sendiri, petani lahan sempit, buruh yang tidak terpelajar dan tidak terampil serta pengusaha kecil/mikro tanpa fasilitas modal dan perlindungan dari pemerintah. Golongan masyarakat tersebut sering dikenal dengan istilah golongan ekonomi lemah.
Golongan masyarakat miskin karena struktural banyak yang menyadari mereka berbeda dari golongan masyarakat yang kaya. Mereka juga ingin membebaskan diri dari kemiskinan yang diderita. Namun hanya individu yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata saja yang dapat meningkatkan taraf hidupnya dan keluar dari kemiskinan.
Perhatian pada masalah kemiskinan struktural menurut Selo Soemardjan (1980:4) meningkat pada saat negara-negara maju yang memberi bantuan dana untuk mengatasi masalah kemiskinan di negara-negara berkembang tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Dana untuk menanggulangi kemiskinan hanya sedikit yang sampai kepada golongan masyarakat miskin, sebaliknya dana tersebut banyak diperoleh golongan masyarakat kaya. Hal itu menjadikan negara-negara donor meminta negara-negara yang memerlukan bantuan agar membuat program-program pemberian bantuan yang langsung dapat diterima oleh golongan miskin dalam bentuk bantuan untuk kebutuhan pokok.
Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang dikaitkan dengan nilai-nilai dan cara hidup kelompok masyarakat yang bersangkutan. Ada beberapa ahli yang menjelaskan kaitan antara kemiskinan dengan kebudayaan suatu masyarakat, antara lain Roger M.Keesing (1992:208). Ia menjelaskan bahwa dalam pandangan sarjana Barat yang “liberal” akar kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga adalah: (1) Organisasi sosial, nilai dan adat kebiasaan “tradisional” bersifat konservatif menghambat perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan sosial membutuhkan berkembangnya inisiatif individual, keberanian dalam pengambilan resiko, inovasi dan kebebasan ikatan kekerabatan atau kewajiban-kewajiban menurut adat; (2) sering terjadi perselisihan dan pertentangan antarsuku; dan (3) Di daerah pedesaan masyarakatnya terbelenggu dalam sistem pemilikan tanah dan teknik budidaya yang terbelakang, sangat berorientasi pada subsistensi dan tidak dapat mencapai intensifikasi produksi karena organisasi masyarakatnya berskala kecil, tidak efisien dan tradisional. Orientasi tradisional dan penduduk yang besar menyebabkan masyarakat tidak dapat berkembang perekonomiannya, gagal menghimpun menghimpun modal dan melakukan ekspor yang diperlukan dalam pengembangan ekonomi.
Menurut Parsudi Suparlan (1982:296-297) bahwa faktor kultur penyebab kemiskinan dalam pandangan beberapa ahli adalah orang-orang miskin memiliki cara hidup malas, tidak tekun, tidak mempunyai konsepsi hari esok, tidak punya motivasi, dan bersikap menerima nasib yang ada. Pendapat tersebut terutama dilihat dari sudut pandang orang-orang yang tidak miskin kepada orang-orang miskin.
Pendapat tersebut, menurut Parsudi Suparlan memang ada benarnya, namun perlu diketahui pula mengapa mereka memiliki cara hidup seperti itu. Menurut Parsudi Suparlan cara hidup mereka sebenarnya merupakan adaptasi dengan lingkungan hidup dan situasi kemiskinan yang mereka hadapi agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pendapat bahwa pola-pola hidup dan tindakan orang-orang miskin merupakan cara hidup orang miskin mempertahankan kelangsungan hidupnya sebenarnya menurut Parsudi Suparlan telah dikemukakan oleh Oscar Lewis. Cara hidup orang miskin menurut Oscar Lewis telah menjadi dasar lahirnya kebudayaan kemiskinan. Kebudayaan kemiskinan tersebut kemudian antara lain melahirkan suatu sikap menerima nasib dan meminta-minta atau mengharapkan bantuan sedekah. Menurut Oscar Lewis kebudayaan kemiskinan merupakan tindakan rasional sesuai dengan keadaan masyarakat miskin agar dapat mempertahankan hidupnya Cara hidup seperti itu kemudian diwariskan kepada generasi yang lebih muda sehingga menjadi lestari dalam masyarakat.
Sebagian lagi ahli memandang kemiskinan terkait dengan sistem hubungan internasional. Melalui tulisannya, H.S. Dillon dan Hermanto (1993:11-22) membahas tentang pandangan para ahli pembangunan dunia mengenai sebab terjadinya kemiskinan di negara-negara berkembang, evolusi pandangan tersebut sesuai perkembangan ekonomi dunia, dan upaya internasional untuk mengatasi kemiskinan di negara-negara berkembang. Mereka juga membahas fenomena ketimpangan antarnegara sebagai suatu fenomena kemiskinan di dunia. Selain itu dibahas pula konsep kemiskinan dan karakteristik kemiskinan.
Pada akhirnya dapat ditarik suatu pelajaran dari pengalaman di dunia untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Selanjutnya mereka membahas landasan konseptual penyusunan alternatif kebijakan agar program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemnerintah berdayaguna.
HS Dillon dan Hermanto mengemukakan pandangan tentang konsep kemiskinan. Pada mulaya hal itu dikaitkan dengan penjajahan yang menguras kekayaan negara terjajah sehingga negara terjajah masyarakatnya menjadi miskin. Setelah negara terjajah meredeka penyebabnya berubah karena ketidakadilan dalam hubungan perdagangan anatar negara-negara maju dan berkembang, yaitu keuntungan yang lebih besar diperoleh negara maju. Hal itu berlanjut hingga terjadinya ketimpangan negara-negara miskin dan kaya di dunia.
Selain itu rekomendasi teori pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan telah mengalami kekeliruan. Pengembangan industri modern yang diharapkan dapat menyerap lapangan kerja dan berorientasi pada ekspor terbukti tidak dapat mendukung perkembangan ekonomi yang lebih maju. Industri modern lebih bersifat padat modal bahan baku impor sering menyebabkan industri tidak mampu bertahan terhadap perubahan-perubahan dalam perdagangan internasional.
Bantuan negara-negara maju yang dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan modal negara-negara berkembang di lain pihak menjadi saluran negara-negara donatur turut mencampuri urusan politik dalam negeri negara-negara berkembang. Di samping itu juga menyebabkan negara-negara berkembang semakin banyak yang terlilit masalah pembengkakan hutang luar negeri.
Pemikiran berikutnya yang muncul adalah perlunya perdagangan bebas. Negara-negara maju dan berkembang melakukan deregulasi agar mencapai pengelolaan sumberdaya yang efisien dan akhirnya menyejahterakan masyarakat.
Perubahan perekonomian dunia saat ini mendorong reorientasi pandangan para pakar terhadap teori pembangunan. Teori yang berkembang saat ini adalah pembangunan perekonomian suatu negara saat ini hendaknya didasarkan atas kebijakan investasi yang dapat menciptakan dampak kegiatan ekonomi eksternal, seperti investasi untuk meningkatkan pendidikan masyarakat dan investasi untuk meningkatkan pendapatan tak langsung seperti sarana fisik jalan. Kebijakan tersebut disertai dengan kebijakan penyebarluasan ilmu pengetahuan serta kebijakan yang memungkinkan mobilitas sumberdaya manusia, modal dan teknologi dalam suatu negara maupun antarnegara.
Namun pandangan tersebut menurut Dillon dan hermanto masih akan diuji. Beberapa negara mulai khawatir jika perdagangan bebas dalam kenyataannya akan memperlebar jurang negara-negara kaya dan negara-negara miskin.
Dalam menjelaskan tentang kemiskinan dan karakteristiknya Dillon dan Hermanto berpendapat ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang memandang kemiskinan sebagai suatu proses dan sebagian lagi sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat.
Dilihat dari segi proses kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumberdaya dan sumberdana secara adil. Faham ini menjelmakan pemirikiran kemiskinan relatif yang sering disebut sebagai kemiskinan struktural.
Pandangan kemiskinan sebagai suatu fenomena dalam masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut. Bank Dunia mendefinisikan konsep kemiskinan absolut sebagai ketidak mampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Namun demikian menurut Dillon sekalipun hal itu menunjukkan pengertian yang beda, kemiskinan relatif dan absolut tak dapat dipisahkan. Oleh karena itu dalam menghitung angka kemiskinan perlu memperhatikan tidak hanya yang termasuk dalam angka kemiskinan absolut tetapi juga yang tergolong kemiskinan relatif. Untuk itu perlu alat ukur yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat miskin.
Berdasarkan kajian Quibria, yang dikutipnya, Dillon menunjukan ada beberapa karakteristik kemiskinan di Asia Selatan dan Tenggara, di antaranya adalah: kemiskinan lebih banyak ditemui di pedesaan, kemiskinan berkorelasi positif dengan jumlah anggota keluarga dan berkorelasi negarif dengan jumlah pekerja dalam satu keluarga, kemiskinan ditandai oleh rendahnya aset keluarga, dan pertanian menjadi sumber penghasilan utama rumah tangga miskin.
Pelajaran penting bagi Indonesia dalam melakukan penanggulangan kemiskinan menurut Dillon dan Hermanto adalah: Pertama, kemiskinan merupakan masalah dunia, yang berarti merupakan masalah kemasyarakatan, yang berarti terkait dengan sistem perekonomian dunia secara menyeluruh; Kedua, kemiskinan merupakan proses dinamis, terkait dengan perubahan politik dan ekonomi dunia; Ketiga, kemiskinan ditandai oleh ketimpangan di antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang yang cenderung akan melebar di masa yang akan datang; Keempat, penanggulangan kemiskinan telah melibatkan dunia internasional, namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan, karena itu jangan hanya bergantung pada bantuan internasional, melainkan harus didasarkan atas kemampuan sendiri dari negara berkembang; Kelima, dalam penanggulangan kemiskinan pengembangan SDM adalah yang paling strategis; Keenam, pengembangan IPTEK juga menjadi pendukung penting dalam penanggulangan kemiskinan karena dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja; Ketujuh, karena penduduk miskin sebagian besar di pedesaan yang hidup dari sektor pertanian maka dalam penanggulangan kemiskinan sektor pertanian memiliki arti yang strategis pula; Kedelapan, posisi Indonsia dalam kaitannya dengan kemiskinan masih tergolong baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain di dunia.
Pemikiran Dillon dan Hermanto tentang pelajaran dalam penanggulangan kemiskinan sangat menarik, dan tampak diwarnai oleh cara berpikir yang bersumber dari teori dependensia atau ketergantungan. Jika dilihat lebih lanjut pemikiran Dillon dan Hermanto dikaitkan dengan kondisi saat ini maka point kedelapan yang sudah kurang tepat.
B. Pemecahan masalah kemiskinan
Kehidupan suatu masyarakat antara lain ditentukan oleh system nilai budaya yang dianut. Sistem nilai budaya merupakan dasar sistem nilai lainnya yang lebih konkret seperti pandangan hidup, ideologi, norma dan hukum. Nilai budaya dan sistem nilai lainnya menjadi pedoman bagi masyarakat dalam melaksanakan berbagai aktivitas kehidupannya. Berbagai masyarakat memiliki sistem nilai budaya yang berbeda-beda. Perbedaan sistem nilai budaya tersebut menjadi salah satu sebab perkembangan masyarakat menjadi berbeda-beda pula. Hal itu dikarenakan sistem nilai budaya suatu masyarakat ada yang bersifat mendorong dan ada yang bersifat menghambat perkembangan kehidupan mereka.
Ahli-ahli dari aliran modernisasi memandang bahwa nilai-nilai tradisional merupakan nilai-nilai yang menjadi penghambat perkembangan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tradisional menyebabkan cara berpikir masyarakat terbelenggu oleh adat instidat tradisional, menghambat kebebasan berinisiatif, tidak memiliki motivasi berprestasi, tidak mendorong semangat kerja keras, hemat, suka berfoya-foya, tidak menghargai perbedaan dan tidak menghargai waktu serta tidak berorientasi ke masa depan.
Untuk memajukan kehidupan masyarakat harus dimulai dari nilai-nilai mereka anut. Max Weber menunjukkan nilai-nilai tersebut seperti yang dikemukakannya sebagai etika Protestan. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai hidup yang mendorong semangat bekerja keras, hidup hemat, dan menabung sebagai panggilan Tuhan. Nilai-nilai seperti tersebut dalam pandangan Robert N Bellah juga terdapat pada masyarakat Jepang, yang dipandangnya bersumber dari Religi Tokugawa (Soewarsono dan Alvin, Y.SO, 1991:38). Clifford Geertz memandang di Jawa sebenarnya terdapat sejenis dengan nilai-nilai Etika Protestan pada masyarakat golongan santri. Golongan masyarakat santri dipandang memiliki semangat kerja keras, hidup hemat dan bekerja merupakan ibadah (Abdullah, 1988).
Nilai-nilai budaya lainnya yang diperlukan adalah mengembangkan orientasi berprestasi yang dikemukakan oleh David MC Clelland. Ia berpendapat bahwa masyarakat yang maju adalah yang memiliki orientasi berprestasi tinggi yang disebutnya dengan istilah Need for Achievment (kebutuhan berprestasi) yang disingkat dengan n-Ach. Ciri manusia yang memiliki orientasi prestasi tinggi antara lain berupa cara hidup yang berupaya meningkatkan kualitas diri dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan menghargai waktu. Ciri lainnya adalah mereka menginginkan kehidupan berikutnya lebih baik daripada masa sebelumnya. Nilai-nilai ini sangat diperlukan bagi bangsa yang ingin maju. Golongan wirausahawan, profesional dan manajer dianggapnya memiliki nilai-nilai berprestasi yang tinggi (Rahardjo,1990:70).
Nilai-nilai budaya lainnya yang penting bagi kemajuan ekonomi masyarakat adalah nilai-nilai yang didasarkan pada pertimbangan ekonomi rasional (rasionalitas ekonomi). Nilai-nilai tersebut menekankan pada efisiensi dalam mencapai produktivitas yang maksimal.
Keterkaitan nilai budaya dan kemiskinan antara lain dikemukakan oleh H.J. Boeke (Koentjaraningrat, 1990:177-180). Ia mengkaji keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Ia menyangkal pendapat bahwa kemiskinan masyarakat Jawa terutama karena penjajahan Belanda. Ia berpendapat jika penjajahan dihentikan sekalipun maka penduduk Indonesia khususnya Jawa akan tetap miskin. Ia berpendapat kemiskinan di Indonesia lebih banyak berhubungan dengan masalah psikis. Boeke dipengaruhi oleh pemikiran liberalisme, yang berpendapat bahwa manusia yang ingin maju harus mau bekerja keras karena semua orang mempunyai hak yang sama maka banyak orang bersaing untuk maju. Dalam persaingan itu hanya yang kuat saja yang akan menang dan maju. Boeke berpendapat bahwa kemiskinan di Indonesia disebabkan karena kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi.
Boeke sebenarnya juga mengakui bahwa kemiskinan rakyat Indonesia (Jawa) sebagian juga disebabkan oleh eksploitasi dan korupsi. namun di samping itu menurut Boeke sebab pokoknya adalah mentalitas rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa yang memiliki ciri sebagai berikut: (1) dihinggapi rasa puas dengan kebutuhan yang terbatas; (2) lebih mementingkan gengsi dan pengakuan sosial daripada kebutuhan ekonomi; (3) takut mengambil resiko; (4) tidak adanya motivasi untuk mencari keuntungan materi; (5) tidak berdisiplin dan tidak ketat dalam hal tempat dan waktu; (6) tidak mampu berorganisasi; dan (7) enggan menimbun modal.
Boeke berpendapat mentalitas tersebut akibat kurang pendidikan rakyat Indonesia. mentalitas tersebut sulit diubah karena gangguan sistem ekonomi Eropa tehadap keseimbangan sosial komuniti pedesaan di Indonesia. Jalan keluarnya menurut Boeke mula-mula masyarakat Indonesia harus diberi kesempatan untuk berevolusi sendiri dengan potensi-potensi yang ada pada mereka.
Pendapat yang senada tentang hambatan nilai budaya Indonesia khususnya Jawa dalam kaitannya dengan perkembangan masyarakat dikemukakan oleh Jochen Roepke. Ia menjelaskan kaitan yang lebih umum antara perkembangan ekonomi di Indonesia (Jawa) dan kondisi sosial budaya. Penjelasan Roepke sebenarnya bukan berfokus pada kemiskinan. Ia berpendapat bahwa perkembangan kehidupan ekonomi memerlukan ada kebebasan usaha dan inovasi. Kebebasan diperlukan dalam rangka inovasi dan inovasi merupakan basis dalam pembangunan ekonomi. Kebebasan usaha yang dimaksud adalah suatu keadaan di mana seseorang boleh mempergunakan kemampuannya (pengetahuan, pengalaman, kreativitas dan sebagainya) bagi tujuan-tujuannya sendiri, jika kebebasannya tidak mengganggu kebebasan individu lain.
Kondisi sosial budaya yang dipersyaratkan seperti itu di Indonesia tidak terpenuhi. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal: (1) lingkungan sosial budaya di Indonesia dipengaruhi oleh budaya feodal. Dalam kebijakan ekonomi nampak ada serangkaian peraturan yang rumit dan sulit dipenuhi oleh orang yang memiliki semangat usaha, tekun dan jujur sekalipun, namun hal itu mudah dilewati orang yang memiliki koneksi dengan dengan penguasa, (2) masyarakat masih mementingkan hubungan harmonis yang seringkali tidak memberikan peluang bagi golongan masyarakat tertentu untuk berbeda pendapat dengan golongan elit sosial, keagamaan, dan politik yang telah mapan. (3) Pemerintah sejak jaman Orde Baru memilih menarik modal asing daripada memberikan prakarsa kepada pengusaha-pengusaha pribumi.
Bertolak dari pemahaman tersebut Roepke menyimpulkan sebab-sebab perkembangan dan kemajuan ekonomi berjalan lambat adalah karena: (1) inovasi sering dianggap tidak sah karena dapat merusak nilai-nilai dan norma-norma yang telah ada; (2) tidak banyak pelaku wirausaha yang yang terdorong oleh prestasi; dan (3) banyak pelaku wirausaha kurang tertantang oleh tugas-tugas kewirausahaan (Roepke, dalam Mustofa, 1995:53).
Pendapat lainya adalah tentang nilai budaya masyarakat desa yang dianggap tidak mendukung kemajuan hidup masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Beratha. Menurut Beratha (1984) ciri umum yang dimiliki masyarakat desa, yaitu:
a. Nilai budaya gotong royong yang masih dipegang kuat oleh masyarakat desa.
b. Pendapatan masyarakat desa rata-rata relatif rendah dan mata pencaharian utama adalah sektor pertanian.
c. Masih terikat pada lembaga-lembaga dan norma-norma tradisional yang terdapat dalam masyarakatnya.
d. Sifat keterbukaan terhadap ide-ide baru, pemanfaatan waktu luang, pemilihan yang menguntungkan di bidang usaha pertanian rata-rata perlu mendapatkan penanganan.
e. Mereka tidak suka nenonjolkan diri.
Beberapa ciri umum yang dimiliki masyarakat desa seperti di atas menurut Berata mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka yang cenderung menjadi kurang berkembang. Budaya gotong royong sebagai contoh diakui memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat karena nilai ini mendorong orang untuk tolong menolong secara tradisional. Akan tetapi, nilai ini juga memiliki kelemahan yaitu masyarakat menjadi tidak terdorong untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang dihargai secara ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya aktivitas gotong royong menjadi tidak memacu kretivitas (daya cipta) masyarakat karena hal tersebut kurang menguntungkan secara ekonomi.
Jika melihat pada ciri penduduknya yang sebagian besar petani desa, sifat yang menonjol dari kehidupan mereka menurut Beratha adalah: (1) dalam mengolah tanah umumnya menggunakan peralatan dan teknologi sederhana dan hasilnya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, (2) memiliki kesetiakawanan yang kuat, (3) enggan menyerap pembaharuan yang belum tentu mendatangkan keuntungan, (4) ikatan petani dengan tanah yang dikerjakan dan desanya bersifat emosional, (5) pemilikan tanah berkaitan erat dengan kedudukan sosial mereka.
Cara hidup dan sifat petani seperti di atas menyebabkan kesulitan memindahkan petani dari desa dari tempat tinggalnya atau dari pekerjaannya. Petani terikat oleh pengetahuan tradisional mereka yang telah lama menguasai pola pikir dan pilihan strategi dalam adaptasi dengan lingkungannya.
Nilai-nilai yang dianggap menghambat perkembangan ekonomi dapat pula dilihat dari orientasinya. Hal ini dapat diketahui dari penjelasan Koentjaraninrat tentang orientasi nilai budaya dalam kasus masyarakat Jawa. Orientasi nilai budaya Jawa sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat adalah sebagai berikut:
1) Orang Jawa memandang bahwa hidup sebagai rangkaian peristiwa yang penuh dengan kesengsaraan, yang harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka menerima keadaannya sebagai nasib, tetapi harus berusaha untuk memperbaiki.
2) Rakyat kecil yang merupakan bagian terbesar masyarakat Jawa memiliki pandangan bahwa bekerja untuk dapat makan (ngupaya upa ) karena itu muncul ungkapan aja ngaya aja ngangsa (jangan bekerja terlalu keras). Bagi priyayi bekerja dikaitkan dengan pahala yang akan diperoleh di akherat kelak.
3) Hubungan antara manusia dengan alam diarahkan untuk menjaga keselarasan.
4) Masyarakat Jawa mempunyai persepsi waktu yang masih diarahkan kaitannya dengan masa lalu.
5) Hubungan antar sesama manusia diarahkan untuk menjaga solidaritas sosial, tolong-menolong dan saling memberikan bantuan.
Menurut Kontjaraningrat (1985:41) nilai budaya yang berorientasi pada atasan, orang berpangkat tinggi, senior, dan orang tua mengakibatkan hasrat untuk berdiri sendiri dan disiplin pribadi yang murni akan mati. Demikian pula mentalitas yang menunggu restu dari atas tidak mendukung perkembangan ekonomi.
Ahli lain Clifford Geertz memandang kurang berkembangnya kehidupan ekonomi pada kasus masyarakat Jawa karena kurang berkembangnya nilai-nilai dan kegiatan kewirausahaan. Ia melalui kajiannya dalam buku Penjaja dan Raja (1989) menunjukkan kondisi masyarakat Jawa dikaitkan dengan perkembangan ekonomi berdasarkan kasus masyarakat di Mojokuto (Jawa) dan Tabanan (Bali).
Berkaitan dengan Jawa, Ia mengemukakan bahwa di Jawa kehidupan ekonomi yang berkembang terpusat pada tiga intistruktur ekonomi, yaitu pertanian, perdagangan pasar dan birokrasi. Pelaku ekonomi pertanian dijalankan oleh petani, perdagangan pasar dijalankan oleh golongan santri dan birokrasi diisi oleh priyayi.
Di Jawa, golongan santri adalah golongan yang menjadi pelaku ekonomi perdagangan pasar (penjaja) sedangkan di Bali adalah golongan masyarakat keturunan bangsawan (raja). Dalam menjalankan kewirausahaan kedua golongan tersebut akan menemukan hambatan yang mengakibatkan akan menimbulkan perkembangan yang statis.
Golongan masyarakat wirausaha di Jawa yang terutama terdiri atas golonagan penjaja merupakan golongan masyarakat yang berasal dari golongan masyarakat santri dari strata sosial bawah. Mereka telah memiliki kebebasan individual dan nilai semacam etika Protestan. Hambatan yang dihadapi oleh mereka terutama adalah kemampuan berorganisasi, modal dan keterampilan teknis. Namun yang menjadi hambatan paling penting adalah ketidakmampuan mereka berorganisasi karena mereka berasal dari strata sosial bawah dan kurang terdidik (Geertz, 1989).
Berdasarkan orientasinya sebagian besar orang Jawa lebih kearah kekuasaan (kehidupan politik). Suatu kajian terhadap stereotipe masyarakat Jawa seperti tersebut dikemukakan oleh Hariyono. Ia menunjukkan beberapa ciri tentang cara hidup masyarakat Jawa dari De Jong (dalam Hariyono,1994:67) bahwa induk kebudayaan Jawa terletak pada tiga unsur yaitu raja, tapabrata dan kekuasaan. Orientasi ideal manusia Jawa terletak pada posisi susunan hierarkhi sosial tertinggi, yaitu raja. Tapabrata merupakan jalan hidup yang dilakukan untuk memperoleh kekuasaan.
Orientasi pada kekuasaan menggiring kehidupan orang Jawa untuk memasuki kawasan kehidupan politik mencapai puncak stratifikasi sosial di Jawa. Sebagian ahli bahkan memandang bahwa berkembangnya kewirausahaan santri Jawa juga terkait dengan kegagalan mereka meraih kedudukan politik puncak dalam kehidupan masyarakat Jawa dan selanjutnya mereka mengembangkan kehidupan ekonomi wirausaha.
Orientasi nilai pada kekuasaan pada kasus masyarakat Jawa sampai saat ini ada benarnya. Hal itu dapat dilihat dari kuatnya orientasi masyarakat Jawa dalam menghargai dan mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan dan politik sebagai pegawai negeri sipil, TNI, Polri dan pamongpraja atau pun menjdi anggota legistatif.
Di kalangan masyarakat Jawa banyak yang menganggap belum memiliki pekerjaan yang sebenarnya jika belum menjadi pegawai pemerintah. Selain itu terdapat fenomena dalam pililihan pejabat pemerintahan tingkat desa, yang menunjukkan beberapa calon kepala desa sampai menghambiskan biaya yang sangat tinggi untuk pencalonannya. Seseorang calon kepala desa mungkin dapat menghabiskan antara 50 – 200 juta rupiah.
Dalam penelitian di Kabupaten Blora seorang mantan calon kepala desa mengaku telah menghabiskan biaya yang mencapai puluhan juta rupiah. Saat saya tanyakan kepadanya apakah tidak terpikir lebih baik uang sebanyak itu digunakan untul modal wirausaha. Ia menggelengkan kepala, yang berarti tidak. Saya sering mendengar dari banyak orang bahwa keadaan seperti itu juga terjadi dalam pencalonan kepala desa di desa-desa lain di Jawa.
REFERENSI
Geertz, Clifford.1989. Penjaja dan Raja. Terjemahan Dorodjatun Koentjoro-Jakti. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Keesing, Roger M dan Felix M Keesing. 1992. Antropologi Budaya 2. TerjemahanR.G.Soekadijo. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok antropologi Sosial. Penerbit PT Dian rakyat.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia.
Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta Balai Pustaka
Mustofa, Moh. Solehatul. 1995. “Kewirausahaan Masyarakat Industri Pada Sebuah desa di Jawa”. Tesis S2. PPs Antropologi Universitas Indonsia. Jakarta: Tidak diterbitkan.
Sairin, Sjafri, dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi: Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soedjito,S. 1986. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana Yogya.
Soewarsono dan Alvin Y.SO. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Suparlan, Parsudi. 1988. “Kebudayaan dan Pembangunan”, Makalah, disampaikan dalam pertemuan MGMP Sosiologi Antropologi. Jakarta.
Wolf, Eric R.1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Penerbit: C.V. Rajawali.
Semarang, ……..2009
Dosen Pengampu
Drs. Moh. Solehatul Mustofa, MA
NIP.131764041
USULAN
BUKU AJAR 2009
PENGANTAR ANTROPOLOGI EKONOMI
Mata Kuliah : Antropologi Ekonomi
No. Kode MK :
Semester :
Nama Dosen : Drs. Moh. Solehatul Mustofa, MA
NIP :
Jurusan/Program Studi :
Fakultas :
Mengetahui/Menyetujui
Dekan FIS UNNES
Drs. Subagyo, M.Pd
NIP. 130818771
IDENTITAS MATA KULIAH
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekonomi
Program studi : Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
Kode MK :
Semester dan Harga SKS : V
Mata Kuliah Prasyarat : Lulus mata kuliah Pengantar Antropologi dan
Teori Antropologi I dan II.
Nama Dosen dan Kode: Drs. Moh. Solehatul Mustofa, MA
DESKRIPSI MK
Mata kuliah ini mengkaji usaha-usaha ekonomi manusia dilihat dari segi nilai-nilai, aktivitas-aktivitas, dan hasil-hasil kegiatan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori dari ahli-ahli antropologi. Dalam masyarakat misalnya terdapat cara-cara memenuhi kebutuhan hidup melalui berburu meramu, bertani, usaha pembuatan barang-barang kerajinan, dan pertukaran, Dalam mengkaji berbagai gejala tersebut dikenal konsep tentang pola-pola usaha ekonomi, konsep pertukaran, teori subtantivis, teori formalis, dan perkembangan-perkembangan ekonomi masyarakat.
KOMPETENSI
1. Standar Kompetensi MK
Mahasiswa memahami ruang lingkup antropologi ekonomi, , pola-pola usaha-usaha ekonomi, pertukaran, dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat dilihat dari konsep-konsep dan teori-teori antropologi.
2. Kompetensi Dasar dan Indikator
a. Mahasiswa mampu mengenali ruang lingkup materi antropologi ekonomi
b. Mahasiswa mampu mengenali pola-pola usaha ekonomi dalam masyarakat;
c. Mahasiswa mampu mengidentifikasi pola-pola pertukaran dalam masyarakat
d. Mahasiswa mampu membandingkan teori subtantivis dan teori formalis
e. Mahasiswa mampu menganalisis fenomena ekonomi dalam masyarakat menggunakan teori subtantivis dan formalis.
f. Mahasiswa mampu menganalisis perkembangan-perkembangan ekonomi masyarakat dari perpektif konsep-konsep dan teori-teori antropologi.
3. Tujuan Akhir Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengembangkan kajian terhadap berbagai fenomena ekonomi dalam masyarakat berdasarkan perspektif antropologi ekonomi.
MANFAAT MK
1. Manfaat teoritis
Sebagai bekal mahasiswa mengenali berbagai fenomena ekonomi dan memahaminya dari perpektif antropologi sehingga memungkinkan mahasiswa mampu melakukan kajian-kajian lapangan melalui penelitian, penulisan artikel maupun penulisan buku ilmiah.
2. Manfaat Praktis
Menyadarkan mahasiswa tentang adanya kaitan antara usaha-usaha ekonomi yang berkembang dalam masyarakat dengan berbagai nilai-nilai, sikap-sikap dan perilaku, serta hasil-hasil karyanya sehingga mahasiswa dapat ikut aktif berperan serta merencakan pengembangan ekonomi masyarakat dan diri mereka sendiri.
BAB/TOPIK (INDIKATOR) PERTEMUAN
1. Indikator materi pokok pada buku ajar
a. Ruang lingkup materi antropologi ekonomi
b. Evolusi mata pencaharian
c. Pembagian kerja dalam masyarakat
d. Pertukaran
1) Sistem pertukaran
2) Resiprositas
3) Redistribusi
e. Teori Subtantivis dan Formalis
f. Perkembangan ekonomi masyarakat dan masalah kemiskinan
1) Pengetian kemiskinan
2) Pendekatan teoritis
3) Pembangunan dan pemecahan masalah kemiskinan
2. Jumlah pertemuan untuk tiap indicator atau materi pokok
No
Indikator/ Materi Pokok
Jumlah pertemuan
1
Ruang lingkup materi antropologi ekonomi
1
2
Evolusi mata pencaharian
2
3
Pembagian kerja dalam masyarakat
3
4
Pertukaran
3
5
Perkembangan ekonomi masyarakat Dunia Ketiga dan masalah kemiskinan
3
6
Pembangunan ekonomi dan pemecahan masalah kemiskinan
4
3. Tujuan tiap pertemuan
No
Indikator/ Materi Pokok
Tujuan tiap pertemuan
1
Ruang lingkup materi antropologi ekonomi
Mahasiswa dapat mengenal ruang lingkup materi antropologi ekonomi
2
Evolusi mata pencaharian
Mahasiswa dapat mengenali evolusi mata pencaharian manusia dari zaman berburu dan meramu, bertani, usaha kerajinan sampai dengan zaman industri, perdagangan dan jasa
3
Pola-pola usaha ekonomi masyarakat
Mahasiswa dapat mengemukakan
1)Pola usaha ekonomi masyarakat petani desa
2) Pola usaha ekonomi masyarakat kota
4
Pertukaran
Mahasiswa mampu mengidentifikasi pola-pola pertukaran dalam masyarakat
mencakup:
1) Tradisi pemberian
2) Resiprositas
3) Redistribusi
4) Pertukaran dengan uang
5
Teori subtantivis dan teori formalis
· Mahasiswa mampu membandingkan teori
subtantivis dan teori formalis
· Mahasiswa mampu menganalisis fenomena ekonomi dalam masyarakat menggunakan teori subtantivis dan formalis.
6
Perkembangan ekonomi masyarakat Dunia Ketiga dan masalah kemiskinan
Mahasiswa mampu menganalisis perkembangan-perkembangan ekonomi dan masalah kemiskinan pada masyarakat Dunia Ketiga dari perpektif konsep-konsep dan teori-teori antropologi.
7
Pembangunan ekonomi dan pemecahan masalah kemiskinan
Mahasiswa mampu mengalisis usaha pembangunan dan pemecahan masalah kemiskinan di Negara-negara Dunia Ketiga
EVALUASI
Penyelenggaraan test harian, sub sumatif dan sumatif
Evaluasi non test dalam bentuk portofolio
RUANG LINGKUP MATERI ANTROPOLOGI EKONOMI
(Drs. MS. Mustofa, MA)
A. Pengantar
Antropologi ekonomi adalah salah satu bidang kajian dalam Antropologi sosial-budaya yang memusatkan studi pada gejala ekonomi dalam kehidupan masyarakat manusia. Posisi kajian ini sejajar dengan bidang kajian lain dalam studi Antropologi, seperti Antropologi perkotaan. Kehadiran Antropologi ekonomi dan bidang kajian lain dalam disiplin Antropologi adalah penampakan dari gejala spesialisasi yang kian tajam di kalangan ahli Antropologi.
Ahli Antropologi yang terkenal sebagai ahli Antropologi ekonomi umumnya adalah ahli yang mengkonsentrasikan kerja dan menghasilkan karya Antropologi ekonomi. Masalah pendekatan dalam Antropologi ekonomi secara sederhana dapat dinyatakan bahwa di dalam antropologi ekonomi terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan umum dan pendekatan spesifik. Pendekatan umum adalah aliran teori yang membahas gejala ekonomi seperti religi, teknologi sampai ke keseluruhan sistem sosial budaya itu sendiri. Sedangkan pendekatan spesifik adalah aliran teori yang dikembangkan khusus untuk menyelesaikan problem-problem studi Antropologi ekonomi. Ada beberapa pendekatan spesifik di dalamnya yaitu formalisme, subtantivisme, Antropologi ekonomi baru dan ekonomi personalisme (Sairin, syafrie, dkk, 2002: 4-7).
B. Beberapa Pemikiran Tentang Antropologi Ekonomi
Antropologi Ekonomi mulai berkembang pesat th 1920, memunculkan, pertama pandangan dan sikap suku-suku bangsa non industri mengenai soal-soal ekonomi dan yang kedua mata pencaharian hidup suku-suku nonindustri.
Kehadiran antropologi ekonomi dapat dirunut setidak-tidaknya sampai kepada The Economic of The Trobriand Islands, artikel yang pernah ditulis tokoh besar antropologi Bronislaw Malinowski pada tahun 1921. Pondasi pokok antropologi ekonomi didasarkan pada pokok-pokok pikiran yang diletakkan oleh Malinowski yang pada mulanya masih berupa karya etnografi yang diorintasikan kepada gejala ekonomi suatu masyarakat primitif yang eksotis dalam pandangan orang Eropa. Malinowski berpandangan bahwa masyarakat Trobriand tidak memiliki motif ekonomi dalam melaksanakan aktifitas produksi dan distribusi.
Firth dan Goodfellow meyakini bahwa konsep-konsep ekonomi modern berlaku universal sehingga dapat dioperasikan untuk mempelajari tata ekonomi masyarakat primitif dan tradisional. Mereka berpendapat bahwa masyarakat modern dan promitif adalah sama, mereka bertindak berdasarkan prinsip maksimalisasi, yaitu mencari pilihan hasil terbaik dari keterlibatan sarana yang tersedia.
Adat istiadat menurut Goodfellow, tidaklah mengatur perilaku ekonomi masyarakat nonmodern tempat proses ekonomisasi dilaksanakan. Firth menyadari bahwa teori-teori ilmu ekonomi dikembangkan bedasarkan fakta dan kerangka berpikir masyarakat dengan sistem ekonomi kalpitalistik. Hubungan antara ilmu ekonomi dan antropologi ekonomi bagi Firth sangat erat, yaitu konsep dasar ekonomi adalah alokasi sumber daya yang banyak dan antara keinginan manusia yang dapat disadari, dengan pengakuan bahwa alternatif-alternatif sangat memungkinkan pada tiap bidang. Ekonomi berkaitan dengan implikasi-implikasi pilihan-pilihan manusia dengan hasil keputusan-keputusan. Pilihan-pilihan, keinginan-keinginan dan inplikasinya adalah aksi melibatkan hubungan-hubungan sosial. Jika antropologi sosial mengkaji bentuk-bnetuk hubungan sosial dalam masyarakat yang lebih primitif, ekonomi mengkaji hubungan produksi, pertukaran dalam semua masyarakat.
Ekonomi berkaitan dengan prinsip-prinsip penggunaan sumber daya secara umum, antropologi ekonomi berkaitan dengan hubungan sosial yang cocok, cara khusus dimana prinsip-prinsip itu ditunjukkan dalam tataran situasi sosial sekarang. Pandangan seperti itu cenderung merendahkan posisi antropologi. Pertama, kalau ilmu ekonomi meluas di seluruh masyarakat dunia, maka wilayah kerja antropologi ekonomi adalah masyarakat primitif dan tradisional. Kedua, urusan ilmu ekonomi adalah teorisasi dari gejala ekonomi, dan ilmu antropologi adalah melihat bagaimana aplikasi teori tersebut pada masyarakat primitif dan tradisional.
Polanyi membawa gelombang baru dalam antropologi ekonomi. Ada dua gagasan yang cukup penting, pertama pembedaan arti ekonomi menjadi dua yaitu arti formal dan arti substansial. Arti formal adalah ekonomi sebagai maksimalisasi, sedangkan arti substansial adalah ekonomi sebagai upaya menusia memenuhi kebutuhan hidup di tengah lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Sistem ekonomi masyarakat modern berbeda dengan sistem ekonomi masyarakat primitif dan tradisional. Pada masyarakat modern yang hidup dengan ekonomi pasar, gejala ekonomi tampil sebagai suatu institusi sosial yang berdiri sendiri, karena pasar memiliki potensi sistemik untuk mengatur kondisi dirinya sendiri. Sebaliknya pada masyarakat primitif, tradisional, sistem ekonomi terjalin menyatu dengan institusi sosial lainnya, dengan sistem kekerabatan, sistem religi, sistem politik lokal dan yang lainnya.
Dalton kemudian mengikuti Polanyi, menyatakan bahwa ekonomi modern tidak dapat dipakai untuk mempelajari ekonomi masyarakat primitif dan tradisional. Alasannya adalah (1) metode dan isi teori ekonomi dibentuk oleh dua ciri utama industrialisasi pabrik dan organisasi pasar; (2) ciri yang membedakan sebuah pasar yang terorganisasi, yang merupakan sifat ketergantungan yang khusus, semua kehidupan materi diambil dari menjual sesuatu melalui mekanisme pasar; (3) apa yang harus dijelakan adalah bahwa organisasi pasar mendorong partisipasinya untuk mencari pendapatan material sendiri; (4) ekonomi pasar terdesentralisasi memperkuat pandangan atomistik tentang masyarakat yang hanya sekedar sebagai keseluruhan diri individu yang menarik.
Schneider menyatakan bahwa ilmu ekonomi mikro sangat penting bagi antropologi ekonomi karena teori-teori mikro itu dianggapnya berlaku universal dan cocok dipakai sebagai alat untuk menganalisis pada masyarakat apapun. Kritikan datang dari Robbins Burlings dengan membedakan ekonomi secara substansial dan formal bahwa Polanyi telah mengingkari kemungkinan masyarakat promitif pun melakukan tindakan ekonomisasi. Jadi ekonomi adalah maksimalisasi penggunaan resource di segala bidang kegiatan hidup. Frank Cancian juga menyatakan bahwa ekonomu adalah ilmu yang mempelajari tentang penghematan yaitu suatu alokasi sumberdaya kekayaan yang sedikit di antara tujuan alternatif.
Sedangkan Harry Pearson sebagai sosiolog berargumen bahwa surplus adalah gejala yang melekat dengan suatu bentuk sistem ekonomi tertentu, yaitu ekonomi marginal, tempat semua barang dikonsepkan ada dalam kondisi terbatas. Konsep surplus dengan cara ini adalah untuk merepresentasikan abstraksi yang dapat diterima dari kondisi sosial yang melingkupi bisnis sehari-hari dalam menjamin kekayaan materi tentang kepuasan yang diinginkan. Orang hidup dalam masyarakat tidak membuat surplus kecuali ia menamainya demikian, kemudian akibatnya diberikan oleh tingkah laku dimana ia dijadikan adat kebiasaan.
Jika pendapat Pearson ini benar bahwa surplus sebenarnya tidak ada maka akan runtuh teori evolusi kebudayaan yang telah dibangun selama ini. Karena dengan adanya surplus yaitu jumlah materi sumber daya di atas keperluan subsisten masyarakat, itulah yang memungkinkan terjadinya peradaban. Tanpa adanya surplus dari pertanian maka diferensiasi pekerjaan dan stratifikasi sosial tidak akan pernah lahir. Namun Harris menyatakan bahwa Pearson terperosok dalam perangkap pandangan emic dan lari dari tugas keilmuan untuk melakukan pengukuran independen dari tingkat produksi dan tingkat keperluan subsistensi masyarakat. Sikap Pearson adalah sikap yang tidak akan membawa kemajuan apapun bagi ilmu sosial. Ternyata kritik ini juga tidak tepat karena kunci permasalahannya terletak pada tolak ukur untuk menghitung surplus itu sendiri dan Harris tidak memberi masukan apa pun bagi pembentukan tolak ukur tersebut.
Pada pertengahan 70-an perdebatan formalis - subtantivis dalam antropologi ekonomi muncul dalam dua aliran pemikiran. Pertama, aliran pemikiran yang inspirasi dari gagasan - gagasan Marx, yang disebur antropologi ekonomi baru. Kedua, aliran pemikiran yang berbeda di luar kelompok baru yang diistilahkan aliran ekonomi personalisme. Formalis-substantivis mengalami banyak perombakan, pematangan dan penghalusan. Gagasan-gagasan substantivis menjadi tema pokok dalam struktur Marxisme, ekonomi moral, dan ekonomi personalisme. Pada dasawarsa 60-an muncul gerakan keilmuan yang mencoba menginterpretasikan gagasan-gagasan Karl Marx sebagai dasar-dasar pembentukan suatu perdebatan Marxis baru. Gerakan ini berpangkal di Perancis dan menyebar ke Eropa, Amerika Serikat, dan Amerika Latin.
Antropologi ekonomi baru yang memiliki ciri utama yaitu mendapat inspirasi dari gagasan Marx pecah menjadi 3 golongan yang saling bersitegang pendapat yaitu struktural Marxis, neo-Marxis, dan kultural material. Gagasan Marx dipakai oleh antropologi ekonomi baru umumnya adalah doktrin determinasi infra-struktur, konsep eksploitasi. Adopsi mendasar antara antropologi ekonomi dengan marxis bahwa keduanya mempelajari sisten ekonomi masyarakat. Sebagian dari pemikir antropologi ekonomi baru bergabung dalam kelompok struktural Marxis dan neo-Marxis yang jalur pemikirannya sejalan dengan substativis. Pertemuan ini terjadi karena antara Marxisme dan substantivisme ada persamaan gagasan, bahwa sistem ekonomi adalah gejala yang melekat dengan institusi sosial dan teori-teori ilmu ekonomi tidak dapat diterapkan secara universal. Ketidakuniversalan itu terjadi karena ilmu ekonomi modern adalah ilmu yang dibangun berdasarkan realita dan logika masyarakat kapitalis, sementara masyarakat di dunia tidak semuanya kapitalis.
Kultural materialisme yang tumbuh di Amerika tidak sependapat dengan pemikiran struktural Marxis dalam hal afiliasi dan substantivisme. Menurut Harris, kaum subtantivis tidak keliru dengan pemikiran mereka mengenai ketidakuniversalan logika ekonomisasi. Akan tetapi, mereka terlalu ceroboh dengan mengingkari keuniversalan logika ekonomisasi bahwa manusia dimanapun selalu bergerak di atas pertimbangan untung rugi. Pada segi ini Harris menempatkan diri pada kubu formalis. Dia juga tidak sependapat dengan pemikir struktural Marxis pada konsep determinasi infrastruktur dan konsep mode produksi.
Di luar lingkungan antropologi ekonomi baru, terdapat ahli yang tertarik mempelajari kondisi kehidupan masyarakat peasant, yang miskin dan menderita tanpa mengadopsi gagasan-gagasan Marx sebagai alat analisis. Pemikir-pemikir ini agaknya juga tidak tertarik dengan gagasan-gagasan mengenai struktur sosial yang cenderung menampilkan sistem sosial manusia tidak ubahnya seperti organisme, bangunan, atau sistem mekanik dan manusia dilihat tidak lebih sebagai bagian yang menempel pada struktur-struktur tersebut. Para pemikir ini agaknya berkeinginan untuk menampilkan sisten sosial sebagai sistem yang berisi manusia, dioperasikan oleh manusia, dan eksistensinya termanifestasi oleh gerak kehidupan manusia. Berdasarkan kesamaan itu istilah ekonomi personalisme dari Davis di pakai untuk menandai kelompok ini (Sairin, 2002: 31).
Sistem ekonomi bagi para pemikir ini cenderung dianalisis sebagai suatu gejala yang lekat dengan kehidupan kesehatan manusia, antara lain Eric Wolf, James Scott, Samuel Popki, dan Davis. Perkembangan kelompok ini di buka oleh studi-studi yang dikonsentrasikan kepada masyarakat peasent.
Tulisan Davis mengenai ekonomi personalisme dianggap sebagai salah satu buku pokok dalam mempelajari hubungan sosial di dalam pasar manusia Filipina khususnya dan Asia pada umumnya. Pada karya Szanton, konsep tersebut sudah dipasang di bawah istilah personalized exchange bahkan lebih awal Mintz pada tahun 1961 menulis makalah seminar tentang pratik, langganan, pada masyarakat Haiti di bawah istilah ekonomi personal. Namunn lewat karya Davis, konsep ekonomi personalisasi tersebar yang kemunculannya berpangkal dari ketidakpuasan Davis terhadap permis-premis substantivis yang cenderung terlalu ekstrim sehingga memperlakukan pasar sebagai gejala yang anti sosial, yang tampil dengan kemampuan sefl regulation-nya karena kaum ini melihat sistem ekonomi pada tingkat interaksional yaitu pada tingkat para pelaku ekonomi melangsungkan kegiatan mereka. Bila analisis diarahkan pada tingkat interaksional maka akan terlihat bahwa beberapa dari perbedaan hubungan sosial dinyatakan membedakan ekonomi market dengan non market cenderung berkurang dalam jumlahnya. Faktor subjektif yaitu faktor-faktor sosio-kultural yang berguna bagi pelaku yang sedang diteliti mengganggu struktur ideal persaingan pasar. Maka beberapa elemen primitif kemampuan sosial muncul dalam pasar dan tidak ada “jurang pemisah” antara tingkah laku pasar dan non pasar (Davis dalam Sairin, 2001: 32-33).
Kelompok ekonomi personalisme yang dipelopori oleh Scott mengungkapkan gejala sosial-budaya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku The Moral Economy of the Peasant, ia memaparkan tata kehidupan masyarakat peasent yang digambarkan sebagai masyarakat yang harmoni dan stabil, desa peasent digambarkan sebagai desa yang sosial yang berkepentingan menjaga kelangsungan hidup warganya. Peasent digambarkan sebagai manusia yang bermentalitas dahulukan selamat. Pemberontakan peasent, gejala yang banyak terjadi di negara-negara terjajah adalah akibat terancamnya harmoni kehidupan desa oleh masuknya ekonomi kapitalistik dari kota.
Menurut Popkin, peasant bukanlah masyarakat yang harmoni. Hubungan patron-klien yang menjadi ciri umum masyarakat peasant bukanlah hubungan untuk menolong pihak yang lemah, melainkan hubungan eksploitatif. Bila kemudian peasent melakukan pemberontakan, hal itu bukan disebabkan karena tata kehidupan tradisional mereka terancam oleh ekonomi pasar tetapi karena mereka ingin merebut kesempatan dalam tata ekonomi yan baru. Sebagaimana Harris, Popkin melihat peasant adalah manusia yang penuh perhitungan untung rugi, bukan hanya manusia yang diikat oleh nilai-nilai moralitas.
Kritik Popkin disambut positif oleh Scott. Mulai dari karya Scott tahun 1955, studi antropologi ekonomi mendapat satu wajah baru yang total yakni dengan dipakainya pendekatan reflektif yang mencoba mengungkap kesadaran subjek penelitian akan realita kehidupan mereka yang alami, dan banyak disini bearti si peneliti dan juga informan yang ia kunjungi dan ia minta datanya. Secara sederhana, wacana ini dapat dipilih menurut dua garis. Pertama, menurut sikap terhadap pendekatan ekonomi pasar. Kedua, menurut ukuran kemunculan dan basic paradigmanya. Berdasarkan garis pertama dapat ditemukan dua aliran yaitu aliran yang menerima dan menolak keuniversalan teori-teori ekonomi pasar. Sedangkan berdasarkan garis kedua diketemukan: (1) antropologi ekonomi klasik; (2) antropologi ekonomi yang berbasis materialisme; (3) antropologi ekonomi yang berbasis pendekatan personal. Di luar ketiganya terdapat antropologi ekonomi yang dibangun di atas pendekatan pos-modernisme.
C. Pandangan Firth (Antropolog Inggris)
Firth di bawah bimbingan Malinowski, menguraikan pentingnya kerjasama antar ahli ekonomi dan ahli antropologi untuk mengkaji ekonomi suku-suku bangsa yang hidup dalam masyarakat nonindustri guna mencapai pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan umat manusia yag miskin. Manusia miskin tidak dapat diabaikan karena manusia nonindustri yang menyediakan bahan mentah bagi ekonomi masyarakat industri. Firth menunjukkan adanya perbedaan kajian-kajian antropologi ekonomi yang sifatnya lebih historikal dan diakronik, di samping kajian-kajian yang bersifat lebih komparatif dan sinkronik.
Ekonomi adalah seluruh perilaku manusia dalam organisasi dan pranata yang mengatur penggunaan sumber-sumber terbatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam suatu masyarakat tertentu. Firth mengkaji Antropologi Ekonomi dalam subtantivisme dan formalis.
Subtantivisme Firth, membahas metodologi penelitian menggunakan pendekatan induktif. Yaitu sistem ekonomi pada masyarakat sederhana dan masyarakat pedesaan di dunia bukan unsur tersendiri karena tidak ada dalam konsepsi masyarakat nonindustri. Fisth beranggapan bahwa konsep-konsep, konsepsi-konsepsi & teori-teori ekonomi pada dasarnya tidak dapat diterapkan pada ekonomi sederhana dan ekonomi pedesaan. Para ahli subtantivisme berpendapat bahwa konsepsi Marxisme lebih cocok untuk mengkaji ekonomi sederhana dan ekonomi pedesaan daripada ilmu ekonomi.
Formalis Firth, metodologi penelitian bersifat komparatif sinkronis didasarkan pada konsepsi fungsionalisme-struktural. Penelitiannya digunakan sebagai informasi kepada negara penjajah mengenai ekonomi di pedesaan negara jajahan untuk menguasai mereka dengan cara yang lebih halus. Konsep-konsep, konsepsi-konsepsi, dan teori-teori ilmu Ekonomi diterapkan pada ekonomi masyarakat sederhana, masyarakat pedesaan, sekonomi industri dan perdagangan internasional. Menguraikan perilaku orang Tikopea dan Melayu mengolah sumber-sumber makanan akibat jumlah penduduk yang meningkat. Perilaku tersebut adalah:
a) Mengorganisasikan tenaga kerja yang berlebihan
b) Pola-pola pembagian kerjasama dalam kelompok
c) Pola-pola kepemimpinan dalam kelompok-kelompok kerja
d) Organisasi dan pranata-pranata untuk menimbun dan menggunakan modal dalam wujud tanah, perahu dan peralatan produksi maupun mendistribusikan dan membarter hasil produksinya.
Firth berhasil mengkombinasikan konsep-konsep ilmu gaib, religi, dan simbolik tukar-menukar barang dan jasa dalam usaha mencari tenaga kerja, usaha berproduksi, dan usaha perdagangan orang Maori, Tikopea atau Melayu. Firth menguraikan perilaku orang Tikopea dan Melayu dalam mengolah sumber-sumber makanan yang terbatas akibat tekanan jumlah penduduk yang meningkat, perilaku mereka dalam hal mengorganisasi tenaga kerja yang berlebihan, pola-pola pembagian kerja, pola-pola kepemimpinan dalam kelompok-kelompok kerja, adanya kerja sama dalam kelompok, pola adanya organisasi atau pranata-pranata untuk menimbun dan menggunakan modal dalam wujud tanah, perahu, dan peralatan produksi.
Firth juga mendiskripsikan pranata-pranata social-budaya yang biasanya ada di luar ilmu ekonomi, yaitu adat-istiadat , perilaku upacara, ilmu gaib dalam produksi, dan symbol-simbol dalam tukar-menukar hasil produksi. Masyarakat pedesaan di Malaysia tidak teisolir seperti masyarakat Tikopea, keduanya berbeda satu sama lain. Firth menunjukkan betapa pentingnya upaya untuk meneliti sistem-sistem ekonomi masyarakat pedesaan di luar Ero-Amerika.
BAB II
EVOLUSI MATA PENCAHARIAN
Masyarakat dan suku-suku bangsa di dunia hampir selalu mengandung satu bab yang mendiskripsi mata pencaharian hidup mereka. Konsepsi evolusi kebudayaan pada pertengahan abad ke-10, menghasilkan beberapa konsepsi mengenai evolusi sistem mata pencaharian hidup yang melampaui tiga tingkat evolusi.
A. Masa Berburu dan Meramu
Dalam evolusi mata pencaharian hidup para ahli antropologi memyumbangkan pandangannya antara lain Adam Smith (1976). Adam Smith menyatakan bahwa mata pencaharian hidup manusia purba berkembang dari berburu, meramu dan beternak karena manusia berhasil menjinakkan binatang buruannya. Dari beternak manusia berevolusi ke bercocok tanam.
E. Hahn (1914), menyatakan bahwa sistem mata pencaharian hidup manusia pada awalnya berburu dan meramu tumbuh-tumbuhan liar sehingga ditemukanlah cangkul (hack) untuk manggali tanah. serta mencabut tumbuh-tumbuhan bersama akarnya yang kemudian berevolusi menjadi berkebun. Karena mengetahui bahan tanaman yang masih berakar tidak mati maka manusia menemukan teknologi untuk menguasai kehidupan tumbuh-tumbuhan yang kemudian menjadi tercipta teknologi bercocok tanam.
13Dalam kebudayaan itu manusia menemukan teknik-teknik mengolah tanah dengan bajak. Teknologi bajak erat kaitannya dengan upacara agama di Babylonia, yaitu upacara memuja Dewi Bulan. Masyarakat sederhana dan masyarakat pedesaan dianggap penting untuk dipelajari dan dianalisis karena masyarakat pedesaan adalah bagian yang terbesar dan juga termiskin dari umat manusia.
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa berburu dan meramu merupakan dua mata pencaharian hidup yang saling berkaitan. Masyarakat yang hidup dari berburu biasanya juga melakukan pengumpulan terhadap tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran yang basa dimakan. Bahkan menangkap ikan juga dilakukan sekaligus sebagai suatu cara mendapatkan tambahan makanan. Masa berburu dan meramu pernah menjadi mata pencaharian terpenting dalam kehidupan masyarakat dari berbagai suku bangsa di dunia.
Berburu dan meramu menjadi mata pencaharian yang lama dalam sejarah kehidupan manusia. Sejak masa terjadinya manusia sekitar 2 juta tahun yang lalu sampai sekitar 10 ribu tahun yang lalu berburu dan meramu merupakan satu-satunya system mata pencaharian hidup manusia. Sejak akhir abad ke-19 kehidupan masyarakat dari berburu dan meramu mulai menghilang.
Anas (2002: 3-7) menjelaskan masyarakat berburu dan peramu hidup di hutan dan berpindah-pindah. Mereka hidup dari berburu binatang dan meramu hasil-hasil tumbuhan. Mereka belum mengenal tradisi bercocok tanam. Masyarakat peramu masih bersifat menikmati apa-apa yang terdapat di alam. Keadaan seperti itu dimungkinkan karena hasil-hasil yang diperoleh dari alam masih melimpah dan jumlah manusia relatif masih sedikit. Hal itu menyebabkan masyarakat peramu memiliki mentalitas yang kurang produktif.
Namun masyarakat peramu dikenal memiliki ciri positif yaitu sebagai improvisator, suatu masyarakat yang berimprovisasi melalui tindakan coba-coba. Mereka banyak melakukan tindakan coba-coba dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping itu mereka telah mengembangkan kerjasama. Pada masa itu masyarakat peramu telah menunjukkan sikap saling menolong, tenggang rasa, dan cara hidup resiprositas (balas membalas). Ciri kultural dalam kehidupan mereka adalah pragmatis, keras, dan peka terhadap hasil-hasil usaha, serta gigih dalam perjuangan hidup.
B. Masa Bercocok Tanam
Bertani mulai dikenal dalam kehidupan manusia sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Berkembangnya mata pencaharian pertanian pada mulanya paling sedikit terdapat di delapan tempat di muka bumi. Ke delapan tempat tersebut menurut Vavilov yaitu daerah sungai Senegal. Daerah asal mula perkembangan bercocok tanam itu yaitu
1. Daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti: Mekong, Salwin, Irawadi dll, dan yang menyebar lebih lanjut ke daerah Kepulauan Asia Tenggara, Indonesia, Filipina dan juga ke daerah Sungai Gangga di India. Dari pusat ini berasal penanaman padi dan keladi (Colocasia antiquorum).
2. Daerah sungai-sungai di asia timar seperti Yangtse dan Hoangho, yang berpusat lepada sayur-sayuran Tionghoa, pon murbei, teh dan kedele.
3. Asia Barat Daya, termasuk daerah Sungai Tigres dan Sungai Alfurat di Iraq Semarang, yang menyebar lebih lanjut ke Iran, Afganistán sampai daerah hulu sungai Sindu di Pakistan.
4. daerah Laut Tengah, terutama Mesir, palestina, juga daerah lembah-lembah sungai di Italia dan Spanyol yang mengembangkan tanaman buah zait dan ara.
5. Daerah África Timar terutama di Abesinia yang mengusahakan pertanian gandum
6. Daerah Afrika Barat sekitar hulu Sungai Senegal yang mengembangkan cocok tanam gandul dan sorghum.
7. Daerah Mexico Selatan yang mengusahakan pertanian jagung, kapas, kasava dan ubi.
8. daerah Peru di Amerika Selatan yang mengembangkan budidaya tanaman kentang, kasava dan ubi
Masyarakat petani ladang berbeda dengan peramu karena mereka telah hidup menetap. Mereka bermukim secara berkelompok dan membentuk tempat tinggal yang berdekatan dengan ladang mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka memproduksi sendiri melalui cara berladang. Oleh karena itu petani ladang merupakan masyarakat yang bersifat produktif. Mereka mendirikan desa-desa di pinggir hutan atau dekat dengan rawa-rawa. Mereka menyukai hidup bermukim secara tetap untuk mendapatkan kehidupan yang lebih tenteram.
Menurut ahli Pre Histori masa bercocok tanam dimulai Sejas zaman Neolitik (Zaman batu Baru). Pada masa sebelumnya yaitu zaman batu tua manusia hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan. Zaman Neolitik di Indonesia diperkirakan sejak tahun 2000 SM di Asia Tenggara telah mulai beberapa ribu tahun sebelumnya. Berpangkal dari daerah-daerah tersebut kepandaian berccocok tanam menyebar ke daerah-daerah lain di dunia. Meskipun demikian mata pencaharian bercocok tanam pada masa itu merupakan mata pencaharian sedikit saja dari perkiraan jumlah umat manusia yang telah ada di bumi. Banyak Amat manusia pada waktu itu tetap hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan.
BAB III
PEMBAGIAN KERJA DAN SUMBER-SUMBER EKONOMI DALAM MASYARAKAT
Dalam setiap masyarakat, manusia selalu ada pembagian pekerjaan menurut kategori jenis kelamin dan umur. Pembagian seperti itu hanya sekedar perkembangan langsung pola yang sudah terdapat pada semua primat yang maju.
A. Pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin.
18Pekerjaan khusus apa yang dilakukan oleh pria atau wanita, berbeda-beda menurut kelompoknya, tetapi banyak pekerjaan yang dikhususkan bagi anggota jenis kelamin yang satu atau yang lain. Pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin dalam segala macam masyarakat telah dipelajari secara luas oleh para ahli antropologi, dan beberapa aspeknya telah kita bahas dalam bab sebelumnya. Misalnya, kita telah melihat bahwa akarnya terdapat dalam biologi, dan bahwa tugas-tugas yang kebanyakan dianggap sebagai tugas wanita adalah pekerjaan yang dapat dilaksanakan di dekat rumah. Pekerjaan yang paling sering dianggap sebagai "tugas laki-laki" cenderung berupa tugas yang memerlukan kekuatan fisik, pengerahan tenaga besar, sering memerlukan perjalanan agak jauh dari rumah, dan yang dianggap mengandung risiko dan bahaya besar. Akanetapi, di samping itu studi tentang pekerjaan yang dilakukan oleh pria dan wanita dalam kelompok-kelompok terentu segera menunjukkan bahwa "bentuk-bentuk khusus yang terdapat pada pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin itu harus dipandang sebagai perkembangan historis kelompok tradisi-tradisi khusus, yang mengatur kehidupan bangsa tertentu". Oleh karena itu, setiap masyarakat harus dipelajari tersendiri untuk melihat cara bagaimana mereka membagi-bagi beban pekerjaan diantara pria dan wanita.
Dalam masyarakat industri modern, faktor-faktor biologis yang menjadi dasar pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin telah banyak diatasi oleh berbagai inovasi di bidang teknologi dan organisasi. Ini mencakup hal-hal seperti alat-alat kontrasepsi, formula bayi tiruan yang dapat diberikan menggunakan botol, tempat penitipan anak, bentuk-bentuk transportasi yang baru, dan cara serta sarana yang mengurangi bahaya kecelakaan dalam pekerjaan, kalau tidak malahan menghapuskannya sama sekali. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi memaksa mengapa wanita tidak akan dapat melakukan pekerjaan yang sebelumnya dikhususkan untuk pria, dan juga tidak ada alasan mengapa pria tidak dapat melakukan tugas yang sebelumnya secara eksklusif dikerjakan oleh wanita. Satu-satunya yang tidak dapat dikerjakan oleh pria adalah melahirkan anak.
B. Pembagian kerja berdasarkan umur.
Ada kemungkinan diadakan pembagian pekerjaan menurut umur. Misalnya, antara orang Tiwi di Australia Utara, pria yang sudah terlalu tua untuk berburu, membuat alat-alat dan barang-barang lain untuk keperluan suku bangsanya. Orang-orang tua, yang memiliki lebih dari seorang istri dan memiliki keluarga besar serta jumlah tenaga kerja yang banyak, mempunyai waktu senggang untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keranjang, tongkat penggali, dan karya cipta artistik yang bagus, seperti tiang untuk kubur dan tombak-tombak upacara. Mereka juga menciptakan lagu-lagu dan tari-tarian. Para istri menyediakan untuk keluarga mereka tumbuh-tumbuhan, tempayak, dan banyak cacing sehingga mereka dapat kenyang.
Di kalangan orang Ihalmiut di "Tanah Tandus" (Barren grounds) di Kanada Utara, usia lanjut merupakan masa yang sulit, karena iklim yang keras dan kehidupan para pemburu karibu yang berpindah-pindah membawa penderitaan khusus bagi orang tua. Rupa-rupanya iklim yang dingin dan lembab itu mempercepat ketuaan dan orang tualah yang paling menderita waktu terjadi kelaparan. Tidak banyak pekerjaan yang cukup ringan untuk dikerjakan oleh orang tua baik pria maupun wanita, meskiun orang tua merupakan gudang kearifan (perpustakaan) bangsa buta aksara. Dengan demikian, bagi orang Ihalmiut usia lanjut merupakan beban yang lebih berat daripada bagi orang-orang yang tidak begitu sulit mencari penghidupan. Hal yang sama juga berlaku untuk anak-anak, yang tidak banyak memberi sumbangan di bidang ekonomi sampai mereka berumur belasan tahun.
Di banyak masyarakat non-industri sumbangan anak-anak dan orang tua di bidang ekonomi jauh lebih besar daripada sumbangan anak dan orang tua yang biasanya terdapat dalam masyarakat Barat. Di Vietnam Selatan, misalnya anak-anak tidak hanya mengawasi saudara-saudaranya yang lebih muda, tetapi juga membantu pekerjaan rumah tangga. "Orang Amerika akan terkejut melihat anak berumur empat atau lima tahun bekerja dengan menggunakan pisau cincang atau menyalakan lampu gantung, tetapi di Vietnam hal itu adalah hal yang biasa". Berbeda dengan orang tua Eskimo, orang tua Vietnam Selatan tetap memiliki tanggung jawab ekonomis. Nenek, misalnya memegang kantong uang, pergi ke pasar, memasak, dan membersihkan rumah. Pemberian tanggung jawab semacam itu dahulu juga biasa di rumah tangga pedesaan Amerika Utara, yang beban kerjanya berat sedangkan tenaga kerjanya sedikit.
C. Kerjasama
Kelompok kerja kooperatif terdapat di mana-mana, baik di masyarakat non-industri maupun di masyarakat industri, di masyarakat buta aksara maupun di masyarakat yang melek aksara. Kalau pekerjaan itu melibatkan seluruh komunitas, sering terdapat suasana pesta. Jomo Kenyatta, ahli antropologi yang terus menanjak dan menjadi negarawan yang disegani dan juga menjadi "bapak" negara Kenya merdeka, menceritakan tentang suasana gembira sesudah bekerja seharian di negaranya :
Apabila orang asing kebetulan lewat, ia tidak akan mengira bahwa mereka yang sedang bernyanyi dan menari-nari itu telah bekerja sehari penuh. Di sinilah kebanyakan orang Eropa keliru, karena mreka tidak menyadari bahwa di lingkungannya sendiri orang Afrika itu tidak menghitung jam kerja mereka berdasarkan gerakan jarum jam, tetapi mereka bekerja bersemangat dan antusias untuk menyelesaikan tugas yang mereka hadapi.
Di Dahomaey, para pandai besi bekerjasama dalam mengoperasikan alat dan tempat kerja mereka. Setiap orang memiliki besinya sendiri, dan para anggota tempat kerja itu setiap kali hanya mengerjakan besi milik pribadi saja. Hasilnya menjadi milik orang pemilik besi tersebut, dan ia bebas untuk menjualnya di pasar demi keuntungan pribadi, dan dengan hasil penjualannya itu ia membeli lebih banyak lagi besi.
Kerjasama tidak selalu secara sukarela. Kerjasama mungkin termasuk kewajiban yang harus dipenuhi terhadap keluarga mertua; mungkin perintah kepala atau pendeta yang harus dilaksanakan. Lembaga keluarga, kekerabatan, agama, dan negara, semuanya dapat merupakan unsur organisasi yang menentukan sifat dan kondisi kewajiban kejasama seorang pekerja.
D. Spesialisasi Keterampilan
Dalam masyarakat nonindustri, di mana terdapat pembagian pekerjaan berdasarkan umur dan jenis kelamin, setiap orang di dalam masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam segala aspek pekerjaan yang sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya sendiri. Sebaliknya, dalam masyarakat industri modern ada perbedaan yang lebih besar antara pekerjaan khusus yang harus dilaksanakan, dan bahkan tidak orang yang dapat mulai memperoleh pengetahuan tentang semua pekerjaan yang sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya. Akan tetapi, dalam masyarakat nonindustri sekalipun ada semacam spesialisasi keterampilan. Spesialisasi itu sering kali amat kecil dalam masyarakat pemburu dan peramu, tetapi di sini pun mata panah buatan orang yang satu mungkin lebih banyak dicari karena keterampilannya yang lebih besar. Di kalangan orang-orang yang menghasilkan pangannya sendiri, ada kemungkinan spesialisasi yang lebih besar. Di kalangan peduduk kepualauan Trobriand, misalnya, pengrajn-pengrajin di desa yang satu mengkhususkan diri dalam pembuatan kapak batu, sedangkan tetangganya mungkin mengkhususkan diri dalam menghias belanga atau mengukir tangkai kayu untuk kapak batu.
Sebuah contoh spesialisasi dapat dilihat pada suku Afar di lembah Danakil di Etiopia: mereka adalah penambang garam, yang sejak jaman dahulu banyak diperdagangkan di Afrika Timur. Garam itu diambil dari kerak ladang garam yang luas di bagian utara lembah tersebut, dan untuk memperolehnya adalah suatu pekerjaan yang berbahaya dan sukar. L.M. Nesbitt, orang Eropa pertama yang berhasil melintasi lembah tersebut, menyebutnya "lubang neraka ciptaan Tuhan". Pada siang hari panasnya luar biasa, temperatur antara 140 dan 156 derajat F bukanlah sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi, tidak ada tempat yang teduh di padang garam itu, kecuali kalau orang membangun tempat berlindung yang terbuat dari gumpalan-gumpalan garam. Juga tidak ada pangan atau air untuk manusia dan bintang. Yang menambah kesulitan ialah bahwa sampai saat ini orang Afar yang Islam dan orang Tegrean yang Kristen, kedua-duanya suku bangsa di pegunungan, adalah musuh bebuyutan.
Jadi penambangan yang sukses memerlukan kemahiran dalam menyusun rencana dan berorganisasi, di samping kekuatan fisik dan kemauan yang keras untuk bekerja dalam kondisi yang mematahkan semangat. Binatang penghela untuk mengangkut garam harus diberi makan sebelumnya, sebab membawa makanan binatang berarti mengurangi kemampuannya untuk mengangkut garam. Pangan dan air harus diangkut oleh pekerja tambang yang biasanya setiap kelompoknya terdiri atas 30 sampai 40 orang. Perjalanan direncanakan pada malam hari untuk menghindari terik matahari yang luar biasa pada siang hari. Akhirnya, perhitungan waktu itu menentukan sekali. Rombongan harus sudah kembali di tempat pangan dan air sebelum persediaan mereka sendiri menipis, dan sebelum binatang-binatang tidak dapat berjalan lebih jauh.
E. Pengaturan tanah.
Semua masyarakat memiliki aturan-aturan yang menentukan cara pembagian sumber daya tanah. Para pemburu dan peramu harus menentukan siapa yang boleh berburu binatang dan meramu tumbuh-tumbuhan dan di mana kegiatan itu tidak boleh dilakukan. Petani kebun harus memutuskan bagaimana tanah garapan mereka itu harus diperoleh, dikerjakan, dan diwarikan. Suku bangsa penggembala memerlukan suatu sistem untuk menetapkan hak atas tempat-tempat minum binatang dan ladang penggembalaan, maupun hak untuk melintasi daerah yang dilalui kawanan binatang mereka. Petani penuh atau intensif harus memiliki cara untuk menentukan haknya atas dan untuk memanfaatkan sumber air demi keperluan irigasi. Di masyarakat industri barat, berlaku hak milik pribadi atas tanah dan hak atas sumber daya alam. Sebetulnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa mereka beranggapan seolah-olah berlaku hak milik pribadi. Menurut kenyataanya, di Amerika Serikat lebih banyak tanah yang dikuasai oleh pemerintah federal dan pemerintah negara bagian daripada yang menjadi milik pribadi. Kecuali itu, perundang-undangan yang rumit telah disusun untuk mengatur pembelian, pemilikan, dan penjualan tanah dan sumber-sumber air. Meskipun demikian, kalau orang ingin menggunakan tanah pertanian yang berharga untuk keperluan lain misalnya, mereka dapat melakukannya.
Dalam masyarakat non-industri, hak milik pribadi atas tanah adalah langka. Pada umumnya tanah dikuasai oleh kelompok-kelompok kekerabatan seperti garis keturunan (dibahas dalam bab 18) atau kelompok. Misalnya, pada suku bangsa Tiwi semua tanah dimiliki oleh salah satu dari sembilan kelompok. Setiap kelompok yang terdiri dari 200 sampai 300 orang anggota mendiami tanah seluas kira-kira 200 mil persegi, yang mereka anggap sebagai daerah mereka-negara mereka sendiri. Batas-batas daerah itu diketahui dengan baik, meskipun bagi oarang Barat kelihatannya kabur dan tidak pasti. Ahli antropologi Charles Hart dan Arnold Pilling mengomentari:
Semua bidang tanah-hutan belukar, lapangan rumput, dan bagian hutan lebat-mempunyai nama. Sebuah daerah berhutan lebat menjadi milik kelompok yang satu, sedangkan daerah yang lebih terbuka, yang pohonnya jarang-jarang menjadi milik kelompok lain. Dengan demikian, batasnya bukan berupa garis yang jelas, tetapi berupa suatu daerah peralihan-boleh berapa mil lebarnya-di mana perubahan dari daerah berpohon menjadi daerah rumput mulai kelihatan. Orang Tiwi melihat alam sebagai semacam spektrum, tempat orang bergerak berangsur-angsur keluar dari bagian yang satu masuk ke bagian yang lain sewaktu iameninggalkan tipe lingkungan yang satu dan masuk ke tipe lingkungan yang lain.
Nilai adaptif sikap terhadap pemilikan tanah adalah sudah jelas. Besarnya daerah kelompok, maupun besarnya kelompok itu sendiri, dapat berubah sesuai dengan besarnya sumber daya di suatu tempat tertentu. Penyesuaian diri seperti itu akan lebih sukar menurut sistem hak milik pribadi atas tanah.
Di kalangan beberapa suku bangsa petani kebun di Afrika Barat berlaku pemilikan tanah menurut sistem feodal, di mana semua tanah adalah milik kepala suku. Ia membagi-bagikannya kepada para bawahannya, yang selanjutnya membagi-bagikannya lagi kepada garis keturunan. Pemimpin garis keturunan kemudian menunjuk bidang-bidang tanah tertentu kepada setiap petani. Seperti di Eropa pada abad pertengahan, rakyat Afrika harus taat kepada kepala bawahan (bangsawan) dan kepada kepala suku (raja). Orang yang menggarap tanah harus membayar pajak dan bertempur untuk raja kalau perlu. Dalam pengertian tertentu, rakyat "memiliki" tanah dan mewariskan miliknya kepada keturunannya. Akan tetapi, orang tidak dapat menghibahkan, menjual atau dengan cara lain melepaskan haknya atas sebidang tanah tanpa persetujuan tetua garis keturunan. Apabila sebidang tanah yang telah diberikan tidak diperlukan lagi oleh seseorang, kepala garis keturunan mencabut haknya dan memberikannya kepada orang lain dalam lineage. Prinsip operasional yang penting di antara petani-petani seperti itu adalah bahwa sistem seperti itu memberi hak kepada individu untuk menggunakan tanah dalam jangka waktu tertentu, dan tanah itu tidak begitu saja "dimiliknya". Ini dimaksudkan untuk memelihara keutuhan tanah pertanian sebagai tanah pertanian dan mencegah hilangnya tanah pertanian karena dibagi-bagikan terus menerus dan dialihkan untuk keperluan lain.
F. Sumber daya.
Dalam masyarakat terdapat kebiasaan dan aturan-aturan mengenai jenis pekerjaan yang dilakukan, siapa yang melakukannya, siapa yang memiliki sumber daya dan peralatan, dan bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan. Sumber daya produktif, yang oleh kelompok sosial dapat digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dikehendaki. Peraturan-peraturan di sekitar penggunaan barang-barang itu semua terdapat di dalam kebudayaan dan menentukan cara ekonomi berfungsi.
G. Modal.
Ahli ekonomi menggunakan istilah modal (capital) untuk suatu sumber daya yang tidak dihabiskan dalam proses produksi barang. Dalam masyarakat modern, modal berarti tanur baja, mesin bor, gergaji, maupun uang yang dapat untuk membeli alat-alat seperti itu. Akan tetapi, masyarakat nonindustri pun mempunyai cara untuk membuat dan membagi-bagi peralatan dan alat-alat lain yang digunakan dalam produksi barang, dan meneruskannya kepada generasi berikutnya. Jumlah dan jenis alat-alat lain yang digunakan oleh masyarakat itu dibatasi oleh gaya hidup anggotanya. Pemburu-peramu dan orang-orang nomad, yang sering melakukan perjalanan, alat-alatnya lebih sedikit dan lebih sederhana dibandingkan petani yang hidupnya menetap, sebab alat-alat dalam jumlah lebih besar dan lebih kompleks akan menurunkan mobilitas mereka.
Pemburu dan peramu membuat dan menggunakan berbagai macam senjata, banyak diantaranya dibuat secara cerdik dan efektif sekali. Biasanya mereka membuat alat-alat yang mereka perlukan, dan dengan demikian mempunyai hak prioritas dalam mengunakan atau meminjamkan alat-alat kepada orang lain dengan imbalan berupa produk yang dihasilkan dengan menggunakan alat-alat itu. Misalnya, Bushmen yang memberikan panahnya kepada pemburu lain berkah menerima bagian dari binatang apa saja yang mungkin dibunuh oleh pemburu itu. Binatang hasil perburuan dianggap milik orang yang panahnya membunuhnya.
Di kalangan petani kebun, parang yang digunakan untuk membabat dan tongkat penggali atau cangkul adalah alat-alat yang terpenting. Karena alat-alat tertsebut relatif mudah dibuat, setiap orang dapat membuatnya. Meskipun pembuatnya mempunyai hak prioritas untuk menggunakannya, tetapi kalau ia tidak mengunakannya setiap anggota keluarga dapat minta untuk menggunakannya, dan biasanya diperbolehkan. Menolak akan berarti bahwa si pemilik alat itu akan dianggap sebagai orang yang rendah budi karena kurang memperhatikan kepentingan orang lain. Kalau seorang anggota kerabat yang lain ikut menghasilkan panen yang ditukarkan dengan alat tertentu, anggota kerabat itu ikut memiliki alat itu, yang tidak dapat dipertukarkan atau diberikan kepada orang lain tanpa persetujuannya.
Apabila alat-alat dan modal produki menjadi lebih kompleks dan lebih sulit untuk dibuat, hak perseorangan atas alat-alat itu menjadi lebih mutlak, demikian juga kondisinya bagi orang-orang yang hendak meminjam dan menggunakannya. Adalah mudah untuk menganti parang yang dihilangkan oleh anggota kerabat waktu memelihara kebun kelapa, tetapi jauh lebih sukar untuk mengganti bajak besi atau mesin penuai padi. Hak atas harta milik alat-alat yang kompleks diterapkan lebih ketat. Pada umunya, orang yang menyediakan modal untuk membeli sebuah mesin yang kompleks dipandang sebagai satu-satunya pemilik dan ia dapat menentukan bagaimana dan oleh siapa alat itu akan digunakan.
H. Teknologi
Ekonomi masyarakat berhubungan dengan tingkat pengetahuannya tentang teknologi. Dalam masyarakat yang mengenal aksara, pengetahuan tersimpan dalam buku-buku. Dalam masyarakat buta-aksara pengetahuan tersimpan dalam ingatan para anggota kelompok yang bersangkutan.
Pembagian pekerjaan adalah suatu metoda untuk menurunkan kebanyakan teknologi kepada para anggotanya, sehingga tidak akan hilang dan bahkan dapat ditingkatkan. Pengetahuan tentang berbagai tumbuh-tumbuhan, kapan panen dapat diadakan, di mana terdapatnya, bagian mana yang dapat dimakan, dan bagaimana harus disiapkan dan dimasak, diperoleh oleh anak-anak sambil melihat orang-orang dewasa. Levi-Strauss melaporkan bahwa anak-anak kecil dapat mengetahui nama dan kegunaan ratusan tanaman. Perilaku dan kebiasaan binatang, bagaimana cara melacaknya, bagaimana cara menggunakan tulang dan kulitnya, bagaimana caranya membuat panah atau tombak untuk memburunya, semua itu termasuk hal ihwal teknologi bangsa nonindustri. Pada teknologi inilah kehidupan mereka bersandar, dan semua itu harus dipelajari dan diterusan kepada generasi berikutnya agar kelompok itu dapat bertahan hidup.
I. Produksi-Siklus Ekonomi Tahunan.
Dalam masyarakat petani, pola produksi hasil pertanian mengikuti musim. Siklus ekonomi tahunan di sebuah desa kecil di Yunani pada jaman sekarang memberi gambaran yang baik tentang produksi di sebuah sistem perekonomian
Tanaman hasil bumi di desa itu ditanam untuk keperluan konsumsi sendiri dan untuk dijual. Kejadian pertama dalam tahun tanam ialah pemangkasan tanaman anggur, yang dmulai pada akhir hujan musim dingin. Pemangkasan, yang disusul dengan pencangkulan yang dalam dengan menggunakan tangan dipandang sebagai tugas kaum pria dan harus cepat-cepat diselesaikan sehingga kaum pria itu dapat mulai membajak padang kapas. Kapas adalah tanaman untuk pasar, sedang anggur ditanam untuk membuat minuman yang dikonsumsi sendiri. Ladang kapas biasanya dibajak dengan menggunakan traktor sewaan, sedang penanamannya dilakukan dengan tangan.
Apabila tanaman kapas sudah mulai bersemi, diadakan pecangkulan. Pekerjaan yang berat itu dilakukan oleh gadis-gadis dan wanita setiap rumah tangga. Para wanita lain dari desa atau bahkan dari desa tetangga dapat disewa kalau ladangnya luas. Pekerjaan itu dilakukan di samping, dan bukan sebagai pengganti pekerjaan rumah tangga sehari-hari.
Pada bulan Juni gandum yang ditanam pada akhir musim gugur dipanen dengan menggunakan mesin yang dimiliki dan dijalankan oleh orang-orang di luar desa. Pembayarannya setimpal, 8 persen jumlah gandum yang telah dipanen. Gandum, yang dijadikan roti dan dimakan di rumah, umumnya masih tetap merupakan cagak hidup, makanan pokok orang-orang di desa. Sekam dan jerami digunakan sebagai makanan binatang.
Pada akhir bulan Juni dan permulaan bulan Juli, tanaman tembakau yang ditanam pada waktu yang kira-kira bersamaan dengan gandum, siap untuk dipetik dan dirangkai untuk dijemur, tugas ini diterima dengan senang oleh kaum wanita sesudah melakukan pecangkulan kapas yang mematahkan punggung di terik matahari. Mereka dapat duduk-duduk di keteduhan bayangan rumah.
Pekerjaan irigasi di ladang kapas dimulai oleh kaum pria pada bulan juli. Setiap ladang diairi kira-kira tiga kali. Pada bulan Oktober dan November kapas dipanen, yang memerlukan pekerjaan lama dengan banyak tenaga, karena kapas tidak siap panen serentak bersama-sama. Yang menjalankan pekerjaan ini adalah wanita, dan kalau perlu dapat menyewa tenaga lagi. Yang menjadi masalah bagi kaum tani adalah menyelesaikan panen kapas sebelum mulai hujan.
Sementara itu anggur telah tua dan pembuatan minuman mulai bulan Oktober. Ini masa kegembiraan, sebab pria, wanita dan anak-anak, semuanya bersama-sama ikut memetik buah anggur, bercakap dan berolok-olok, dan juga mencicipi hasil panennya.
Siklus kegiatan produksi dimulai lagi untuk tahun berikutnya. Petani Yunani itu, seperti semua petani, sebenarnya menjalankan pekerjaan rumah tangga, dan bukan suatu usaha komersial. Motivasi kaum pria adalah untuk mengurusi kesejahteraan keluarganya sendiri. Setiap keluarga, sebagai satuan ekonomi bekerja sebagai satu kelompok untuk mempertahankan atau memperbaiki posisinya sendiri. Penduduk desa mengukur kewibawaan dan kehomatan berdasarkan tingkat keberhasilan keluarga dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya. Lingkungan alam, teknologi dan peranan kerja anggota-anggota keluarga, semuanya berpengaruh atas sukses usaha keluarga dari tahun ke tahun.
BAB IV
PERTUKARAN
Sistem ekonomi dapat didefinisikan sebagai sistem produksi, distribusi, dan konsumsi barang. Karena orang dalam mengejar sarana penghidupan tertentu mutlak harus mengadakan produksi, distribusi dan konsumsi barang-barang, jelaslah bahwa pembahasan kita tentang pola-pola penghidupan di atas, telah melibatkan kita dalam urusan perekonomian. Akan tetapi, sistem perekonomian meliputi jauh lebih banyak daripada yang sudah dibahas. Dalam kajian ini, kita akan meninjau aspek-aspek sistem perekonomian khususnya sistem produksi, tukar-menukar, redistibusi yang memerlukan pembahasan lebih luas daripada yang dapat kita berikan dalam bab yang lalu.
A. Konsep Resiprositas dan Redistribusi.
Antropologi ekonomi pada masa awal perkembangannya, lebih banyak berurusan dengan gejala pertukaran tradisional dan peasant, misalnya pertukaran hadiah (gift exchange), perdagangan kula dan potltach. Berbagai pertukaran yang terdapat pada masyarakat tradisional dan pedesaan yang tidak menggunakan mekanisme uang sering disebut dengan istilah resiprositas dan redistribusi. Pertukaran dilihat sebagai gejala kebudayaan yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi juga agama teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial. Dimensi ini pada mulanya kurang menaruh perhatian terhadap pertukaran yang menggunakan mekanisme uang atau sistem ekonomi pasar. Sedangkan ilmu ekonomi paling banyak berurusan dengan masalah pertukaran dalam ekonomi pasar.
1. Sistem Pertukaran
Sistem pertukaran mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat disamping dipengaruhi oleh sisten produksi yang dipakai juga dipengaruhi oleh sistem perkawinan yang berlaku. Menurut Cook dalam Sairin (2001: 41), membedakan maslah perkawinan dan distribusi. Distribusi merupakan suatu konsep yang berhubungan dengan aspek-aspek tentang pemberian imbalan yang diberikan kepada individu-individu atau pihak-pihak yang telah mengorbankan faktor-faktor produksi yang mereka miliki untuk proses produksi.
Batasan ini mengandung arti bahwa distribusi, proses pemindahan barang atau jasa terjadi dalam unit produksi dan terjadi antara lembaga produksi dengan individu yang menjadi anggota maupun antar individu tersebut. Pertukaran merupakan konsep yang berhubungan dengan sosok-sosok tentang pengubahan barang dan jasa tertentu dari individu atau kelompok yang dilakukan dengan cara memindahkan barang atau jasa kepada individu atau kelompok yang lain guna mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkan.
Salah satu tugas antropologi adalah menyusun klasifikasi-klasifikasi sistem ekonomi di dunia, termasuk pertukaran. Polanyi membedakan pertukaran menjadi tiga pola yaitu resiprositas, distribusi dan pertukaran pasar. Klasifikasi pertukaran didasarkan pada harapan-harapan dan motif-motif yang ingin diperoleh para partisipan dalam melakukan transaksi. Motif-motif yang yang mendasari pertukaran resiprositas dan redistribusi adalah kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan sosial, kebutuhan ekonomi tetapi kebutuhan ekonomi ini tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan komersial. Usaha untuk mendapatkan keuntungan komersial, suatu keuntungan yang peroleh melalui tawar-menawar merupakan motif yang mendasari pertukaran pasar. Batasan resiprositas menurut Dalton merupakan pola pertukaran sosial-ekonomi dinama individu memberikan dan penerima pemberian barang dan jasa karena kewajiban sosial. Dalam melakukan resiporositas, orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi memenuhi kebutuhan sosial yanitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi atau penerima.
Menurut Polanyi, resiprositas dan redistribusi merupakan pola pertukaran dalam sistem ekonomi sederhana, sedangkan pertukaran pasar merupakan pola pertukaran pasar adalah pola dalam sistem ekonomi pasar. Resiprositas menjadi ciri sistem ekonomi masyarakat sederhana atau petani, sedangkan redistribusi menjadi ciri sistem ekonomi masyarakat feodal.
2. Resiprositas
Secara sederhana resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Batasan tersebut tidak mengungkapkan karakteristik dari pelaku pertukaran. Polanya telah meletakkan landasan tentang pengertian resiprositas dengan menynjukkan karakteristik dari pelaku pertukaran ini. Menurut Polanyi, rasa timbal balik (resiprokal) sangat besar yang difalisitasi oleh bentuk simetri institusional, ciri utama organisasi orang-orang yang tidak terpelajar.
Tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung. Konsep resiprositas berbeda dengan konsep redistribusi karena adanya hubungan simetris tersebut sebagai isyarat timbulnya aktivitas resiprositas. Sebaliknya aktivitas redistribusi memerlukan syarat adanya hubungan asimetri yang ditandai oleh adanya individu-individu tertentu yang tampil sebagai pengorganisasian pengumpulan barang atau jasa dari anggota-anggota kelompok. Setelah dikumpukan kemudian barang dan jasa tersebut didistribusikan kembali dalam ke dalam kelompok tersebut dalam bentuk barang dan jasa yang sama atau berbeda. Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka di mana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat guna memenuhi adat kebiasaan. Hubungan inpersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interaksi antarpelaku kerja sama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran semakin musah muncul.
Proses pertukaran resiprositas lebih panjang daripada jual beli. Proses ini ada yang realatif pendek dan ada yang relatif panjang. Pendek kalau proses tukar menukar barang dan jasa dilakukan dalam jangka waktu tidak lama dari satu tahun, misal tolong-menolong petani dalam mengerjakan tanah. Sedangkan proses resiprositas yang panjang, jangka waktunya lebih dari satu tahun misalnya sumbang-menyumbang dalam perkawinan. Proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu dalam masyarakat.
Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari pelaku, yaitu harapan untuk mendapatkan prestis sosial seperti penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah yang ditunjukkan tidak hanya kepada pelaku yang melakukan kerja sama resiprositas tetapi juga lingkungan di mana mereka berada.
Resiprositas didukung dengan struktur masyarakat yang egaliter yaitu masyarakat yang ditandai oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial, sedangkan kekuatan politik relatif teredistribusi merata di kalangan warganya. Hal ini memberi kemudahan bagi warganya untuk menempatkan diri dalam kategori sosial yang sama ketika mengadakan kontak resiprositas.
Menurut Sahlins ada tiga macam resiprositas, yaitu:
a. Resiprositas Umum (generalized reciprocity)
Dimana individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu pengembaliannya. Tidak ada hukum-hukum yanh ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai suatu kebenaran yang tiak boleh dilanggar. orang yang melangar resiprositas akan mendapat tekanan moral dari masyarakat atau kelompok yang mungkin berupa umpatan, peringatan, lisan atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat atau kelompoknya. Tanpa adanya sistem ini kehidupan bermasyarakat dan kelangsungan hidup manusia sebagai makhluk biologis dan sosial tidak bisa terwujud. Manusia membutuhkan orang lain untuk berbagi rasa dan memecahkan masalah hidup dan menikmasti kebahagiaan.
Sistem resiprositas umumnya berlaku di lapangan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Berdasarkan faktor-faktor genetis mereka mempunyai naluri untuk meneruskan keturunan dan melindungi anggota-anggotanya bukan semata-mata dilandasi oleh harapan-harapan akan pengembalian dan haknya. Tetapi sebagai suatu kodrat yang dibenarkan secara subjektif. Walaupun genetis diperhatikan tetapi gejala resiprositas merupakan peristiwa kebudayaan yang keberadaannya tergantung dari proses-proses sosial-kultural yang terjadi dalam masyarakat. Di masyarkat industri, resiprositas umum tetap berlaku pada kalangan orang-orang yang sekerabat.
Resiprositas simbolik sebagai salah satu bentuk resiprositas umum mempunyai adat kebiasaan memberi dan menerima sebagai sarana untuk menjalin hubungan kekerabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan ekonomi. Peluang masyarakat industri untuk menjalin hubungan resiprositas umum denganorang yang tidak sekerabat lebih besar dibandingkan masyarakat sedehana sesuai dengan kenyataan pula bahwa orang mendapatkan nafkah dengan cara menjual susmber daya yang dimiliki ke dalam sistem pasar. Dalam masyarakat sederhana, resiprositas umum cenderung memusat di kalangan orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Dalam masyarakat agraris, resiprositas di kalangan keluarga dekat lebih kuat dibandingkan masyarakat kota. Orang kota mendapatkan nafkah hidup dari kemampuan individu dan hukum pasar yang mengatur nasib invidu tersebut.
Resiprositas umum juga berlaku di kalangan masyarakat yang miskin, golongan masyarakat yang memperoleh nafkah tidak tetap. Beberapa ahli menilai bahwa resiprositas menyebabkan orang menjadi miskin karena orang menjadi suka menggantungkan diri kepada orang lain, yang dapat digabungkan dengan Tesis Geertz bahwa petani Jawa menjadi bertambah miskin karena mereka membagi-bagikan hasil produksi dalam komiditi yang produksinya sudah mencapai tingkat maksimum dengan sistem pertanian tradisional.
b. Resiprositas sebanding (balanced reciprocity)
Resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding dan disertai dengan kapan pertukaran itu berlangsung, kapan memberikan, menerima, dan mengembalikan yang dapat dilakukan individu, dua atau lebih dan dapat dua kelompok atau lebih. Masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari parternya tetapi masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Kondisi ini menunjukkan bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok yang melakukan transaksi bukan sebagai satu unit sosial, satu satuan sosial, malainkan sebagai unit-unit sosial yang otonom.
Ciri resiprositas sebanding ditunjukkan dengan adanya norma-norma atau aturan-aturan atau sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. Bila dilanggar akan mendapatkan hukuman atau tekanan moral dalam masyarakat. Ciri lain adalah keputusan untuk melakukan kerja sama resiprositas berada ditangan masing-masing individu yang muncul karena adanya rasa kesetiakawanan dikalangan mereka sehingga terlembaga di kalangan mereka.
Kesetiakawanan yang ditampilkan tidak penuh yaitu individu tetap berharap bahwa apa yang didistribusikan kepada partner-nya aka kembali lagi. Kalau resiprositas sebanding bergerak ke arah resiprositas umum maka hubungan sosial yang terjadi mengarah ke hubungan kesetiakawanan dan hubungan personal yang intim. Sebaliknya kalau mengarah pada resiprositas negatif maka hubungan sosial yang terjadi berifat tidak setia kawan, yakni masing-masing pihak saling berusaha mendapatkan keuntungan dari lawannya.
Menurut Sahlins, dalam masyarakat Tribal, resiprositas umum terjadi di kalangan individu yang hidup dalam satu rumah tangga yang merupakan satu unit kekerabatan yang intim. Munculnya resiprositas sebanding ini sebagai konsekuensi dari adanya solidaritas komunitas, tetapi transaksi antar individu yang berbeda komunitas mengarah pada bentuk resiprositas negatif. Bentuk resiprositas negarif tidak hanya jual beli tetapi perjudian ataupun penipuan.
Fungsi resiprositas sebanding adalah membina solidaritas sosial dan menjamin kebutuhan ekonomi sekaligus mengurangi resiko kehilangan yang dipertukarkan. Resiprositas sebanding sangat berguna bagi masyarakat petani terutama untuk memenuhi kebutuhan faktor-faktor produksi. Meskipun dalam masyarakat petani resiprositas sebanding sangat penting untuk mengatasi kebutuhan tenaga kerja tetapi juga penting untuk mengatasi kekurangan pangan. Dalam masyarakat petani Trobiand, terdapat kewajiban bagi rumah tangga untuk mendistribusikan hasil panen kepada kerabat dan kepada individu-individu yang membantu. Pamer hasil panen dan pamer mendistribusikan kekayaan mempunyai nilai prestis dalam masyarakat tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya surplus produksi yang sangat penting bagi masyarakat tradisional yang rendah produktivitas pertaniannya sebagai akibat dari rendahnya teknologi produksi mereka.
Dalam masyarakat primitif dan petani, resiprositas sebanding berkurang fungsinya sebagai mekanisme untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bila resiprositas tersebut berlangsung dalam konteks kegiatan nonproduksi.
Resiprositas Negatif (negative reprocity)
Sistem ekonomi tidak statis. Trasnsformasi ekonomi terjadi karena adanya pembangunan ekonomi. Negara-negara terbelakang dan berkembang melakukan transformasi ekonomi melalui program-program pembangunan yang menimbulkan perubahan dalam perekonomian tradisional dan peasent di berbagai bidang produksi, konsumsi, dan distribusi. Transformasi ekonomi di bidang pertukaran yang terjadi dalam perekonomian masyarakat di negara-negara berkembang menggambarkan dua pola besar. Pertama, hilangnya bentuk-bentuk pertukaran tradisional diganti oleh bentuk pertukaran modern. Resiprositas merupakan bentuk pertukaran yang muncul sebelum pertukaran pasar. Lambat laun resiprositas tersebut lenyap dan kehilangan fungsi-fungsinya sebagai akibat masuknya sistem ekonomi uang. Dengan pertukaran uang sebagai alat tukar, maka barang dan jasa kehilangan nilai simboliknya yang luas dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar objektivitas terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan.
Ketergantungan masyarakat terhadap uang untuk memnuhi kebutuhan hidup menyebabkan berbagai pertukaran jasa yang berkaitan dengan kegiatan produksi diselenggarakan dengan memakai alat tukar berupa uang. Para ahli dapat menunjukkan bahwa revolusi hijau sebagau suatu proses komersialisasi pertanian, telah menghilangkan berbagai institusi tradisional, misalnya derep, dan sambatan yang dijiwai oleh semangan gotong royong.
Bentuk resiprositas pertukaran yang kedua ditunjukkan dari studi resiprositas dalam masyarakat heterogen yang telah mengenal ekonomi uang. Studi Halperin dan Dow menunjukkan bahwa resiprositas terjadi di kalangan masyarakat yang heterogen dan fungsi resiprositas antar kelompok yang berbeda yaitu pemilik peternakan dengan penggembala, atau tuang tanah dengan penyewa tanah, ternyata menguntungkan elite atau patron dalam kelompok tertentu.
Beberapa penelitian antropologi telah mengungkapkan bahwa invertasi ekonomi uang ke dalam sistem ekonomi tradisional tidak slalu menghilangkan eksistensi tata nilai lama. Boeke, tentang dualisme ekonomi di Indonesia memperlihatkan bahwa pertarungan antara sektor modern dan tradisional tidak dimenangkan oleh satu pihak pun. Dualisme pertukaran kemudian terbentuk mengingat pertarungan antarpertukaran modern dan pertukaran tradisional menempati sektor yang berlainan atau sama-sama kuat sehingga menghasilkan suatu bentuk pertukaran yang ambivalen yaitu satu sisi memperlihatkan prinsip-prinsip pertukaran dalam ekonomi pasar dan sisi lain ekonomi tradisional. Prinsip kekeluargaan dan kesetiakawanan merupakan bukti bahwa resiprositas lebih manusiawi daripada pertukaran pasar.
3. Redistribusi
Redistribusi merupakan salah satu konsep pertukaran yang penting di dalam leteratus anrtopologi ekonomi. Redistribusi merupakan bentuk kerja sana individu-individu anggota suatu masyarakat atau suatu kelompok dalam memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki atau kuasai. Kerja sama tersebut berkaitan dengan masalah-masalah meingkatkan kesejahteraan masyarakat atau kelompok dan upaya individu-individu tertentu untuk berperan dalam kemlompok. Diskusi redistribusi tidak lepas dari dua masalah kepentingan kelompok atau kepentingan pribadi dan juga dapat mengacu pada pembahasan tentang bentuk dan peranan model redistribusi yang dapat menentukan dinamika ekonomi dalam masyarakat.
Dalam masyarakat nonindustri, di mana terdapat surplus yang cukup besar sehingga dapat menopang adanya pemerintah, pendapatan akan mengalir ke dalam kantong pemerintah dalam bentuk upeti, pajak dan hasil rampasan dalam peperangan. Pendapatan itu kemudian akan didistribusikan lagi. Sang kepala atau raja mempunyai tiga alasan untuk membagi-bagikan pendapatan itu: pertama untuk mempertahankan superioritasnya dengan memamerkan kekayaan, kedua untuk menjamin kehidupan yang memadai bagi mereka yang mendukungnya, dan ketiga untuk membentuk persekutuan di luar daerahnya.
Administrasi kerajaan Inca di Peru adalah salah satu yang efisien yang pernah terdapat di dunia, baik dalam hal pengumpulan pajak maupun metoda pengawasannya. Ada data sensus tentang penduduk dan sumber daya. Ada pungutan-pungutan yang berupa barang, dan yang lebih penting, yang berupa jasa. Setiap pengrajin harus membuat sejumlah barang tertentu dari bahan yang diberikan oleh para pengawas. Tenaga kerja paksa dapat dimanfaatkan untuk pertanian atau pertambangan. Tenaga kerja paksa juga digunakan untuk menggunakan program pekerjaan-pekerjaan umum, yang meliputi sistem jalan dan jembatan yang mengagumkan melalui daerah yang bergunung-gunung, waduk untuk menjamin persediaan air, dan gudang-gudang untuk meyimpan surplus guna keperluan waktu terjadi kelaparan. Pemasukan dan pengeluaran dihitung dengan teliti. Sebuah birokrasi pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi agar produksi berjalan dan komoditi didistribusikan sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh para penguasa yang mengendalikan pemerintahan.
Redistrusi dilakukan melalui kegiatan pemerintah, hidup golongan yang berkuasa sangat mewah, tetapi apabila diperlukan barang-barang dibagikan juga kepada rakyat banyak. Redistribusi adalah suatu pola distribusi dimana pertukaran tidak diadakan antar individu atau antar kelompok, tetapi sebagian hasil pekerjaan itu disalurkan ke sebuah sumber, yang kemudian dibagi-bagikan lagi menurut petunjuk dari administrasi pusat. Pajak adalah sebuah bentuk redistribusi Amerika Serikat. Rakyat membayar pajak kepada pemerintah, yang sebagian digunakan untuk keperluan pemerintah sendiri, sedangkan sisanya diredistribusikan baik dalam bentuk uang, seperti pembayaran untuk jaminan kesejahteraan atau pinjaman kepada Chrysler Corporation baru-baru ini agar perusahaan itu tidak bangkrut, maupun dalam bentuk jasa, seperti pengawasan atas bahan pangan dan obat-obatan, pembuatan jalan bebas hambatan, dan sebagainya. Agar proses redistribusi itu dapat terlaksana, di dalam masyarakat harus ada sistem organisasi politik yang kompleks dan juga ada surplus ekonomis di samping dan di atas kebutuhan seketika dari rakyat.
Secara sederhana redistribusi merupakan suatu perpindahan barang atau jasa. Perpindahan yang pertama dibedakan Polanyi menjadi perpindahan yang bersifat transaksional (transactional movement) yang terjadi dalam kelompol dan perpindahan yang bersifat diposional (disposional movement) yang terjadi antarkelompok dengan kelompok yang lain. Perpindahan dispisional bersifat sebanding yaitu salah satu pihak memperoleh keuntungan yang lebih daripada yang lain.
Dimensi-dimensi redistribusi
Redistribusi mempunyai dimensi sosial, ekonomi dan politik yang khas yang berbeda dengan resiprositas. Dalam redistribusi, hubungan yang terjadi adalah hubungan antar individu sebagai anggota kelompok. Ada tekanan normatif dari kelompok terhadap kebebasan individu yang menjadi suatu sistem budaya yang diterima apa adanya oleh warga masyarakat.
Sahlils mendefinisikan redistribusi sebagai pooling, yaitu perpindahan barang dan jasa yang tersentralisasi yang melibatkan pengumpulan dari anggota-anggota suatu kelompok kemudian dibagi-bagikan kembali pada anggota-anggota kelompok tersebut. Definisi lain menerangkan sebagai perpindahan barang atau jasa dari pihak yang secara politis berada pada pisisi atas selaku pemegang otoritas ekonomi dan politik dan selanjutnya barang dan jasa tersebut didistribusikan kembali dalam bentuk yang sama atau berbeda.
Kelompok sebagai suatu organisasi selalu ditandai dengan adanya pemusatan wewenang yang diberikan kepada pemimpin atau orang-orang yang ditunjuk. Resdistribusi merupakan perilaku yang terbentuk oleh kelompok maka analisis redistribusi perlu memperhatikan bentuk, ukuran dan struktur kelompok. Ada perbedaan antara pola redistribusi pada komunitas kecil tradisional dengan komunitas petani pada masa kekuasaan feodal, maupun pada masa masyarakat telah mengenal sistem uang.
Hubungan-hubungan sosial antarwarga masyarakat yang terintegrasi oleh kekuatan politik yang sentraliter ini secara implisit mengandung arti bahwa individu-individu dalam masyarakat melakukan suatu aktivitas ekonomi menurut aturan-aturan atau norma-norma yang mengarah pada tindakan untuk kepentingan kolektif dengan cara memusatkan wewenang kepada pihak tertentu. Dikaji dari dimensi ekonomi, redistribusi merupakan pertukaran yang dilandasi motif komersial seperti dalam resiprositas negatif atau pertukaran pasar. Semakin tinggi derajat sentralitas yang mengintegrasikan masyarakat maka semakin potensial bagi tumbuhnya aktivitas redistribusi dalam masyarakat.
Fungsi redistribusi
Fungsi redistribusi sangat kompleks meliputi fungsi politik, sosial, dan ekonomi. Fungsi politik adalah sebagai mekanisme uang untuk mobilisasi kekuatan guna kepentingan-kepentingan politik; mengintegrasikan berbagai kelompok dalam masyarakat sebagai satu keatuan sosial. Melalui aktivitas redistribusi anggota-anggota masyarakat menjadi merasa terkat, berbakti kepada kelompok sehingga terwujudlah solidaritas masyarakat. Para pemprakarsa politik mendaat prestise sosial karena mereka mendapat telah membagikan sebagian dari haryanya atau mengumpulkan barang dan jasa dari masyarakat dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas atau dalih keadilan sosial.
Fungsi sosial redistribusi antara lain mengenai kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial yang memperhatikan bahwa redistribusi berpihak pada golongan yang miskin. Redistribusi dapat berfungsi meningkatkan kesetiakawanan sosial. Ini tercermin semua pihak yang berbeda-beda. Dalam peristiwa banjir atau musibah, siapa pun mendapat bantuang dengan tidak pandang bulu dan siapa pun dari lapisan apapun diminta untuk ikut berpartisipasi memberi bantuan. Fungsi sosial lainnya adalah meningkatkan kesejahteraan umum yang tercermin dari pengumpulan dana masyarakat untuk memperbaiki jalan, jembatan, bangunan suci atau pendidikan dan sebagainya. Di pedesaan, upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan cara gotong-royong (gugur gunung) atau kerja bakti meskipun pada masa kini lembaga tersebut digeser dengan pemakaian tenaga borongan atau upahan.
Fungsi ekonomi beragam, pertama redistribusi merupakan kerja sama ekonomi yang bersifat simbiosis saling menguntungkan. Fungsi ini memperhatikan bahwa ini memperhatikan bahwa kedua belah pihak antara pemegang otoritas dengan masyarakat saling mendapatkan keuntungan yang sama sebanding dari aktivitas redistribusi yang mereka lakukan. Kedua, sebagai kerja sama ekonomi yang bersifat eksploitatif, dimana pihak yang superior mengeksploitasi pihak yang inferior. Ketiga adalah menyelamatkan atau melindungi hasil produksi dari kerusakan yang sia-sia, dimana terjadi pada kasus resiprositas antar warga masyarakat berburu dan meramu. Keempat adalah melindungi anggta masyarakat yang ekonominya lemah yang beraspek keadilan sosial. Bentuk redistribusi ino ditunjukkandari berlakunya pajak kekayaan bagi warga masyarakat yang mampu. Fungsi kelima adalah menjamin konsumsi warga masyarakat yang tidak dapat menghasilkan barang. Keenam adalah menjamin meningkatnya efektifitas usaha produksi. Ketujuh adalah sebagai sarana untuk menabung seperti arisan. Dengan arisan orang dapat menabung secara teratur karena tingkah laku menabung menjadi kewajiban sosial. Dan fungsi kedelapan adalah sebagai mobilitas pertukaran yang biasanya dimaksudkan untuk kepentingan pembangunan ekonomi dan proyek-proyek besar yang direncanakan oleh masyarakat atau negara.
Transformasi redistribusi
Rendahnya teknologi produksi pada masyarakat menyebabkan pnduduknya harus memanfaatkan redistribusi untuk memecahkan masalah ketidakstabilan dalam memperoleh nafkah. Aktivitas redistribusi terkontrol melalui norma-norma kelompok yang diikuti warga masyarakat sebagai kewajiban yang harus mereka patuhi. Dalam komunitas petani yang hidup dalam sistem pemerintahan feodal, redistribusi bentuknya meluas. Petani mempunyai kewajiban-kewajiban untuk menyerahkan hasil panen dan sebagian tenaganya untuk membiayai kegiatan pemerintahan. Fungsi penguasa adalah pengumpul dana masyarakat yang dipakai untuk membangun infrastruktur negara, kesejahteraan umum, serta kebesaran kerajaan.
Redistribusi pada masyarakat sederhana semakin tidak efektif kalau dalam masyarakat tersebut berkembang sistem ekonomi uang yang mampu mengintegrasikan komunitas-komunitas petani menjadi bagian dari sistem ekonomi nasional dan global. Loyalitas petani beralih pada pihak-pihak yang memungkinkan ia memperoleh uang. Sebaliknya komunitas petani yang menyelenggarakan redistribusi semakin tidak mampu mengintegrasikan warga masyarakatnya ke dalam sistem ekonomi tertutup yang mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan warganya.
Pudarnya redistribusi di tingkat lokal diganti dengan tingkat nasional. Dalam sisten feodal, redistribusi dalam bentuk kewajiban anggota masyarakat atau pengusaha lokal untuk membiayai kegiatan pemerintah pusat. Pada sistem pemerintahan modern, redistribusi berubah dalam bentuk pajak. Pemerintah mengambil kebijakan menyantuni orang-orang miskin, memberi subsidi kepada usaha skala kecil sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan politik. Dalam kehidupan ekonomi pasar yang memunculkan masyarakat industri, redistribusi dilakukan oleh pengusaha-penguhasa kaya dan tokoh-tokoh politik yang digunakan untuk menjamin kelangsungan masyarakat ekonomi uang dan sistem politik yang berlaku.
BAB V
TEORI SUBTANTIVIS DAN TEORI FORMALIS
Beberapa ahli antropologi berpendapat bahwa tidak banyak pelajaran yang dapat ditarik dari studi tentang ekonomi pasar, dimana yang menjadi motivasi utama adalah keuntungan, kalau kita mempelajari bangsa-bangsa yang mengadakan tukar-menukar tidak untuk memperoleh keuntungan. Posisi ini disebut substantivisme.
Sarjana lain yang mengikuti aliran pemikiran yang dikenal sebagai formalisme, tidak sependapat. Para pengikut aliran formalisme berpendapat bahwa teori ekonomi sebenarnya adalah mengenai cara orang mencari kepuasaan pribadi yang sebesar-besarnya dengan menyimpan barang dan mendistribusikan sumber-sumber daya yang langka. Kalau ini benar, maka teori ekonomi ini cukup umum sehingga dapat diterapkan pada semua masyarakat.
A. Pendekatan Formalis
Antropologi ekonomi lahir pada awal abad ke-20 berkat dilakukannya berbagai penelitian etnografi yang mengfokuskan pada asperk ekonomi masyarakat. Para ahli ekonomi menaruh perhatian pada penelitian etnografi yang fokus pada spek ekonomi. Dan para ahli entropologi berusaha mengembangkan pendekatan penelitian dengan menggunakan teori, konsep dan hukum-hukum ekonomi untuk menjelaskan gejala ekonomi dalam masyarakat promitif atau peasent. Pendekatan tersebut kemudian dikenal dengan pendekatan formalis.
Secara konvensional ilmu ekonomi mengasumsikan bahwa tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan aktivitas ekonomi tersebut. Cook melihat ada enam ciri umum yang membedakan pendekatan formalis dan sibstantif. Pertama, pendekatan ini terkesan dengan kesuksesan ilmu ekonomi neo-klasik dalam merumuskan hukum-hukum ekonomi untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku ekonomin masyarakat Eropa dan luar Eropa pada abad 19 dan 20 yang menggunakan sistem ekonomi pasar.
Hukum-hukum ekonomi menarik perhatian ahli antropologi yang menganut pendekatan formalis, yaitu (1) dalil mengenai gejala ekonomi sebagai fungsi dari kelangkaan sumber daya; (2) tujuan ekonomi bersifat tidak terbatas; (3) ekonomi merupakan suatu pilihan yang ekonomis dari sejumlah sumber daya yang terbatas untuk memenuhi tujuan yang tidak terbatas; (4) berlakunya hukum permintaan dan penawaran dalam proses alokasi barang dan jasa di pasar; (5) berlakunya hukum law of diminishing return dalam proses produksi.
Kedua, pendekatan formal menempatkan antropologi ekonomi sebagai studi tentang hubungan-hubungan sosial tentang proses pemanfaatan sumber daya ekonomi. Pendekatan ini menentukan antropologi ekonomi sebagai usaha untuk mendiskripsikan dan menganalisis cara-cara proses pemanfaatan sumber daya ekonomi tersebut dalam berbagai seting kultural.
Ketiga, tujuan pendekatan formal ini adalah umtuk mencapai pemahaman yang akurat tentang keragaman dan kompleksitas tingkah laku sosial yang diobservasi. Pendekatan ini cenderung mengkonstruksi model-model yang bersifat memprediksi tingkah laku yang akan terjadi dalam berbagai seting kultural. Keempat, para penganut aliran ini pada dasarnya bersifat historis. Peneliti tidak akan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang proses perkembangan sistem ekonomi. Pemahaman yang mendalam tersebut akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kurang kuat untuk meramalkan fenomena yang akan terjadi.
Kelima, mempunyai kecenderungan uang kuat dalam menerapkan prinsip-prinsip abstraksi umum (logika deduktif) untuk menganalisis tingkah laku ekonomi pada berbagai seting kulturan yang berbeda. Keenam, aliran ini melihat gejala ekonomi pada tingkah laku individu (personal) dan motif-motif yang mndorong tingkah laku tersebut, sehingga perekonomian dilihat sebagai kumpulan dari pelaku-pelaku tingkah laku dan motif-motifnya.
1. Pandangan umum tentang ekonomi primitif dan peasant
Kesimpulan umum sistem ekonomi masyarakat primitif dan peasant dari pendekatan formalis, pertama, sistem ekonomi masyarakat tersebut mempunyai banyak kesamaan prinsip dasar dengan sistem ekonomi masyarakat Eropa (modern). Perbedaan tingkat terjadi karena tingkat kemajuan peradaban orang Eropa, khususnya bidng ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesamaan dasar antara sistem ekonomi Eropa dengan sistem ekonomi sederhana dapat dilihat dari: (1) mekanisme ekonomi; (2) prinsip ekonomi. Karena sistem ekonomi masyarakat sederhana hanya dilihat dari pendekatan tingkat, bukan jenis maka penganut pendekatan formalis menyarankan perlunya mengaplikasikan teori ekonomi formal untuk mengkaji fenomena ekonomi masyarakat sederhana.
2. Berbagai sudut pandangan penganut pendekatan formalis
Firth menyarankan kepada ahli antropologi untuk menerapkan konsep-konsep ilmu ekonomi untuk mengkaji sistem ekonomi sederhana dan mempelajari tingkah laku individu dalam situasi dimana ia memainkan peran sosial dan berinterakasi dengan sesana kelompok dalam masyarakat. Herskovits menyimpulkan bahwa semua sistem ekonomi mengenal prinsip ekonomiyang sama meskipun wujusnya berbeda-beda, dan prinsip tersebutdalam masyarakat sederhana tidak sekuat dibandingkan dengan masyarakat modern. Porpisil mengatakan bahwa sistem ekonomi orang Kapauku sama dengan sistem ekonomi orang Barat. Wiraswastawan memiliki ciri yang berorientasi untuk melipatgandakan kekeyaan dan motif ini terdapat pada masyarakat Eropa maupun Kapauku yang tergantung dari kemampuan menjalin hubungan jaringan sosial. Manning Nash menerima bahwa tingkah laku memilih dan tingkah laku mencari keuntungan bersifat uniniversal sehingga ia dapat menerima bahwa teori ekonomi neo-klasik dapat diterapkan pada setiap masyarakat. Ia menyimpulkan bahwa proses pengambilan keputusan untuk memilih dalam masyarakat sederhana sangat dikondisikan oleh struktur sosial. Analisis tentang tingkah laku ekonomi dapat dikerjakan dengan cara menyimak serangkaian organisasi sosial dan norma-norma yang menjebatani pilihan-pilihan ekonomi. Ia menekankan bahwa terdapat universalitas gejala ekonomi tetapi dalam mengaji gejala ekonomi, antropologi jengan meniru ahli ekonomi yang langsung mereduksi fakta-fakta empiris ke dalam konsep-konsep ilmu ekonomi formal.
Pilihan ekonomi yang rasional dalam masyarakat petani mengikuti aturan umum pemaksimalan yang sama dengan aktivitas ekonomi dimana saja dan kapan saja tetapu dilain pihak menekankan bahwa studi aturan ekonomi-ekonomi petani tidak perlu dikurung dalam bahasa abstrak analisis ekonomi formal tidak harus kehilangan keuntungan dalam skala kecil dengan mengikuti trend untuk menghargai konsrtuksi pada level model kerangka, universal, dalam ruang dan waktu, untuk keuntungan manipulasi yang luwes, mudah dan meragukan.
Gagasan Nash didukung oleh Cook dan menyatakan bahwa antropologi ekonomi harus mencoba untuk mengkontekstualisasikan fakta-fakta ekonomi dan aktivitas-aktivitas ekonomi terhadap aspek-aspek lain dari sistem sosio-kultural. Berdasarkan hasil penelitian di Ocaxaca, Cook melihat bahwa harga merupakan variabel penting yang menentukan tingkat produksi batu penggiling.
Epstein memperlihatkan bahwa keberadaan pendekatan formalis yang kuat untuk mengkaji masalah-masalah dalam perekonomian primitif, karena pendekatan ini mampu menunjukkan metode analisis ekonomi sesuai dengan data di lapangan. Ia menawarkan bagaimana data tentang aktivitas produksi dikumpulkan dan dianalisis dengan memakai data alikasi waktu untuk menguji konsep ekonomi dalam perekonomian petani.
Alice Dawey mengungkapkan bahwa pasar di Jawa dalam masyarakat agraris merupakan komunitas pedagang yang mempunyai karakteristik kompetitif. Pasar sebagai jaringan sosial dimana anggota-anggotanya membentuk ikatan-ikatan berasas guna dalam seting kulturas setempat. Perkembangan pendekatan formalis ditandai oleh munculnya teknik-teknik pengumpulan data kualitatis sehingga memungkinkan peneliti bisa menarik kesimpulan bahwa teori ekonomi klasik bisa dipakai untuk menjalaskan fenomena ekonomi dalam masyarakat sederhana. Barlett berdasarkan penelitian di India mengungkapkan bahwa petani India mempunyai sistem kalkulasi input-output yang reliabilitasnya relatif sebanding dengan kalkulasi yang dipakai peneliti.
M. J. Herskovits mengkaji masalah akulturasi dan masalah-masalah perubahan kebudayaan pada umumnya. A. Richards meneliti suku bangsa Bemba di Zimbabwe, Afrika Selatan. Penelitian itu mengenai produksi bercocok tanam dalam berbagai musim, pemasaran hasil pertanian, ekonomi, rumah tangga, pemakaian tanah, upacara-upacara penghormatan nenek moyang, yang diuraikan dalam sistem adat istiadat perkawinan dan warisan.
L. Pospisil mengkaji sistem mata pencaharian suku Kapauku di Irian Jaya, yaitu: berladang; beternak babi; menangkap ikan, berburu dan meramu; dan pertukangan, teknologi produksi, organisasi tenaga kerja, distribusi dan konsumsi. Suku Kapauku mempunyai uang tradisional berupa kerang yang dimanipulasi dalam perkumpulan simpan pinjam (tapa) untuk menaikkan gengsi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa dagang dan keberanian untuk mengambil resiko juga dalam mentalitas orang Kapauku yang tidak hanya menyangkut uang dan benda-benda simbolik seperti kerang-kerang dan kalung yang terbuat dari kerang saja, tetapi menyangkut komoditi yang lebih konkret yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, yaitu babi.
3. Kritik terhadap pendekatan formalis
Kelemahan pendekatan formalis terletak pada pengujian di lapangan yang tidak memberi jawaban mengapa banyak kegagalan pembangunan ekonomi di negara bekembang dan terjadinya penyimpangan arah pengembangan ekonomi. Ia mengabaikan dimensi sejarah perkembangan ekonomi.
B. Pendekatan Substantif
Penekatan substantif lebih manaruh perhatian terhadap upaya untuk menghasilkan teori-teori baru yang lebih cocok dengan maslah di lapangan. Para penganutnya tidak lagi berurusan dengan konsep ekonomi formal tetapi ekonomi substantif yang melihat gejala ekonomi dari proses pemberian makna yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi.
Pendekatan substantif menempatkan perekonomian sebagai rangkaian dari aturan-aturan dan organisasi sosial dimana genomena ekonomi dalam masyarakat terikat pada sistem pranata dan norma-norma yang sama. Konsepsi ini menempatkan individu sebagai pihak yang pasif dalam aktivitas ekonomi karena ekonomi sebagai sustu sistem menentukan bagaimana individu bertingkah laku. Cara pandang penganut susntantif tersebut tampak bahwa mereka mengabaikan gejala perubahan ekonomi dalam masyarakat. Norma-nornma ekonomi tidka dipandang sebagai tujuan yang harus dicapai dengan mematuhi, tetapi sebagai alat dan kalau alat tersebut tidak mendatangkan keuntungan maka akan diganti dengan alat lain.
Pandangan subtantif mengenai fenomena ekonomi yang memandang individu bersifat statis juga kurang dapat diikuti. Pandangan ini mempunyai kesejajaran dengan konsep kebudayaan yang melihat bahwa manusia menerima kebudayaan sebagai sesuatu yang diterima begitu saja. Kalau gejala kebudayaan dipandang dari tingkat individu maka akan terlihat bahwa tidak semua individu mempunyai respon yang sama terhadap sistem sosial budaya yang membelanggu kehidupan ekonomi mereka. Penganut aliran ini berpendapat bahwa antropologi ekonomi lebih baik ditempatkan dalam kerangka studi sistem ekonomi komparatif yang cakupannya meliputi deskripsi dan analisis semua sistem ekonomi, baik sistem ekonomi industri dan praindustri.
Disiplin antropologi sebagai induk antropologi ekonomi yang mengibarkan pentingnya studi komparatif untun menarik generalisasi empiris pun mengalami kesulitan karena studinya berurusan dengan penggunaan konsep lintas budaya. Pendekatan ini cenderung berusaha membuat tipologi sistem ekonomi. Aliran ini pada dasarnya bersifat historis dengan cirri pertama mengandung arti bahwa dalam mengkaji suatu perekonomian, pendekatan ini cendereung melihat gejala ekonomi sebagai proses dari gejala sebelumnya dan gejala yang terjadi pada masa sekarang akan mempengaruhi gejala-gejala yang akan terjadi pada masa mendatang.
Sifat relativistik terlihat bahwa sistem ekonomi suatu masyarakat merupakan bagian integral dari kebuydaan masyarakat. Siaft ini melihat tingkah laku ekonomi sebagai ketergantungan antara manusia dengan alam sekitas dan sesamanya yang menyebabkan orang melakukan aktivitas produksi dan pertukaran. aliran substantive melihat perekonomian sebagai proses pemberian makna mtrerial. Konsepsi ini mengarahkan peneliti untuk melihat gejala ekonomi pada pikiran-pikiran yang mendasari terhadap terwujudnya barang dan tingkah laku tersebut.pendekatan ini memperhatikan struktur, fungsi, dan makna simbolik dari pranata, tingkah laku dan organisasi sosial secara langsung berhubungan dengan aktivitas ekonomi.
Aliran ini menganalisis ekonomi sebagai studi tetapi perhatian penganut alira substantive juga mencakup di luar ekonomi dalam arti harfiah, karena mencakupaspek-aspek sosial cultural yang terkaoi dengan perilaku ekonomi.
1. Pemikiran Antropologi Ekonomi Subtantivisme
Polanyi menbedakan dua macam kajian dalam ilmu sejarah ekonomi yaitu kajian proses-proses ekonomi termasuk kekayaan, ternologi dan peralatan, dan yang kedua adalah kajian pranata-pranata dan organisasi dari aktivitas ekonomi dari suatu masyarakat tertentu. Terdapat dua subgolongan yakni yang memeperhatikan motivasi, sikap, dan mentalitas orang dalam melakukan aktivitas ekonomi, dan yang kedua adalah golongan yang memperhatikan perilaku manusia serta aspek operasional dari aktivitas ekonomi. Polanyi kemudian mengembangkan konsepsi mengenai tingkatan evolusi sistem ekonomi, yakni (1) reciprocity (asas timbal balik); (2) redistribusi; an (3) market exchange.
Reciprocity yaitu memproduksi guna memenuhi kebutuhan sendiri, masyarakat kecil dan terisolir yang madiri, berlangsung antar kerabat. Redistribusi terdapat pada masyarakat early empires (kerajaan kuno), rakyat memproduksi untuk diri sendiri dan kerajaan untuk diperdagangkan yang hasilnya untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan market exchange adalah sistem ekonomi baru dan berkembang dalam kerajaan-kerajaan Eropa Barat. Dalam sistem ini kekuatan pendorong disebabkan kebutuhan manusia akan komoditi serta barang-barang langka & penawaran yang terbatas terhadap barang tersebut. Polanyi menyatakan adanya tingkat-tingkat peralihan, di mana masih ada sistem ekonomi berdasarkanatas timbal-balik disamping sistem ekonomi berdasarkan berdasarkan atas redistribusi, atau ketiga sistem itu masih berdampingan.
Ahli subtantivis lainnya adalah H.J Boeke. Ia mengkaji masalah kemiskinan di Indonesia berdasarkan pendekatan subtantivisme. Ia berpendapat bahwa kemiskinan rakyat Indonesia, khususnya di Jawa karena dieksploitasi dan diperas oleh penjajah bukan satu-satunya sebab. Ia menyatakan bahwa seandainya pemerasan terhadap rakyat dapat dihentikan, ekonomi tetap tidak akan maju. Pendapat ini terpengaruh dari pemikitran liberalisme yang berpendapat bahwa manusia yang ingin maju harus bekerja dan bejuang dengan keras, dan karena semua manusia mempunyai hak yang sama maka banyak orang bersaing untuk maju. Dan dalam persaingan itu hanya yang kuat saja yang akan menang dan maju. Menurut Boeke, kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan karena kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi.
Mentalitas rakyat Indonesia: (1) rasa puas akan kebutuhan terbatas; (2) lebih mementingkan gensi dan pengakuan sosial daripada kebutuhan ekonomi; (3) takut mengambil resiko; (4) tidak adanya motivasi untuk mencari keuntungan materi; (5) tidak berdisiplin dan tidak ketat dalam tempat dan waktu; (6) tidak mampu berorganisasi; dan (7) enggan menimbun modal. Mentalitas tersebut merupakan akibat kurangnya pendidikan rakyat Indonesia pada umumnya, yang sebagian besar masih hidup di pedesaan, selain itu mentalitas tersebut sulit dirubah terutama karena kekuatan sistem ekonomi Eropa mengganggu keseimbangan sosial dari komuniti pedesaan di Indonesia. Masuknya otonomi desa kerena pengaruh pemerintahan pusat, eksploitasi penduduk desa bagi keperluan perusahaan-perusahaan Belanda dan melebarnya jurang antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Untuk itu dia mengusulkan untuk melepaskan masyarakat pedesaan dari campur tangan pemerintahan pusat dan pengaruh ekonomi luar serta harus diberi kesempatan untuk berevolusi sendiri dengan potensi-potensi yang ada pada mereka sendiri.
Pendirian Boeke berubah lebih dari 20 tahun kemudian. Pendiriannya yang baru adalah “dualisme ekonomi” harus hilang yang dapat dilakuakan dengan cara membuang sistem kapitalisme asing dari Indonesia dam mencambuk seluruh masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Indonesia baru. Ia menganggap komunimes yang dapat menolong masyareakat Indonesia.
Sistem Ekonomi Boeke
PRAKAPITALIS
KAPITALISME
KOMUNISME
Tidak meratanya umat manusia dinggap takdir alamiah
Meratanya umat manusia dianggap sebagai takdir alamiah, tetapi tidak meratanya adalah akibat kekuatan ekonomi
Meratanya umat manusia dianggap sebagai takdir alamiah, tetapi tidak meratanya diakibatkan pengaruh struktur politik
Mentalitas cepat menyerah pada nasib
Mentalitas berusaha melawan nasib
Mentalitas orientasi vertikal dan tanggung jawab atasan
Mentalitas orientasi bebas
Mentalitas orientasi vertikal dan tanggung jawab atasan, disiplin sosial ketat
Penentuan dari pusat atau atas, tanggung jawab atasan dan gotong royong
Demokrasi, tanggung jawab pribadi
Penentuan dari pusat, tanggung jawab dati pusat atau atasan
Memuaskan kebutuhan dasar
Memuaskan kebutuhan pribadi
Memuaskan kebutuhan umum
Tradisional, anti perubahan
Rasional, mementingkan pribadi individualisme
Kolektif, mememtongkan epentingan umum
Kommmunalisme
Individualisme
Sosiallisme
Ekonomi bagian dari kehidupan agama
Ekonomi sekuler terpisah dari agama
Agama tidak penting
Bekerja adalaj aktivitas terpaksa yang tidak menyenangkan
Bekerja memberi kepuasan dan makna pda hidup
Bekerja demi kesejahteraan umum
Nilai-nilai pedesaan dan tradisional dipentingkan
Nilai-nilai perkotaan dan modern dipentingkan
Nilai-nilai pedesaan dan tradisional harus dibuang
Hubungan majikan-buruh berasas kekeluarhaan
Hubungan majikan-buruh berdasarkan kontrak dan asas guna
Pekerja dalah ahli masyarakat
Kebutuhan sosial bagi individu lebih penting daripada kebutuhan ekonominya
Kebutuhan ekonomi bagi individu lebih penting daripada kebutuhan sosialnya
Kebutuhan kolektif lebih penting daripada kebutuhan sosial maupun ekonomi individu
ORGANISASI
PRAKAPITALISME
KAPITALISME
KOMUNISME
Organisasi adat berdasarkan asas kekeluargaan
Organisasiberkooperatif berdasar atas individualisme
Organisasi komunal berasaskan pengaturan dari atas
Organisasi produksi oleh satuan kekerabatan
Organisasi produksi oleh perusahaan swasta
Organisasi produksi oleh negara
Asas solidaritas kekeluargaan
Asas solidaritas fungsional
Asas solidaritas komunal
Batas organisasi lokal
Batas organisasi lokal, nasional atau internasional
Batas organisasi nasional
TEKNOLOGI
Sederhana, cukup untuk kebutuhan keluarga
Maju, menurut kebutuhan pasar
Maju, menurut kebutuhan yang direncanakan oleh negara
Peredaran uang terbatas
Peredaran uang tidak terbatas
Peredaran uang diatur oleh negara
Kerja tangan
Mekanisasi
Mekanisasi
Geertz memberikan kritik pada pemikiran Boeke mengenai penyebab kemiskinan rakyat Indonesia diakibatkan mentalitas ekonomi Indonesia yang “statis” dan kebijaksanaan ekonomi kolonial belanda menyebabkan kemiskinan rakyat dan timbulnya mentalitas statis dan apatis terhadap kemajuan.
2. Pandangan umum tentang ekonomi “primitif” dan peasant
Kesimpulan umum yang ditarik penganut pendekatan ini adalah: pertama, bahwa dalam perekonomian primitif dan peasant tidak ada lembaga yang secara eksklusif hanya melakukan aktivitas ekonomi. Kedua, menyimpulkan bahwa aturan-aturan dari organisasi ekonomi pada perekonomian masyarakat sederhana berbeda dengan sistem ekonomi modern. Teori-teori dan konsep ilmu ekonomi tidak dapat diterapkan untuk mengkaji sistem ekonomi sederhana. Ketiga, perbedaan jenis antara sistem ekonomi sederhana dengan modern terletak pada mekanisme ekonomi, institusi atau lembaga ekonomi, dan prinsip ekonomi.
3. Sudut-sudut pandangan penganut pendekatan substantif
Malinowski menemukan bahwa pertukaran benda berharga berupa kalung dan gelang pada penduduk Kepulauan Trobriand tidak didasari oleh motif ekonomi melainkan oleh motif sosial yang berfungsi membina hubungan sosial yang tinggi nilainya. Pertukaran tersebut merupakan aktivitas ritual, jauh dari aktivitas mencari keuntungan
Golman menyimpulkan bahwa motif-motif ekonomi dalam melakukan aktivitas kredit sederhana hanya bersifat incidental yang ditunjukkan dengan fakta bahwa orang melakukan potlatch dengan maksud mendapatkan prestise sosial dengan cara merudak harta milik dan memberi malu pada musuh bebuyutan serta memberi harta miliknya kepada mereka.
Menurut Polanyi, pembangunan pendekatan ini, sistem ekonomi pasar didominasi oleh pertukaran pasar,sedangkan sistem ekonomi tradisional dan peasent didominasi sistem pertukaran resiprositas dan redistribusi pasar. Ciri-ciri pertukaran yang memakai prinsip pasar yakni: (1) memakai uang sebagai alat mengukur barang atau jasa yang dipertukarkan; (2) memakai harga yang diatur oleh hukum permintaan dan penawaran; (3) aktivitas ekonomi yang didominasi oleh tujuan-tujuan mancaru keuntungan sebanyak mungkin dari sumber daya yang tersedia. Pertukaran yang memakai prinsip resiprositas dan redistribusi merupakan pertukaran yang tidak bermakna ekonomis dan tujuan mencari keuntungan komersial, tetapi bermakna sosial, yaitu membina kepentingan dan solidaritas sosial.
Sahlins melihat bahwa yang membedakan perekonomian barat dengan masyarakat tradisional atau petani terletak pada sistem pertukaran. dalam masyarakat sederhana tidak ada alat pertukaran yang secara umum dapat diterima setiap orang dalam masyarakat itu. Kegunaan uang sangat terbatas sebagai alat tukar maka sudah barang tentu orang tidak dapat melakukan pilihan-pilihan yang bersifat ekonomis.
Menurut Dalton, semua sistem ekonomi mempunyai ciri yang sama yaitu pertama adanya organisasi yang berstruktur beserta aturan-aturannya yang menjamin tersedianya benda material dan jasa secara terus-menerus. Tugan antropologi adalah memahami organisasi dan aturan-aturan tersebut. Kedua, adanya mekanisme ekonomi seperti uang, dan ketiga adanya kerjasama antara individu dan penggunaan teknologi.
Clifford Geertz dalam buku Penjaja dan Raja melihat bahwa motivasi kewiraswastaan di kalangan santri di Mojokuto, tidak didasari oleh kepentingan bisnis tetapi oleh kesadaran golongan santri untuk mendapatkan gengsi sosial dalam masyarakat. Dalam buku Inovasi Pertanian Clifford Geertz menyimpulkan bahwa petani Jawa bukan petani komersial tetapi petani yang mengusahakan pertaniannya untuk menyambung hidup. Kecenderungan petani Jawa mempertahankan solidaritas komunitas dengan mengorbankan keuntungan usaha taninya merupakan indikasi bahwa petani bukan merupakan kelas kapitalis.
Chayanov memandang bahwa teori ekonomi Barat tidak dapat diaplikasikan untuk mengkaji sisten ekonomi petani, karena dalam sistem ekonomi petani tidak dikenal kategori uang dan tenaga buruh. Menurutnya pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani adalah melihat rumah tangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit konsumsi. Ia menyimpulkan bahwa perilaku produksi dalam usaha tani subsisten, tidak dipengaruhi oleh pasar melainkan oleh tingkat kebutuhan konsumsi rumah tangga petani.
Rondha Helperin dan James Dow mengkaji dimensi-dimensi pendekatan substantive ke menjadi tiga dimensi yaitu dimensi teknologi, dimensi sosial dan dimensi cultural. Ketiganya menentukan keunikan dari sistem ekonomi suatu masyarakat atau kelompok. Dalam membahas resiprositas dan distribusi sebagai konsep yang lazim dipakai untuk menerangkan gejala ekonomi pada masyarakat tradisional, James Dow menemukan bahwa konsep tersebut perlu dimodifikasi. Resiprositas terjadi dalam setting masyarakat yang relative homogen. Dalam studinya terdapat kasus yang menunjukkan bahwa resiprositas juga masih hidup di masyarakat yang sedang berkembang.
C. Topik-Topik Antropologi Ekonomi
Ada beberapa topik dalam antropologi ekonomi yang pernah dikaji oleh para ahli. Di antaranya Firth dan Yamey, membahas mengenai tabungan, modal, serta penggunaan kredit berbagai masyarakat di dunia. Firth membahas masalah teori mengenai hubungan antropologi dengan ekonomi, mentalitas ekonomi, asas tukar-menukar dalam ekonomi nonindustri, konsep jaringan sosial untuk analisis sistem ekonomi, membuat keputusan dalam usaha ekonomi. Herskovits dan Horwitz, mengenai modernisasi ekonomi suku bangsa Afrika. Dalton, membahas pranata-pranata sosial menurut konsepsi ilmu ekonomi masa kini. LeClair dan Schneider, membahsa kasus mas kawin suku bangsa Sanjo. Dan Van Der Pas, membahas pasar sebagai tempat yang konkret terjadi transaksi dan pertukaran komoditi.
BAB VI
MASALAH KEMISKINAN
DAN PERKEMBANGAN EKONOMI
A. Pengertian Kemiskinan
Konsep kemiskinan mempunyai pengertian yang luas. Salah satu pengertian kemiskinan adalah seperti dikemukakan oleh Parsudi Suparlan. Menurut Parsudi Suparlan (1982: 290 – 293) kemiskinan secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu standard tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standard kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standard kehidupan yang rendah tersebut nampak langsung pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Kemiskinan terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia, dintaranya adalah aspek sosial dan ekonomi. Aspek sosial yang dimaksud adalah adanya ketidaksamaan sosial di antara sesama warga masyarakat yang bersangkutan yang bersumber pada perbedaan dalam hal asal daerah dan asal sukubangsa, ras, jenis kelamin dan usia; yang bersumber pada corak dari sistem pelapisan sosial dan sistem pendistribusian kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut, dan karena adanya pengharapan-pengharapan sosial yang berbeda-beda di antara warga masyarakat (yang mempunyai hubungan timbal balik dengan pola-pola kebudayaannya). Sedangkan yang dimaksud aspek ekonomi adalah adanya ketidaksamaan di antara sesama warga masyarakat dalam hak dan kuajiban yang berkenaan dengan pengalokasian sumber-sumberdaya ekonomi.
Dalam buku Strategi Penanggulangan Kemiskinan (SPKN) Draf I 2004 kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan berpartisipasi dalam bermasyarakat secara ekonomi, sosial budaya dan politik. Pengertian ini melihat kemiskinan bersifat multidimensi yang mencakup kemiskinan insani dan martabat. Konsep kemiskinan multi dimensi melihat kemiskinan menjadi beberapa kategori yaitu kemiskinan pendapatan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, ketimpangan struktur usaha, ketidakberdayaan, penyandang masalah kesejahteraan sosial, kondisi pembangunan manusia, ketimpangan jender, dan kesenjangan antar golongan serta wilayah.
Kedua pengertian tersebut ada perbedaan dan persamaannya. Parsudi Suparlan menunjuk kemiskinan pada dasarnya dari segi kemiskinan ekonomi tetapi dapat mewujud dalam berbagai bidang kehidupan lainnya termasuk kesehatan, pendidikan, spiritual dan sebagainya. Batasan pada buku SPKN melihat kemiskinan secara multidimensi yang diantaranya dilihat dari segi pendapatan, di samping kemiskinan pada bidang-bidang kehidupan lainnya. Parsudi melihat dari satu titik yaitu ekonomi tetapi kemudian menyebar pada titik-titik yang lain yaitu kesehatan, pendidikan dan bidang kehidupan lainnya, sedangkan buku SPKN (Strategi Penanggulangan kemiskinan Nasional) melihat kemiskinan menyebar pada banyak titik berbagai bidang kehidupan. Persamaannya, keduanya menunjukkan kemiskinan itu suatu kondisi yang ditimbulkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan antara satu dan yang lain.
Pemahaman terhadap pengertian kemiskinan suatu masyarakat diperlukan tolok ukur. Dengan tolok ukur ini maka mereka yang tergolong sebagai orang miskin atau yang berada dalam taraf kehidupan yang miskin dapat dikelompokkan sebagai suatu golongan yang dibedakan dari mereka yang tergolong tidak miskin. Kemiskinan pendapatan atau ekonomi tolok ukur yang umum dipakai adalah yang berdasarkan atas tingkat pendapatan perwaktu kerja ( di Amerika digunakan waktu satu tahun sebagai waktu kerja, sedang diIndonesia digunakan ukuran waktu kerja satu bulan). Dengan tolok ukur tersebut maka jumlah dan orang yang tergolong sebagai orang miskin dapat diketahui untuk dijadikan sebagai kelompok sasaran yang diperangi kemiskinannya.
Tolok ukur yang lain adalah dinamakan tolok ukur kebutuhan relatif perkeluarga, yang batasan-batasannya dibuat berdasarkan atas kebutuhan minimal yang harus dipenuhi guna sebagai keluarga dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Tercakup dalam tolok ukur kebutuhan relatif perkeluarga ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang berkenaan dengan biaya sewa rumah dan mengisi rumah dengan peralatan rumah tangga yang sederhana tetapi memadai, biaya-biaya untuk memelihara kesehatan dan pengobatan, biaya-biaya menyekolahkan anak, dahn biaya untuk sandang yang sewajarnya dan pangan yang sederhana tetapi mencukupi dan memadai.
Tolok ukur yang telah dibuat dan digunakan di Indonesia untuk menentukan besarnya orang miskin adalah adalah batasan tingkat pendapatan perwaktu kerja; dan di samping itu juga tolok ukur berdasarkan batas minimal jumlah kalori yang dikonsumsi yang diambil persamaannya dalam beras.
Tingkat kemiskinan penduduk berdasarkan pendapatan diukur dari pengeluaran kebutuhan dasarnya. Indikator yang digunakan untuk menyatakan kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar adalah Head Count Index (HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Selain HCI, indikator lain yang digunakan dalam mengukur kemiskinan adalah Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index – 1) dan Indek Keparahan Kemiskinan (Distributional Severity Indekx – P2). P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin, sedangkan P2 menggambarkan tentang penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin dan intensitas kemiskinan.
Penggunaan tolok ukur akan mempengaruhi jumlah dan orang yang digolongkan menjadi orang miskin. Oleh karena itu ketepatan tolok ukur sangat penting untuk diperhatikan kesempurnaannya. Di samping tolok ukur yang juga penting adalah ketrampilan menggunakan tolok ukur dari petugas pendataannya. Jika petugas pendataannya tidak mampu menerapkan secara benar maka data kemiskinan yang diperoleh menjadi tidak tepat pula.
Dilihat dari jenisnya kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural terjadi apabila hubungan-hubungan kerja/usaha antar kelompok masyarakat dalam sistem sosial yang lebih luas melahirkan pola ketidakmerataan dalam mendapatkan sumber-sumber ekonomi dan ketidakadilan dalam pembagian pendapatan. Misalnya, sebagian masyarakat memperoleh kesempatan yang besar dan yang lainnya tidak mendapatkan atau hanya sedikit saja.
Selo Soemardjan menjelaskan bahwa kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu gologan masyarakat karena struktur sosial menyebabkan masyarakat tertentu tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Hal itu dapat terjadi karena kebijakan pemerintah atau penguasaan lahan pertanian oleh pemilik modal kuat. Kebijakan pemerintah misalnya dalam mengatur kenaikan harga barang-barang yang menyebabkan inflasi sehingga banyak warga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu mereka terpaksa menjual tanah yang mereka miliki dan lama kelamaan tanah yang mereka punyai menjadi semakin sempit.
Golongan yang termasuk miskin karena faktor struktual terdiri atas petani yang tidak memiliki lahan sendiri, petani lahan sempit, buruh yang tidak terpelajar dan tidak terampil serta pengusaha kecil/mikro tanpa fasilitas modal dan perlindungan dari pemerintah. Golongan masyarakat tersebut sering dikenal dengan istilah golongan ekonomi lemah.
Golongan masyarakat miskin karena struktural banyak yang menyadari mereka berbeda dari golongan masyarakat yang kaya. Mereka juga ingin membebaskan diri dari kemiskinan yang diderita. Namun hanya individu yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata saja yang dapat meningkatkan taraf hidupnya dan keluar dari kemiskinan.
Perhatian pada masalah kemiskinan struktural menurut Selo Soemardjan (1980:4) meningkat pada saat negara-negara maju yang memberi bantuan dana untuk mengatasi masalah kemiskinan di negara-negara berkembang tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Dana untuk menanggulangi kemiskinan hanya sedikit yang sampai kepada golongan masyarakat miskin, sebaliknya dana tersebut banyak diperoleh golongan masyarakat kaya. Hal itu menjadikan negara-negara donor meminta negara-negara yang memerlukan bantuan agar membuat program-program pemberian bantuan yang langsung dapat diterima oleh golongan miskin dalam bentuk bantuan untuk kebutuhan pokok.
Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang dikaitkan dengan nilai-nilai dan cara hidup kelompok masyarakat yang bersangkutan. Ada beberapa ahli yang menjelaskan kaitan antara kemiskinan dengan kebudayaan suatu masyarakat, antara lain Roger M.Keesing (1992:208). Ia menjelaskan bahwa dalam pandangan sarjana Barat yang “liberal” akar kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga adalah: (1) Organisasi sosial, nilai dan adat kebiasaan “tradisional” bersifat konservatif menghambat perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan sosial membutuhkan berkembangnya inisiatif individual, keberanian dalam pengambilan resiko, inovasi dan kebebasan ikatan kekerabatan atau kewajiban-kewajiban menurut adat; (2) sering terjadi perselisihan dan pertentangan antarsuku; dan (3) Di daerah pedesaan masyarakatnya terbelenggu dalam sistem pemilikan tanah dan teknik budidaya yang terbelakang, sangat berorientasi pada subsistensi dan tidak dapat mencapai intensifikasi produksi karena organisasi masyarakatnya berskala kecil, tidak efisien dan tradisional. Orientasi tradisional dan penduduk yang besar menyebabkan masyarakat tidak dapat berkembang perekonomiannya, gagal menghimpun menghimpun modal dan melakukan ekspor yang diperlukan dalam pengembangan ekonomi.
Menurut Parsudi Suparlan (1982:296-297) bahwa faktor kultur penyebab kemiskinan dalam pandangan beberapa ahli adalah orang-orang miskin memiliki cara hidup malas, tidak tekun, tidak mempunyai konsepsi hari esok, tidak punya motivasi, dan bersikap menerima nasib yang ada. Pendapat tersebut terutama dilihat dari sudut pandang orang-orang yang tidak miskin kepada orang-orang miskin.
Pendapat tersebut, menurut Parsudi Suparlan memang ada benarnya, namun perlu diketahui pula mengapa mereka memiliki cara hidup seperti itu. Menurut Parsudi Suparlan cara hidup mereka sebenarnya merupakan adaptasi dengan lingkungan hidup dan situasi kemiskinan yang mereka hadapi agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pendapat bahwa pola-pola hidup dan tindakan orang-orang miskin merupakan cara hidup orang miskin mempertahankan kelangsungan hidupnya sebenarnya menurut Parsudi Suparlan telah dikemukakan oleh Oscar Lewis. Cara hidup orang miskin menurut Oscar Lewis telah menjadi dasar lahirnya kebudayaan kemiskinan. Kebudayaan kemiskinan tersebut kemudian antara lain melahirkan suatu sikap menerima nasib dan meminta-minta atau mengharapkan bantuan sedekah. Menurut Oscar Lewis kebudayaan kemiskinan merupakan tindakan rasional sesuai dengan keadaan masyarakat miskin agar dapat mempertahankan hidupnya Cara hidup seperti itu kemudian diwariskan kepada generasi yang lebih muda sehingga menjadi lestari dalam masyarakat.
Sebagian lagi ahli memandang kemiskinan terkait dengan sistem hubungan internasional. Melalui tulisannya, H.S. Dillon dan Hermanto (1993:11-22) membahas tentang pandangan para ahli pembangunan dunia mengenai sebab terjadinya kemiskinan di negara-negara berkembang, evolusi pandangan tersebut sesuai perkembangan ekonomi dunia, dan upaya internasional untuk mengatasi kemiskinan di negara-negara berkembang. Mereka juga membahas fenomena ketimpangan antarnegara sebagai suatu fenomena kemiskinan di dunia. Selain itu dibahas pula konsep kemiskinan dan karakteristik kemiskinan.
Pada akhirnya dapat ditarik suatu pelajaran dari pengalaman di dunia untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Selanjutnya mereka membahas landasan konseptual penyusunan alternatif kebijakan agar program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemnerintah berdayaguna.
HS Dillon dan Hermanto mengemukakan pandangan tentang konsep kemiskinan. Pada mulaya hal itu dikaitkan dengan penjajahan yang menguras kekayaan negara terjajah sehingga negara terjajah masyarakatnya menjadi miskin. Setelah negara terjajah meredeka penyebabnya berubah karena ketidakadilan dalam hubungan perdagangan anatar negara-negara maju dan berkembang, yaitu keuntungan yang lebih besar diperoleh negara maju. Hal itu berlanjut hingga terjadinya ketimpangan negara-negara miskin dan kaya di dunia.
Selain itu rekomendasi teori pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan telah mengalami kekeliruan. Pengembangan industri modern yang diharapkan dapat menyerap lapangan kerja dan berorientasi pada ekspor terbukti tidak dapat mendukung perkembangan ekonomi yang lebih maju. Industri modern lebih bersifat padat modal bahan baku impor sering menyebabkan industri tidak mampu bertahan terhadap perubahan-perubahan dalam perdagangan internasional.
Bantuan negara-negara maju yang dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan modal negara-negara berkembang di lain pihak menjadi saluran negara-negara donatur turut mencampuri urusan politik dalam negeri negara-negara berkembang. Di samping itu juga menyebabkan negara-negara berkembang semakin banyak yang terlilit masalah pembengkakan hutang luar negeri.
Pemikiran berikutnya yang muncul adalah perlunya perdagangan bebas. Negara-negara maju dan berkembang melakukan deregulasi agar mencapai pengelolaan sumberdaya yang efisien dan akhirnya menyejahterakan masyarakat.
Perubahan perekonomian dunia saat ini mendorong reorientasi pandangan para pakar terhadap teori pembangunan. Teori yang berkembang saat ini adalah pembangunan perekonomian suatu negara saat ini hendaknya didasarkan atas kebijakan investasi yang dapat menciptakan dampak kegiatan ekonomi eksternal, seperti investasi untuk meningkatkan pendidikan masyarakat dan investasi untuk meningkatkan pendapatan tak langsung seperti sarana fisik jalan. Kebijakan tersebut disertai dengan kebijakan penyebarluasan ilmu pengetahuan serta kebijakan yang memungkinkan mobilitas sumberdaya manusia, modal dan teknologi dalam suatu negara maupun antarnegara.
Namun pandangan tersebut menurut Dillon dan hermanto masih akan diuji. Beberapa negara mulai khawatir jika perdagangan bebas dalam kenyataannya akan memperlebar jurang negara-negara kaya dan negara-negara miskin.
Dalam menjelaskan tentang kemiskinan dan karakteristiknya Dillon dan Hermanto berpendapat ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang memandang kemiskinan sebagai suatu proses dan sebagian lagi sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat.
Dilihat dari segi proses kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumberdaya dan sumberdana secara adil. Faham ini menjelmakan pemirikiran kemiskinan relatif yang sering disebut sebagai kemiskinan struktural.
Pandangan kemiskinan sebagai suatu fenomena dalam masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut. Bank Dunia mendefinisikan konsep kemiskinan absolut sebagai ketidak mampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Namun demikian menurut Dillon sekalipun hal itu menunjukkan pengertian yang beda, kemiskinan relatif dan absolut tak dapat dipisahkan. Oleh karena itu dalam menghitung angka kemiskinan perlu memperhatikan tidak hanya yang termasuk dalam angka kemiskinan absolut tetapi juga yang tergolong kemiskinan relatif. Untuk itu perlu alat ukur yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat miskin.
Berdasarkan kajian Quibria, yang dikutipnya, Dillon menunjukan ada beberapa karakteristik kemiskinan di Asia Selatan dan Tenggara, di antaranya adalah: kemiskinan lebih banyak ditemui di pedesaan, kemiskinan berkorelasi positif dengan jumlah anggota keluarga dan berkorelasi negarif dengan jumlah pekerja dalam satu keluarga, kemiskinan ditandai oleh rendahnya aset keluarga, dan pertanian menjadi sumber penghasilan utama rumah tangga miskin.
Pelajaran penting bagi Indonesia dalam melakukan penanggulangan kemiskinan menurut Dillon dan Hermanto adalah: Pertama, kemiskinan merupakan masalah dunia, yang berarti merupakan masalah kemasyarakatan, yang berarti terkait dengan sistem perekonomian dunia secara menyeluruh; Kedua, kemiskinan merupakan proses dinamis, terkait dengan perubahan politik dan ekonomi dunia; Ketiga, kemiskinan ditandai oleh ketimpangan di antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang yang cenderung akan melebar di masa yang akan datang; Keempat, penanggulangan kemiskinan telah melibatkan dunia internasional, namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan, karena itu jangan hanya bergantung pada bantuan internasional, melainkan harus didasarkan atas kemampuan sendiri dari negara berkembang; Kelima, dalam penanggulangan kemiskinan pengembangan SDM adalah yang paling strategis; Keenam, pengembangan IPTEK juga menjadi pendukung penting dalam penanggulangan kemiskinan karena dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja; Ketujuh, karena penduduk miskin sebagian besar di pedesaan yang hidup dari sektor pertanian maka dalam penanggulangan kemiskinan sektor pertanian memiliki arti yang strategis pula; Kedelapan, posisi Indonsia dalam kaitannya dengan kemiskinan masih tergolong baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain di dunia.
Pemikiran Dillon dan Hermanto tentang pelajaran dalam penanggulangan kemiskinan sangat menarik, dan tampak diwarnai oleh cara berpikir yang bersumber dari teori dependensia atau ketergantungan. Jika dilihat lebih lanjut pemikiran Dillon dan Hermanto dikaitkan dengan kondisi saat ini maka point kedelapan yang sudah kurang tepat.
B. Pemecahan masalah kemiskinan
Kehidupan suatu masyarakat antara lain ditentukan oleh system nilai budaya yang dianut. Sistem nilai budaya merupakan dasar sistem nilai lainnya yang lebih konkret seperti pandangan hidup, ideologi, norma dan hukum. Nilai budaya dan sistem nilai lainnya menjadi pedoman bagi masyarakat dalam melaksanakan berbagai aktivitas kehidupannya. Berbagai masyarakat memiliki sistem nilai budaya yang berbeda-beda. Perbedaan sistem nilai budaya tersebut menjadi salah satu sebab perkembangan masyarakat menjadi berbeda-beda pula. Hal itu dikarenakan sistem nilai budaya suatu masyarakat ada yang bersifat mendorong dan ada yang bersifat menghambat perkembangan kehidupan mereka.
Ahli-ahli dari aliran modernisasi memandang bahwa nilai-nilai tradisional merupakan nilai-nilai yang menjadi penghambat perkembangan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tradisional menyebabkan cara berpikir masyarakat terbelenggu oleh adat instidat tradisional, menghambat kebebasan berinisiatif, tidak memiliki motivasi berprestasi, tidak mendorong semangat kerja keras, hemat, suka berfoya-foya, tidak menghargai perbedaan dan tidak menghargai waktu serta tidak berorientasi ke masa depan.
Untuk memajukan kehidupan masyarakat harus dimulai dari nilai-nilai mereka anut. Max Weber menunjukkan nilai-nilai tersebut seperti yang dikemukakannya sebagai etika Protestan. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai hidup yang mendorong semangat bekerja keras, hidup hemat, dan menabung sebagai panggilan Tuhan. Nilai-nilai seperti tersebut dalam pandangan Robert N Bellah juga terdapat pada masyarakat Jepang, yang dipandangnya bersumber dari Religi Tokugawa (Soewarsono dan Alvin, Y.SO, 1991:38). Clifford Geertz memandang di Jawa sebenarnya terdapat sejenis dengan nilai-nilai Etika Protestan pada masyarakat golongan santri. Golongan masyarakat santri dipandang memiliki semangat kerja keras, hidup hemat dan bekerja merupakan ibadah (Abdullah, 1988).
Nilai-nilai budaya lainnya yang diperlukan adalah mengembangkan orientasi berprestasi yang dikemukakan oleh David MC Clelland. Ia berpendapat bahwa masyarakat yang maju adalah yang memiliki orientasi berprestasi tinggi yang disebutnya dengan istilah Need for Achievment (kebutuhan berprestasi) yang disingkat dengan n-Ach. Ciri manusia yang memiliki orientasi prestasi tinggi antara lain berupa cara hidup yang berupaya meningkatkan kualitas diri dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan menghargai waktu. Ciri lainnya adalah mereka menginginkan kehidupan berikutnya lebih baik daripada masa sebelumnya. Nilai-nilai ini sangat diperlukan bagi bangsa yang ingin maju. Golongan wirausahawan, profesional dan manajer dianggapnya memiliki nilai-nilai berprestasi yang tinggi (Rahardjo,1990:70).
Nilai-nilai budaya lainnya yang penting bagi kemajuan ekonomi masyarakat adalah nilai-nilai yang didasarkan pada pertimbangan ekonomi rasional (rasionalitas ekonomi). Nilai-nilai tersebut menekankan pada efisiensi dalam mencapai produktivitas yang maksimal.
Keterkaitan nilai budaya dan kemiskinan antara lain dikemukakan oleh H.J. Boeke (Koentjaraningrat, 1990:177-180). Ia mengkaji keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Ia menyangkal pendapat bahwa kemiskinan masyarakat Jawa terutama karena penjajahan Belanda. Ia berpendapat jika penjajahan dihentikan sekalipun maka penduduk Indonesia khususnya Jawa akan tetap miskin. Ia berpendapat kemiskinan di Indonesia lebih banyak berhubungan dengan masalah psikis. Boeke dipengaruhi oleh pemikiran liberalisme, yang berpendapat bahwa manusia yang ingin maju harus mau bekerja keras karena semua orang mempunyai hak yang sama maka banyak orang bersaing untuk maju. Dalam persaingan itu hanya yang kuat saja yang akan menang dan maju. Boeke berpendapat bahwa kemiskinan di Indonesia disebabkan karena kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi.
Boeke sebenarnya juga mengakui bahwa kemiskinan rakyat Indonesia (Jawa) sebagian juga disebabkan oleh eksploitasi dan korupsi. namun di samping itu menurut Boeke sebab pokoknya adalah mentalitas rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa yang memiliki ciri sebagai berikut: (1) dihinggapi rasa puas dengan kebutuhan yang terbatas; (2) lebih mementingkan gengsi dan pengakuan sosial daripada kebutuhan ekonomi; (3) takut mengambil resiko; (4) tidak adanya motivasi untuk mencari keuntungan materi; (5) tidak berdisiplin dan tidak ketat dalam hal tempat dan waktu; (6) tidak mampu berorganisasi; dan (7) enggan menimbun modal.
Boeke berpendapat mentalitas tersebut akibat kurang pendidikan rakyat Indonesia. mentalitas tersebut sulit diubah karena gangguan sistem ekonomi Eropa tehadap keseimbangan sosial komuniti pedesaan di Indonesia. Jalan keluarnya menurut Boeke mula-mula masyarakat Indonesia harus diberi kesempatan untuk berevolusi sendiri dengan potensi-potensi yang ada pada mereka.
Pendapat yang senada tentang hambatan nilai budaya Indonesia khususnya Jawa dalam kaitannya dengan perkembangan masyarakat dikemukakan oleh Jochen Roepke. Ia menjelaskan kaitan yang lebih umum antara perkembangan ekonomi di Indonesia (Jawa) dan kondisi sosial budaya. Penjelasan Roepke sebenarnya bukan berfokus pada kemiskinan. Ia berpendapat bahwa perkembangan kehidupan ekonomi memerlukan ada kebebasan usaha dan inovasi. Kebebasan diperlukan dalam rangka inovasi dan inovasi merupakan basis dalam pembangunan ekonomi. Kebebasan usaha yang dimaksud adalah suatu keadaan di mana seseorang boleh mempergunakan kemampuannya (pengetahuan, pengalaman, kreativitas dan sebagainya) bagi tujuan-tujuannya sendiri, jika kebebasannya tidak mengganggu kebebasan individu lain.
Kondisi sosial budaya yang dipersyaratkan seperti itu di Indonesia tidak terpenuhi. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal: (1) lingkungan sosial budaya di Indonesia dipengaruhi oleh budaya feodal. Dalam kebijakan ekonomi nampak ada serangkaian peraturan yang rumit dan sulit dipenuhi oleh orang yang memiliki semangat usaha, tekun dan jujur sekalipun, namun hal itu mudah dilewati orang yang memiliki koneksi dengan dengan penguasa, (2) masyarakat masih mementingkan hubungan harmonis yang seringkali tidak memberikan peluang bagi golongan masyarakat tertentu untuk berbeda pendapat dengan golongan elit sosial, keagamaan, dan politik yang telah mapan. (3) Pemerintah sejak jaman Orde Baru memilih menarik modal asing daripada memberikan prakarsa kepada pengusaha-pengusaha pribumi.
Bertolak dari pemahaman tersebut Roepke menyimpulkan sebab-sebab perkembangan dan kemajuan ekonomi berjalan lambat adalah karena: (1) inovasi sering dianggap tidak sah karena dapat merusak nilai-nilai dan norma-norma yang telah ada; (2) tidak banyak pelaku wirausaha yang yang terdorong oleh prestasi; dan (3) banyak pelaku wirausaha kurang tertantang oleh tugas-tugas kewirausahaan (Roepke, dalam Mustofa, 1995:53).
Pendapat lainya adalah tentang nilai budaya masyarakat desa yang dianggap tidak mendukung kemajuan hidup masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Beratha. Menurut Beratha (1984) ciri umum yang dimiliki masyarakat desa, yaitu:
a. Nilai budaya gotong royong yang masih dipegang kuat oleh masyarakat desa.
b. Pendapatan masyarakat desa rata-rata relatif rendah dan mata pencaharian utama adalah sektor pertanian.
c. Masih terikat pada lembaga-lembaga dan norma-norma tradisional yang terdapat dalam masyarakatnya.
d. Sifat keterbukaan terhadap ide-ide baru, pemanfaatan waktu luang, pemilihan yang menguntungkan di bidang usaha pertanian rata-rata perlu mendapatkan penanganan.
e. Mereka tidak suka nenonjolkan diri.
Beberapa ciri umum yang dimiliki masyarakat desa seperti di atas menurut Berata mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka yang cenderung menjadi kurang berkembang. Budaya gotong royong sebagai contoh diakui memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat karena nilai ini mendorong orang untuk tolong menolong secara tradisional. Akan tetapi, nilai ini juga memiliki kelemahan yaitu masyarakat menjadi tidak terdorong untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang dihargai secara ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya aktivitas gotong royong menjadi tidak memacu kretivitas (daya cipta) masyarakat karena hal tersebut kurang menguntungkan secara ekonomi.
Jika melihat pada ciri penduduknya yang sebagian besar petani desa, sifat yang menonjol dari kehidupan mereka menurut Beratha adalah: (1) dalam mengolah tanah umumnya menggunakan peralatan dan teknologi sederhana dan hasilnya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, (2) memiliki kesetiakawanan yang kuat, (3) enggan menyerap pembaharuan yang belum tentu mendatangkan keuntungan, (4) ikatan petani dengan tanah yang dikerjakan dan desanya bersifat emosional, (5) pemilikan tanah berkaitan erat dengan kedudukan sosial mereka.
Cara hidup dan sifat petani seperti di atas menyebabkan kesulitan memindahkan petani dari desa dari tempat tinggalnya atau dari pekerjaannya. Petani terikat oleh pengetahuan tradisional mereka yang telah lama menguasai pola pikir dan pilihan strategi dalam adaptasi dengan lingkungannya.
Nilai-nilai yang dianggap menghambat perkembangan ekonomi dapat pula dilihat dari orientasinya. Hal ini dapat diketahui dari penjelasan Koentjaraninrat tentang orientasi nilai budaya dalam kasus masyarakat Jawa. Orientasi nilai budaya Jawa sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat adalah sebagai berikut:
1) Orang Jawa memandang bahwa hidup sebagai rangkaian peristiwa yang penuh dengan kesengsaraan, yang harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka menerima keadaannya sebagai nasib, tetapi harus berusaha untuk memperbaiki.
2) Rakyat kecil yang merupakan bagian terbesar masyarakat Jawa memiliki pandangan bahwa bekerja untuk dapat makan (ngupaya upa ) karena itu muncul ungkapan aja ngaya aja ngangsa (jangan bekerja terlalu keras). Bagi priyayi bekerja dikaitkan dengan pahala yang akan diperoleh di akherat kelak.
3) Hubungan antara manusia dengan alam diarahkan untuk menjaga keselarasan.
4) Masyarakat Jawa mempunyai persepsi waktu yang masih diarahkan kaitannya dengan masa lalu.
5) Hubungan antar sesama manusia diarahkan untuk menjaga solidaritas sosial, tolong-menolong dan saling memberikan bantuan.
Menurut Kontjaraningrat (1985:41) nilai budaya yang berorientasi pada atasan, orang berpangkat tinggi, senior, dan orang tua mengakibatkan hasrat untuk berdiri sendiri dan disiplin pribadi yang murni akan mati. Demikian pula mentalitas yang menunggu restu dari atas tidak mendukung perkembangan ekonomi.
Ahli lain Clifford Geertz memandang kurang berkembangnya kehidupan ekonomi pada kasus masyarakat Jawa karena kurang berkembangnya nilai-nilai dan kegiatan kewirausahaan. Ia melalui kajiannya dalam buku Penjaja dan Raja (1989) menunjukkan kondisi masyarakat Jawa dikaitkan dengan perkembangan ekonomi berdasarkan kasus masyarakat di Mojokuto (Jawa) dan Tabanan (Bali).
Berkaitan dengan Jawa, Ia mengemukakan bahwa di Jawa kehidupan ekonomi yang berkembang terpusat pada tiga intistruktur ekonomi, yaitu pertanian, perdagangan pasar dan birokrasi. Pelaku ekonomi pertanian dijalankan oleh petani, perdagangan pasar dijalankan oleh golongan santri dan birokrasi diisi oleh priyayi.
Di Jawa, golongan santri adalah golongan yang menjadi pelaku ekonomi perdagangan pasar (penjaja) sedangkan di Bali adalah golongan masyarakat keturunan bangsawan (raja). Dalam menjalankan kewirausahaan kedua golongan tersebut akan menemukan hambatan yang mengakibatkan akan menimbulkan perkembangan yang statis.
Golongan masyarakat wirausaha di Jawa yang terutama terdiri atas golonagan penjaja merupakan golongan masyarakat yang berasal dari golongan masyarakat santri dari strata sosial bawah. Mereka telah memiliki kebebasan individual dan nilai semacam etika Protestan. Hambatan yang dihadapi oleh mereka terutama adalah kemampuan berorganisasi, modal dan keterampilan teknis. Namun yang menjadi hambatan paling penting adalah ketidakmampuan mereka berorganisasi karena mereka berasal dari strata sosial bawah dan kurang terdidik (Geertz, 1989).
Berdasarkan orientasinya sebagian besar orang Jawa lebih kearah kekuasaan (kehidupan politik). Suatu kajian terhadap stereotipe masyarakat Jawa seperti tersebut dikemukakan oleh Hariyono. Ia menunjukkan beberapa ciri tentang cara hidup masyarakat Jawa dari De Jong (dalam Hariyono,1994:67) bahwa induk kebudayaan Jawa terletak pada tiga unsur yaitu raja, tapabrata dan kekuasaan. Orientasi ideal manusia Jawa terletak pada posisi susunan hierarkhi sosial tertinggi, yaitu raja. Tapabrata merupakan jalan hidup yang dilakukan untuk memperoleh kekuasaan.
Orientasi pada kekuasaan menggiring kehidupan orang Jawa untuk memasuki kawasan kehidupan politik mencapai puncak stratifikasi sosial di Jawa. Sebagian ahli bahkan memandang bahwa berkembangnya kewirausahaan santri Jawa juga terkait dengan kegagalan mereka meraih kedudukan politik puncak dalam kehidupan masyarakat Jawa dan selanjutnya mereka mengembangkan kehidupan ekonomi wirausaha.
Orientasi nilai pada kekuasaan pada kasus masyarakat Jawa sampai saat ini ada benarnya. Hal itu dapat dilihat dari kuatnya orientasi masyarakat Jawa dalam menghargai dan mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan dan politik sebagai pegawai negeri sipil, TNI, Polri dan pamongpraja atau pun menjdi anggota legistatif.
Di kalangan masyarakat Jawa banyak yang menganggap belum memiliki pekerjaan yang sebenarnya jika belum menjadi pegawai pemerintah. Selain itu terdapat fenomena dalam pililihan pejabat pemerintahan tingkat desa, yang menunjukkan beberapa calon kepala desa sampai menghambiskan biaya yang sangat tinggi untuk pencalonannya. Seseorang calon kepala desa mungkin dapat menghabiskan antara 50 – 200 juta rupiah.
Dalam penelitian di Kabupaten Blora seorang mantan calon kepala desa mengaku telah menghabiskan biaya yang mencapai puluhan juta rupiah. Saat saya tanyakan kepadanya apakah tidak terpikir lebih baik uang sebanyak itu digunakan untul modal wirausaha. Ia menggelengkan kepala, yang berarti tidak. Saya sering mendengar dari banyak orang bahwa keadaan seperti itu juga terjadi dalam pencalonan kepala desa di desa-desa lain di Jawa.
REFERENSI
Geertz, Clifford.1989. Penjaja dan Raja. Terjemahan Dorodjatun Koentjoro-Jakti. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Keesing, Roger M dan Felix M Keesing. 1992. Antropologi Budaya 2. TerjemahanR.G.Soekadijo. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok antropologi Sosial. Penerbit PT Dian rakyat.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia.
Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta Balai Pustaka
Mustofa, Moh. Solehatul. 1995. “Kewirausahaan Masyarakat Industri Pada Sebuah desa di Jawa”. Tesis S2. PPs Antropologi Universitas Indonsia. Jakarta: Tidak diterbitkan.
Sairin, Sjafri, dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi: Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soedjito,S. 1986. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana Yogya.
Soewarsono dan Alvin Y.SO. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Suparlan, Parsudi. 1988. “Kebudayaan dan Pembangunan”, Makalah, disampaikan dalam pertemuan MGMP Sosiologi Antropologi. Jakarta.
Wolf, Eric R.1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Penerbit: C.V. Rajawali.
Semarang, ……..2009
Dosen Pengampu
Drs. Moh. Solehatul Mustofa, MA
NIP.131764041
USULAN
BUKU AJAR 2009
PENGANTAR ANTROPOLOGI EKONOMI
Mata Kuliah : Antropologi Ekonomi
No. Kode MK :
Semester :
Nama Dosen : Drs. Moh. Solehatul Mustofa, MA
NIP :
Jurusan/Program Studi :
Fakultas :
Mengetahui/Menyetujui
Dekan FIS UNNES
Drs. Subagyo, M.Pd
NIP. 130818771
IDENTITAS MATA KULIAH
Nama Mata Kuliah : Antropologi Ekonomi
Program studi : Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
Kode MK :
Semester dan Harga SKS : V
Mata Kuliah Prasyarat : Lulus mata kuliah Pengantar Antropologi dan
Teori Antropologi I dan II.
Nama Dosen dan Kode: Drs. Moh. Solehatul Mustofa, MA
DESKRIPSI MK
Mata kuliah ini mengkaji usaha-usaha ekonomi manusia dilihat dari segi nilai-nilai, aktivitas-aktivitas, dan hasil-hasil kegiatan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori dari ahli-ahli antropologi. Dalam masyarakat misalnya terdapat cara-cara memenuhi kebutuhan hidup melalui berburu meramu, bertani, usaha pembuatan barang-barang kerajinan, dan pertukaran, Dalam mengkaji berbagai gejala tersebut dikenal konsep tentang pola-pola usaha ekonomi, konsep pertukaran, teori subtantivis, teori formalis, dan perkembangan-perkembangan ekonomi masyarakat.
KOMPETENSI
1. Standar Kompetensi MK
Mahasiswa memahami ruang lingkup antropologi ekonomi, , pola-pola usaha-usaha ekonomi, pertukaran, dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat dilihat dari konsep-konsep dan teori-teori antropologi.
2. Kompetensi Dasar dan Indikator
a. Mahasiswa mampu mengenali ruang lingkup materi antropologi ekonomi
b. Mahasiswa mampu mengenali pola-pola usaha ekonomi dalam masyarakat;
c. Mahasiswa mampu mengidentifikasi pola-pola pertukaran dalam masyarakat
d. Mahasiswa mampu membandingkan teori subtantivis dan teori formalis
e. Mahasiswa mampu menganalisis fenomena ekonomi dalam masyarakat menggunakan teori subtantivis dan formalis.
f. Mahasiswa mampu menganalisis perkembangan-perkembangan ekonomi masyarakat dari perpektif konsep-konsep dan teori-teori antropologi.
3. Tujuan Akhir Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengembangkan kajian terhadap berbagai fenomena ekonomi dalam masyarakat berdasarkan perspektif antropologi ekonomi.
MANFAAT MK
1. Manfaat teoritis
Sebagai bekal mahasiswa mengenali berbagai fenomena ekonomi dan memahaminya dari perpektif antropologi sehingga memungkinkan mahasiswa mampu melakukan kajian-kajian lapangan melalui penelitian, penulisan artikel maupun penulisan buku ilmiah.
2. Manfaat Praktis
Menyadarkan mahasiswa tentang adanya kaitan antara usaha-usaha ekonomi yang berkembang dalam masyarakat dengan berbagai nilai-nilai, sikap-sikap dan perilaku, serta hasil-hasil karyanya sehingga mahasiswa dapat ikut aktif berperan serta merencakan pengembangan ekonomi masyarakat dan diri mereka sendiri.
BAB/TOPIK (INDIKATOR) PERTEMUAN
1. Indikator materi pokok pada buku ajar
a. Ruang lingkup materi antropologi ekonomi
b. Evolusi mata pencaharian
c. Pembagian kerja dalam masyarakat
d. Pertukaran
1) Sistem pertukaran
2) Resiprositas
3) Redistribusi
e. Teori Subtantivis dan Formalis
f. Perkembangan ekonomi masyarakat dan masalah kemiskinan
1) Pengetian kemiskinan
2) Pendekatan teoritis
3) Pembangunan dan pemecahan masalah kemiskinan
2. Jumlah pertemuan untuk tiap indicator atau materi pokok
No
Indikator/ Materi Pokok
Jumlah pertemuan
1
Ruang lingkup materi antropologi ekonomi
1
2
Evolusi mata pencaharian
2
3
Pembagian kerja dalam masyarakat
3
4
Pertukaran
3
5
Perkembangan ekonomi masyarakat Dunia Ketiga dan masalah kemiskinan
3
6
Pembangunan ekonomi dan pemecahan masalah kemiskinan
4
3. Tujuan tiap pertemuan
No
Indikator/ Materi Pokok
Tujuan tiap pertemuan
1
Ruang lingkup materi antropologi ekonomi
Mahasiswa dapat mengenal ruang lingkup materi antropologi ekonomi
2
Evolusi mata pencaharian
Mahasiswa dapat mengenali evolusi mata pencaharian manusia dari zaman berburu dan meramu, bertani, usaha kerajinan sampai dengan zaman industri, perdagangan dan jasa
3
Pola-pola usaha ekonomi masyarakat
Mahasiswa dapat mengemukakan
1)Pola usaha ekonomi masyarakat petani desa
2) Pola usaha ekonomi masyarakat kota
4
Pertukaran
Mahasiswa mampu mengidentifikasi pola-pola pertukaran dalam masyarakat
mencakup:
1) Tradisi pemberian
2) Resiprositas
3) Redistribusi
4) Pertukaran dengan uang
5
Teori subtantivis dan teori formalis
· Mahasiswa mampu membandingkan teori
subtantivis dan teori formalis
· Mahasiswa mampu menganalisis fenomena ekonomi dalam masyarakat menggunakan teori subtantivis dan formalis.
6
Perkembangan ekonomi masyarakat Dunia Ketiga dan masalah kemiskinan
Mahasiswa mampu menganalisis perkembangan-perkembangan ekonomi dan masalah kemiskinan pada masyarakat Dunia Ketiga dari perpektif konsep-konsep dan teori-teori antropologi.
7
Pembangunan ekonomi dan pemecahan masalah kemiskinan
Mahasiswa mampu mengalisis usaha pembangunan dan pemecahan masalah kemiskinan di Negara-negara Dunia Ketiga
EVALUASI
Penyelenggaraan test harian, sub sumatif dan sumatif
Evaluasi non test dalam bentuk portofolio
1 komentar:
thanks for information and sharing . nice post
ST3Telkom
Posting Komentar